Ahsan Shafiyurrahman (IEI ‘24), Amirul Fauzan Adzima (BI ‘24)
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Al-Furqan:67
Pendahuluan
Kehidupan manusia dimuka bumi diwarnai oleh warna-warni harmoni keberagaman. Sebagaimana Allah menciptakan segala sesuatu berjenis-jenis, segala hal memiliki tingkatan, klasifikasi, dan variasi. Tak dipungkiri juga dalam lingkup ekonomi, manusia memiliki keberagaman berdasarkan tingkat kesejahteraan yang diukur melalui tingkat penghasilan dan konsumsi. Merujuk pada BPS, pengelompokan kelas ekonomi Indonesia mengikuti ukuran dari World Bank. Pengelompokan tersebut didasarkan pada garis kemiskinan Indonesia per Maret 2024 yang sebesar Rp582.932 per kapita per bulan.
- Kelompok miskin (poor) adalah masyarakat yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan.
- Kelompok rentan miskin (vulnerable) adalah masyarakat yang pengeluarannya 1,5 kali dari garis kemiskinan, sekitar Rp582.932-Rp874.398 per kapita per bulan.
- Kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) adalah masyarakat yang pengeluarannya 1,5-3,5 kali garis kemiskinan, yakni sekitar Rp874.398-Rp2.040.262 per kapita per bulan.
- Kelompok kelas menengah (middle class) adalah masyarakat yang pengeluarannya 3,5-17 kali garis kemiskinan, yakni sekitar Rp2.040.262-Rp9.909.844 per kapita per bulan.
- Kelompok kelas atas (upper class) adalah masyarakat yang pengeluarannya di atas 17 kali garis kemiskinan, yakni di atas Rp9.909.844 per kapita per bulan.
Di antara lima kelas masyarakat tersebut, kelas menengah sedang mendapatkan sorotan media akhir-akhir ini. Seperti namanya, kelas menengah berada di tengah-tengah kelompok lain, tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Mereka masih hidup berkecukupan tapi tidak bisa dikatakan mewah ataupun susah. Mereka bisa dibilang masih mampu mengakomodir kebutuhan hariannya. Meskipun begitu, mereka cukup rapuh dengan keadaan ekonomi yang tidak pasti. Walaupun kelas menengah dapat dianggap economically secure, yaitu kondisi ekonomi yang masih mampu dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi mereka tidak bergelimang harta seperti kelas atas.
Kelas menengah memiliki potensi besar untuk menjadi motor perekonomian suatu bangsa. Menurut (Kuznetsova & Tupitsyn, 2014) kelas menengah memiliki fungsi dan korelasi yang besar terhadap kondisi sosio-ekonomi suatu negara. Kelas menengah menjadi salah satu tonggak utama perekonomian karena mereka menghasilkan pendapatan utama masyarakat: sebagian besar daya produksi terletak di lapisan ini, termasuk pekerja berpengalaman di bidang pendidikan tinggi, penyedia layanan, dan pengusaha yang menghasilkan arus keuangan utama. Di sisi lain, kelas menengah adalah konsumen besar, pembayar pajak, pemberi kerja, dan investor.
Sebagai contoh, India adalah negara dengan ekonomi pasar yang berkembang dengan kelas menengah baru bertumbuh pesat. Pada tahun 2025, diperkirakan kelas menengah ini akan menyumbang 59% daya beli masyarakat India. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengeluaran masyarakat India berasal dari masyarakat kelas menengah. Selain itu, India juga diprediksi akan melampaui Jerman dan akan menjadi pasar konsumen kelima terbesar di dunia (Ablett Et Al, 2007).
Lalu bagaimana dengan potensi dari masyarakat kelas menengah di Indonesia? Kelas menengah Indonesia telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi karena konsumsi oleh kelompok ini tumbuh 12% setiap tahun sejak tahun 2002 dan sekarang mewakili hampir setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia. Pada tahun 2024, jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia mencapai 66,35 % dari total pendudukan Indonesia. Tingkat pengeluaran dari dua kelompok tersebut meliputi 81,49 % dari total konsumsi masyarakat.
Namun, kelas menengah yang memiliki potensi dalam mendorong perekonomian suatu negara harus berhadapan dengan situasi yang serba salah. Walaupun kelas menengah berperan besar terhadap pertumbuhan konsumsi dan memberikan stabilitas ekonomi nasional, kelas menengah rentan terhadap guncangan ekonomi, terutama ketika dihimpit oleh banyaknya tekanan dari berbagai sisi. Kabarnya, kondisi kelas menengah lebih dramatis dan dilematis dari kelas atas ataupun kelas miskin. Nasib kelas menengah memprihatinkan, berada pada posisi yang stagnan. Sedikit kekurangan, tetapi tidak mendapatkan bantuan sosial. Tidak juga begitu kaya, tetapi terkena banyak tekanan dan beban dari negara.
Kelas menengah sangat rentan terhadap banyaknya ketidakpastian ekonomi, seperti kenaikan biaya hidup dengan fluktuasinya yang sulit ditebak, deflasi maupun inflasi yang berdampak pada naik-turunnya daya beli, hingga PHK (pemutusan hubungan kerja). Kondisi ini dinamakan dengan ‘Middle-Class Squeeze’ dimana kelas menengah ditekan dari dua arah, yaitu biaya hidup yang semakin tinggi dan pendapatan yang stagnan atau bahkan menurun.
Tekanan inilah yang membuat banyak kelas menengah dapat turun kelas menjadi aspiring middle class (menuju kelas menengah) bahkan menjadi rentan miskin. Tanpa munculnya kebijakan yang tepat dari pemerintah atau perencanaan keuangan yang bijak, semakin banyak kelas menengah yang terpaksa turun kelas.

Gambar 1. Jumlah Penduduk Kelas Menengah Indonesia. (Sumber: GoodStats)
Ketika negara bercita-cita menjadi Indonesia Emas 2045 di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Jumlah kelas menengah menurun drastis atau turun kelas menciptakan kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 adalah 47,85 juta orang, atau 17,13% dari total penduduk. Angka tersebut mengalami penurunan dari tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang. Sementara itu, banyak kelas menengah yang turun menjadi kelompok menuju kelas menengah. Jumlah kelompok menuju kelas menengah meningkat dari sebanyak 128,8 juta di tahun 2019 menjadi 137,5 juta orang di tahun 2024.

Gambar 2. Jumlah Masyarakat di Tiap Kelas Ekonomi tahun 2016-2024 (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung)
Penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia berdampak pada peningkatan jumlah kelompok masyarakat rentan miskin. Pada 2019, kelompok masyarakat rentan miskin ada sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%. Angka ini membengkak hingga tahun 2024, yakni mencapai 67,69 juta orang, atau 24,23% dari total penduduk.
Data-data diatas menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil menjaga kestabilan ekonomi kelas menengah. Walaupun perhatian pemerintah terhadap kelas miskin tak perlu dipertanyakan melihat banyaknya program-program yang telah dilaksanakan dari tahun ke tahun, kelas menengah yang dipandang lebih “kuat” jarang bisa merasakan dukungan dari pemerintah.
Pajak PPN naik, Masyarakat Panik

Gambar 3. Pajak Pertambahan Nilai Negara Asia Tenggara (Sumber: PricewaterhouseCoopers (PwC))
Media Indonesia akhir-akhir ini sedang diramaikan oleh berita kenaikan PPN 12% (Pajak Pertambahan Nilai) yang akan dilaksanakan mulai dari tahun 2025. Kenaikan Pajak ini diperkirakan akan menyamai Pajak Tertinggi di ASEAN, yaitu Filipina.
Dikutip dari berbagai media, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU) yang artinya PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.
Beberapa ekonom universitas memberi alarm kepada pemerintah agar menunda kebijakan ini. Dengan adanya kenaikan PPN ini, akan ada banyak kemungkinan dampak negatif untuk perekonomian yang diproyeksikan akan terjadi. Salah satunya adalah barang yang dikonsumsi masyarakat berpotensi akan mengalami kenaikan harga yang dapat meningkatkan tingkat inflasi. Hal tersebut akan menjadi sebab turunnya daya beli masyarakat yang berimbas pada melambatnya laju ekonomi.
Kondisi ini tentu akan memberi dampak yang cukup signifikan untuk kelompok kelas menengah ataupun kelompok menuju kelas menengah yang mana konsumsi rumah tangga dominan bersandar pada mereka. Kabar buruknya, kenaikan PPN ini diperkirakan akan memberatkan daya beli masyarakat yang berpotensi pada turunnya laju konsumsi rumah tangga. Hal ini disebabkan PPN yang bersifat regresif dan sama rata pada semua lapisan masyarakat akan memberatkan masyarakat kelas bawah dan menengah.
PHK dan Pengangguran Kejar-Kejaran
Selain isu kenaikan PPN 12% yang meramaikan media informasi, fenomena pengangguran dan PHK juga datang menghiasi ketidakstabilan kondisi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Tak diragukan lagi, fenomena ini berpotensi untuk mengancam stabilitas ekonomi para kelas menengah untuk jatuh atau turun kelas.
Fenomena pengangguran yang tersorot belakangan terjadi di kalangan Gen Z. Hal ini menjadi ironi tersendiri apabila kita melihat realita dari generasi ini yang dikenal adaptif terhadap teknologi dan inovasi di era modern seperti sekarang. Berdasarkan Labor Market Brief LPEM FEB UI yang berjudul “Potret Gen Z yang Menganggur: Mengungkap Realita di Balik Angka”, tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Gen Z yang mencapai 9,37% atau sekitar 4,84 juta jiwa—angka yang melampaui rata-rata nasional—menggambarkan sebuah realita dimana terdapat celah antara potensi generasi muda dengan kebutuhan nyata dunia kerja dengan mayoritas dari Gen Z yang menjadi pengangguran adalah laki-laki, terutama lulusan SMA/SMK. Mereka menghadapi suatu kesenjangan antara keterampilan dengan kebutuhan industri modern. Lebih dari itu, sekitar 3,04% berada dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training) tergolong sebagai kelompok yang terancam kalah dalam persaingan di pasar tenaga kerja. Data ini memberikan sinyal untuk segera menentukan langkah strategis berupa pelatihan keterampilan relevan dan penciptaan lapangan kerja yang inklusif agar generasi dengan potensi yang sangat besar ini dapat menjadi kekuatan nyata dalam menggerakkan perekonomian Indonesia.
Di tengah masalah pengangguran, potensi badai PHK juga muncul sebagai faktor yang bisa menjadi momok di perekonomian yang tidak diinginkan. Akhir-akhir ini, kasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hingga 13 November 2024, terdapat 64.221 pekerja yang menjadi korban PHK, meningkat sebanyak 274 orang dari 63.947 orang pada bulan sebelumnya. Sektor yang paling terdampak meliputi manufaktur, tekstil, garmen, dan alas kaki dengan DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Banten menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi. Bahkan di awal tahun 2025, Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mengungkapkan bahwa terdapat tiga perusahaan yang bergerak di industri tekstil dan alas kaki akan melakukan PHK massal terhadap pekerjanya. Satu pabrik yang berada di Kabupaten Tangerang akan melakukan PHK terhadap 2400 pekerjanya, sementara dua pabrik lainnya yang berada di Kabupaten Bandung dan Subang bersiap tutup dengan masing-masing akan merumahkan sekitar 900 dan 750 pekerja.
Tak berhenti di situ, pemerintah juga telah mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025 dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun, kebijakan ini berpotensi memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan berupa meningkatnya kasus PHK oleh perusahaan. Hal ini terjadi karena kenaikan upah berakibat pada kenaikan biaya operasional perusahaan yang akan mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya dengan melakukan PHK. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan bahwa kenaikan UMP justru berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang lebih besar. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, berpendapat bahwa kebijakan pemerintah ini akan membebani perusahaan dengan peningkatan struktur biaya operasional dan berakhir pada akhirnya mengancam keberlangsungan bisnis, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki.
Solusi Ekonomi Islam terhadap Kelas Menengah
Ekonomi Islam memandang kelas menengah sebagai kelompok yang berada di posisi strategis, yaitu antara kaum dhuafa dan aghniya. Kelas menengah dinilai memiliki potensi sebagai penggerak ekonomi karena mereka satu kelompok yang mampu menjalankan kewajiban. Dengan pandangan seperti ini, kaum menengah harus segera dipulihkan dan juga diberdayakan supaya kemajuan dan perkembangan negara secara keseluruhan dapat tercapai. Dalam situasi ini, sistem keuangan sosial Islam dapat menjadi solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan kelas menengah dan upaya mengembalikan kesejahteraan kelas menengah.
Keuangan sosial Islam adalah sistem yang memiliki prinsip distribusi kekayaan yang merata dan memberi bantuan pada seluruh lapisan masyarakat dengan instrumen seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dan membantu mereka yang membutuhkan. Instrumen keuangan sosial Islam dalam realitanya bisa menjadi solusi pencegahan jatuhnya Kelas menengah dari jurang kemiskinan. Instrumen seperti Zakat, Infaq, Sedekah dapat menjadi jaring pengaman dari situasi yang tidak terduga dan tidak diinginkan seperti krisis atau PHK.
Instrumen Sosial Islam juga berperan penting dalam pemberdayaan ekonomi. Dana darinya dapat menjadi modal bantuan bagi usaha kecil bagi masyarakat menengah. Keuangan sosial Islam memiliki potensi besar dalam membantu membangkitkan kelas menengah di Indonesia. Dengan distribusi kekayaan yang lebih merata melalui zakat, infaq, dan sedekah, serta dukungan dari wakaf produktif dan pembiayaan syariah, kelas menengah bisa mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk tetap bertahan dan berkembang.
Kesimpulan
Perekonomian Indonesia memang sedang tidak berada pada kondisi yang ideal. Kenyataannya masih ada kelas ekonomi di masyarakat yang masih kesulitan untuk mencapai kehidupan yang ideal. Tak jarang dari mereka yang juga terancam untuk turun kelas menjadi kelompok miskin. Kondisi perekonomian kelas menengah juga semakin keruh karena dipengaruhi oleh dinamika ekonomi seperti kenaikan PPN dan juga PHK massal.
Namun, satu hal yang harus disadari bersama adalah peran penting kelas menengah sebagai motor penggerak konsumsi dan bantalan perekonomian Indonesia. Kelas menengah perlu terus diberdayakan untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat yang merasakan kehidupan yang sejahtera. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah dengan mengembangan keuangan sosial Islam dengan beberapa instrumen yang bisa diterapkan seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) sebagai suatu metode dalam distribusi kekayaan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat. ZISWAF tidak hanya sebagai redistribusi kekayaan, tetapi juga mendorong kelas menengah untuk naik kelas secara ekonomi. Pengembangan keuangan sosial Islam akan menjadi batu loncatan bagi perekonomian Indonesia untuk bisa mewujudkan kesejahteraan sosial sebagaimana amanat UUD 1945.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2024, Agustus 30). Kelas menengah Indonesia krusial sebagai bantalan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik.
https://sukoharjokab.bps.go.id/id/news/2024/08/30/281/kelas-menengah-indonesia-krusial-sebagai-bantalan-ekonomi-nasional.html
Badan Pusat Statistik. (2024, September 17). Kelas menengah di Indonesia sulit kaya namun rentan miskin. Badan Pusat Statistik.
https://bandungkab.bps.go.id/id/news/2024/09/17/110/kelas-menengah-di-indonesia-sulit-kaya-namun-rentan-miskin-.html
Yonatan, A. Z. (2024, September 12). Penduduk Kelas Menengah Indonesia Turun Kelas. https://goodstats.id/article/penduduk-kelas-menengah-indonesia-turun-kelas-sQjhB
Ablett, J., Baijal, A., Beinhocker, E., Bose, A., Farrell, D., Gersch, U., Gupta, S.
(2007) The Bird of Gold : The Rise of India’s Consumer Market.
Christabel, A. (2024, November 16). PPN Naik 12 Persen Bikin Masyarakat Kelas Menengah makin tertekan.
https://www.detik.com/bali/bisnis/d-7641911/ppn-naik-12-persen-bikin-masyarakat-kelas-menengah-makin-tertekan.
Badan Pusat Statistik. (2024, November 6). Jumlah dan persentase penduduk bekerja dan pengangguran, 2024. Badan Pusat Statistik.
https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTk1MyMy/jumlah-dan-persentase-penduduk-bekerja-dan-pengangguran.html
Hayes, A. (2024, September 12). Middle class: Definition and characteristics. Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/m/middle-class.asp
Catriana, E., & Ika, A. (2024, December 6). Apindo “wanti-wanti” gelombang PHK imbas kenaikan UMP 6,5 persen. Kompas.com.
https://money.kompas.com/read/2024/12/06/103000326/apindo-wanti-wanti-gelombang-phk-imbas-kenaikan-ump-6-5-persen#google_vignette
Anggela, N. L. (2024, November 14). Korban PHK tembus 64.221 orang, bertambah ratusan pekerja 13 November 2024. Bisnis.com.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20241114/12/1816075/korban-phk-tembus-64221-orang-bertambah-ratusan-pekerja-13-november-2024?utm
Hanri, M., & Sholihah, N. K. (2024). Labor Market Brief: Potret Gen Z yang Menganggur: Mengungkap Realita di Balik Angka. Volume 5, Nomor 9, September 2024. KAJIAN PERLINDUNGAN SOSIAL DAN TENAGA KERJA. ISSN 2808-2060. Diakses dari https://bit.ly/labormarketbrief.
Salsabilla, R. (2024, October 29). Nyaris 10 juta Gen Z Indonesia menganggur, apa penyebabnya? CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20241029115027-33-583854/nyaris-10-juta-gen-z-indonesia-menganggur-apa-penyebabnya
Damiana. (2025, January 8). Petaka di awal tahun 2025, 3 pabrik siap-siap PHK 4.050 pekerja. CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20250108110006-4-601580/petaka-di-awal-tahun-2025-3-pabrik-siap-siap-phk-4050-pekerja
Huda, F. (2024, September 18). Keuangan sosial Islam: Membangkitkan kelas menengah di Indonesia. Lecturer at Muhammadiyah University Surabaya. Kumparan. https://kumparan.com/fatkur-huda-1590634711637003080/keuangan-sosial-islam-membangkitkan-kelas-menengah-di-indonesia-23Xl1uRlMiW