Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Negeri Para Bedebah: Pemerintah Hidup Mewah, Rakyat Makan dan Mengais Sampah

Negeri Para Bedebah: Pemerintah Hidup Mewah, Rakyat Makan dan Mengais Sampah

Aisha Dinar Farahita (IEI ‘24) , Azizah Putri Mardhiyah (IEI ‘24)

 لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Q.S. Al-Hasyr ayat 7

Gaya hidup mewah merujuk kepada kebiasaan mengonsumsi barang yang eksklusif, di mana mereka seringkali memiliki kekayaan yang melimpah. Kekayaan itu memungkinkan mereka mampu untuk membelanjakan barang-barang mahal. Gaya hidup mewah dapat dipacu oleh keinginan untuk mendapatkan validasi sosial, kenyamanan, dan status sosial.

Konsep hidup mewah bisa disebut juga dengan gaya hidup hedon atau hedonisme, berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia hedonisme/he·do·nis·me/ /hédonisme/ adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Berdasarkan pendapat ahli seperti Adam Smith dan J.S Mill dalam pengembangan studi motivasi, konsep hidup mewah seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari keenakan dan kesenangan serta menghindari ketidakenakan dan kesusahan.  Ini melibatkan mengejar kesenangan, kenyamanan, dan status sosial. Orang-orang yang menjalani gaya hidup mewah seringkali memiliki kekayaan yang besar, sehingga memungkinkan mereka untuk membelanjakan secara bebas untuk barang-barang mahal, perjalanan, dan hiburan. 

Dewasa ini, masyarakat kerap kali menggunakan media sosial untuk membagikan gaya hidup mereka melalui media sosial. Hal ini semakin mempermudah masyarakat untuk saling melihat gaya hidup satu sama lain. Mulai dari keadaan, perjalanan, hiburan, hingga koleksi barang-barang pribadi yang dimiliki. Tidak jarang dari mereka membagikan kekayaan besar dan momen-momen gaya hidup mewahnya. Pengukuran gaya hidup mewah tercermin dari tingginya tingkat pengeluaran, penggunaan barang dan jasa eksklusif, serta keterlibatan dalam pengalaman istimewa.

Namun, ketika konsep gaya hidup mewah ini diterapkan dalam kehidupan pejabat pemerintah, terdapat dimensi yang menarik dan menimbulkan perdebatan. Gaya hidup mewah pada pejabat pemerintah terlihat dari praktik mempertunjukkan kemewahan dalam keseharian mereka, seperti mengenakan pakaian bermerek, sepatu mahal, atau aksesori eksklusif lainnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai sumber daya dan prinsip integritas yang dipegang oleh para pejabat pemerintah, yang seharusnya melayani masyarakat dengan kesederhanaan dan akuntabilitas.

Gaya Hidup Mewah Pemerintah? 

Perilaku mempertunjukkan kemewahan dalam kehidupan sehari-hari menjadi acuan gaya hidup mewah di kalangan pejabat pemerintah, seperti sering menggunakan barang bermerek (pakaian, sepatu, atau aksesori) untuk meningkatkan citra diri, makan di restoran mewah secara rutin, atau nongkrong di tempat eksklusif, bahkan saat jam kerja. Selain itu, perjalanan dinas (DL) yang seharusnya untuk tugas resmi kerap tampak seperti aktivitas liburan, berbelanja, atau “healing.” Hal ini memicu pertanyaan publik mengenai kinerja para pejabat tersebut. Pasalnya, gaya hidup mewah pejabat pemerintah mencerminkan kurangnya empati terhadap kondisi rakyat kecil di Indonesia dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan rakyat, termasuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara.

Gaya hidup mewah pejabat yang tidak sesuai dengan penghasilan resmi mereka sering kali menjadi pemicu kemarahan rakyat. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga kepercayaan publik. Partisipasi masyarakat, melalui pelaporan dugaan korupsi atau mengungkap gaya hidup tidak wajar pejabat, sering kali menjadi langkah awal investigasi. Keterlibatan aktif rakyat adalah komponen penting dalam memberantas korupsi di kalangan pejabat pemerintah.

Dalam lima tahun terakhir, kasus gaya hidup mewah pejabat pemerintah di Indonesia menjadi sorotan publik karena menunjukkan ketimpangan sosial dan berpotensi menimbulkan korupsi. Beberapa contoh kasus mencolok:

  1. Kasus Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu, menjadi sorotan karena gaya hidup mewahnya yang tidak sesuai dengan profil seorang aparatur negara ketika masa jabatannya. Ia diketahui memiliki aset berupa rumah besar dan kendaraan mahal, sementara anaknya kerap memamerkan kemewahan di media sosial. Publik semakin geram ketika kasus penganiayaan oleh anaknya menguak dugaan korupsi dalam jumlah besar. Investigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menemukan indikasi penggelapan harta yang menguatkan kecurigaan atas penyalahgunaan wewenang selama menjabat.
  2. Mantan Kepala BPN Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra, menjadi sorotan karena istrinya, Vidya, memamerkan gaya hidup mewah di media sosial. Ia mengunggah foto di Paris dengan latar Menara Eiffel dan memamerkan barang-barang seperti tas Hermes serta gaun mahal. Aksi ini viral, memunculkan kritik terhadap gaya hidup pejabat yang dianggap tidak pantas.
  3. Setya Novanto dikenal sering menampilkan gaya hidup mewah yang mencolok, dengan jam tangan mahal, koleksi barang-barang mewah, dan penampilan yang glamor, meskipun gajinya sebagai pejabat publik seharusnya terbatas. Gaya hidupnya ini semakin menuai sorotan publik setelah ia terlibat dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Kemewahan yang dipamerkannya memicu kemarahan rakyat, karena dana yang diselewengkan tersebut seharusnya digunakan untuk program-program publik yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
  4. Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, turut menunjukkan gaya hidup mewah dengan barang-barang bermerek dan penampilan yang glamor. Namun, kemewahannya menjadi ironi setelah ia terbukti menerima suap dalam pengadaan bantuan sosial COVID-19. Skandal ini semakin memicu kemarahan publik karena kualitas bantuan sosial yang diberikan sangat buruk, meskipun anggaran yang dialokasikan cukup besar. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi, tetapi justru disalahgunakan untuk keuntungan pribadi.

Kasus-kasus ini menjadi refleksi bagi bangsa, bahwa tidak sedikit para pejabat pemerintah yang tidak menunjukkan empatinya terhadap rakyat yang berada dalam kesulitan, sedangkan mereka menikmati segala harta mewah dan eksklusif secara pribadi.

Dalam Islam, gaya hidup mewah yang berlebihan bertentangan dengan prinsip qana’ah. Ajaran ini menekankan bahwa harta adalah titipan dari Allah yang harus digunakan dengan bijak, termasuk untuk membantu sesama. Gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh pejabat pemerintah merupakan bentuk israf (konsumsi berlebihan) yang memicu iri hati dan ketimpangan sosial. Rasulullah SAW mengajarkan hidup sederhana, sebagaimana sabdanya:
Kekayaan itu bukanlah banyaknya harta. Namun kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ciri Negeri Para Bedebah = Ketimpangan Ekonomi 

Beberapa waktu terakhir, terdapat kutipan yang menarik perhatian netizen. Kutipan ini mengenai masalah gaya hidup mewah pemerintah yang kerap kali muncul di 5 tahun terakhir ini. Kutipan ini diambil dari puisi Negeri Para Bedebah karya Adhie Massardi dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Moralitas dan Kemajuan Ekonomi. Selain itu, kutipan puisi ini pernah pula dikutip oleh Almarhum Prof. Dr. Gudono.

Almarhum Prof. Dr. Gudono, ayah dari Erina Gudono, merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM). Semasa hidupnya, ia pernah mengkritik gaya hidup hedonis pemerintah dengan mengutip puisi tersebut. Dalam artikel tersebut, Gudono menyoroti ketimpangan ekonomi di masyarakat Indonesia, di mana para elit negara hidup dengan mewah dan penuh kemegahan, sementara rakyat mengalami kesulitan. Pria yang wafat pada tahun 2016 itu juga memperingatkan bahwa keserakahan akan menjadi bumerang bagi para pelakunya, karena kehancuran sudah ada di depan mata. Berikut adalah isi puisi Negeri Para Bedebah yang dikutip oleh Gudono:

“Tahukah kamu ciri-ciri negara para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dan mengais sampah
Atau menjadi kuli di negeri orang
Banyaknya serapah dan bogem mentah”

Semenjak munculnya kutipan puisi ini kembali di internet, netizen beramai-ramai menyatakan betapa “relate”nya kondisi Indonesia saat ini dengan kutipan ini. Pasalnya, puisi Ciri Negara Bedebah mencerminkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, terutama kritik terhadap ketimpangan antara kaum elite dan rakyat kecil. Dalam konteks ketimpangan ekonomi di Indonesia, puisi ini menggambarkan realitas di mana sebagian besar kekayaan terakumulasi pada segelintir orang, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau kesulitan. Hal ini terkait erat dengan praktek-praktek korupsi, kekuasaan yang tidak transparan, dan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara orang kaya dan miskin, mencerminkan ketidakadilan yang ditekankan dalam puisi tersebut.

Parameter Ketimpangan Ekonomi di Indonesia 

Menurut Sukirno (2006), terdapat dua konsep mengenai pengukuran ketimpangan pendapatan, yaitu konsep ketimpangan absolut dan ketimpangan relatif. Konsep ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Sedangkan konsep ketimpangan relatif merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan.

Ketimpangan di suatu negara biasanya dilihat dengan 2 indikator atau alat ukur, yakni koefisien gini (gini ratio) dan kurva lorenz. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2024, ketimpangan di Indonesia tercatat sebesar 0,379. Lalu, apa itu koefisien gini? Koefisien gini adalah salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk menggambarkan tingkat ketimpangan distribusi kekayaan dalam suatu populasi. Ukuran ini menggambarkan sejauh mana distribusi aktual mendekati distribusi yang benar-benar merata. Koefisien Gini memiliki nilai antara 0 dan 1, dengan 0 menunjukkan kesetaraan sempurna dan 1 mencerminkan ketidaksetaraan sempurna. Semakin rendah nilai koefisien, semakin merata distribusi pendapatan, dan sebaliknya, semakin tinggi nilai koefisien, semakin timpang distribusinya.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya berdampak pada aspek sosial, seperti meningkatnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Salah satu teori yang relevan untuk memahami dinamika distribusi pendapatan dalam proses pembangunan adalah teori yang dikemukakan oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.

Kuznets mengamati bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan cenderung meningkat akibat pergeseran dari sektor agraris tradisional menuju sektor industri modern. Namun, pada tahap berikutnya, seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan peningkatan investasi dalam pendidikan, infrastruktur, serta redistribusi pendapatan, ketimpangan tersebut mulai menurun. Fenomena ini dikenal sebagai kurva Kuznets atau U-terbalik, karena menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dalam bentuk kurva parabola terbalik.

Selain itu, ketimpangan mengacu pada standar hidup yang relatif pada seluruh masyarakat, karena kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan terjadi karena perbedaan sumber daya alam dan kondisi demografi, yang menyebabkan pembangunan dan kesejahteraan tidak merata. 

Ketimpangan Dalam Perspektif Islam

Teori Amartya Sen membandingkan orang miskin dan orang berpuasa. Keduanya mungkin sama-sama tidak makan, tetapi orang berpuasa memiliki pilihan, sementara orang miskin tidak. Ini menekankan pentingnya memberi akses setara kepada semua orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dalam konteks Islam, konsep ukhuwah (persaudaraan) dan kemaslahatan (kesejahteraan umum) menjadi landasan penting untuk menjaga harmoni sosial. Islam menegaskan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memberikan setiap individu kesempatan setara untuk hidup layak.

Dalam upaya mencapai harmoni sosial, Islam menawarkan solusi melalui prinsip redistribusi pendapatan. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf menjadi instrumen utama untuk mengurangi kesenjangan sosial dan mengentaskan kemiskinan. Redistribusi ini berupaya mencapai pemerataan kesejahteraan ekonomi melalui pendistribusian dana kepada kelompok yang berhak (mustahik), seperti fakir miskin, orang berutang, dan kelompok rentan lainnya. Prinsip ini menunjukkan bagaimana sistem Islam tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga pragmatis dalam menanggulangi ketimpangan ekonomi. 

Penerapan prinsip redistribusi ini dapat dilihat dari sejarah Islam, seperti pada masa Umar bin Khattab. Pemerintahannya yang amanah menunjukkan pentingnya pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf secara transparan untuk membantu orang miskin, sehingga ketimpangan dapat diminimalkan. Contoh serupa dapat ditemukan di Uruguay, di mana pemerintahan yang berorientasi pada rakyat berhasil menciptakan kesejahteraan. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan suatu negara tidak hanya bergantung pada kekayaan pemimpinnya, tetapi juga pada komitmen mereka terhadap kesejahteraan rakyat.

Selain itu, pengoptimalan zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan hanya memberikan dampak material, tetapi juga memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Zakat yang diwajibkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial bertujuan untuk membersihkan harta, sedangkan infak dan sedekah, meskipun bersifat sukarela, sangat dianjurkan untuk menciptakan harmoni sosial dan membantu yang membutuhkan tanpa batasan penerima. Dengan demikian, redistribusi ini tidak hanya menciptakan keseimbangan ekonomi, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial.

Dalam jangka panjang, zakat memiliki potensi besar untuk mendorong mustahik menjadi muzakki (pemberi zakat) sehingga siklus kebaikan terus berlanjut. Hal ini sejalan dengan konsep redistribusi pendapatan, di mana kekayaan tidak hanya berpusat pada segelintir orang, tetapi dialokasikan untuk kemaslahatan bersama. Dengan demikian, Islam menawarkan solusi yang holistik untuk mengatasi ketimpangan, menggabungkan pendekatan material dan spiritual guna menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Referensi

  • Sukirno, S. (2006). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Badan Pusat Statistik. (2024). Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia. [Data Statistik].
  • Massardi, A. (n.d.). Negeri Para Bedebah. Dalam Moralitas dan Kemajuan Ekonomi.
  • Gudono, G. (2016). Kritik terhadap gaya hidup pejabat dalam perspektif ekonomi dan moralitas. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
  • Kuznets, S. (1955). Economic growth and income inequality. The American Economic Review, 45(1), 1–28.
  • Anjelina, E. D., Salsabila, R., & Fitriyanti, D. A. (2020). Peranan zakat, infak dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. JIHBIZ: Jurnal Ekonomi, Keuangan, dan Perbankan Syariah, 4(2), 136–147.
  • Sen, A. (1981). Poverty and famines: An essay on entitlement and deprivation. Oxford University Press.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (n.d.). Hedonisme. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
  • Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.