Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Pungli : Beban Ekonomi yang Tak Pernah Mati

Pungli : Beban Ekonomi yang Tak Pernah Mati

  • I-Share

Diulas oleh Abdurra In Mukhlis (Ilmu Ekonomi Islam ’23)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Q.S. An-nisa: 29

 

Selalu berusaha untuk mendapatkan hal lebih dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang di dapat adalah firasat yang umum terjadi pada setiap manusia. Sebagai homo economicus atau makhluk ekonomi, manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, akan tetapi hal tersebut tidak hanya didasari pada kebutuhan saja, akan tetapi juga rasa untuk terus-menerus mendapatkan harta dan kekayaan demi memperkaya diri sendiri. Di Indonesia sendiri pemerintah telah menetapkan batas bawah pemberian gaji kepada pekerja yang disebut UMP atau upah minimum provinsi. Kebijakan terkait UMP ini didasari oleh perekonomian suatu daerah, daya beli dan upah. 

Nilai rata-rata dari UMP pada periode Januari-Juni 2024 berada pada angka 3.113.359 rupiah (Kementerian Ketenagakerjaan RI 2024). Namun kenaikan upah ini juga diikuti dengan terjadinya inflasi yang menyebabkan daya beli rupiah kian melemah, hal inilah yang membuat para pekerja merasa bahwa upah yang diterima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, terlebih lagi bagi pekerja yang sudah berkeluarga, biaya pendidikan, jaminan kesehatan, pajak semakin memangkas gaji yang diterima setiap bulannya. 

Rasa kekurangan dan tidak berkecukupan inilah yang semakin menghantui para pekerja baik dari sektor swasta, pemerintahan, ataupun pekerjaan yang tidak terdata secara legal oleh negara. Sehingga banyak oknum yang berusaha mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Hal inilah yang mendasari praktik pungli di lingkungan masyarakat dan pemerintahan di negara kita. Islam telah mengajarkan bahwa yang dapat mengubah nasib suatu kaum adalah kaum itu sendiri, tapi malah banyak orang yang salah paham dan menghalalkan berbagai cara untuk mensejahterakan dirinya sendiri. Lantas, bagaimana sejatinya pungutan liar ini berdampak pada sisi ekonomi dan menurut pandangan islam?

Pungutan Liar Hanya Dibiarkan?

Pungutan sendiri merupakan istilah yang digunakan sebagai penggambaran dari kegiatan mengumpulkan ataupun memberikan sesuatu dari satu pihak kepihak yang lain, undang-undang dan peraturan Indonesia telah menetapkan regulasi terkait pungutan yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara. Bahkan, penghasilan terbesar dari Indonesia merupakan pungutan yang kita kenal dengan istilah pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap warga negara, selain itu pungutan yang ilegal juga banyak diterapkan dalam birokrasi yang ada di negara kita seperti cukai dan retribusi. Akan tetapi, banyak terjadi penyimpangan dalam melakukan pungutan tersebut yang menjadi dasar munculnya istilah Patologi Birokrasi, Patologi birokrasi adalah istilah akademik yang lazim digunakan dalam ruang lingkup kajian Administrasi Publik. Secara etimologis, patologi dapat diasosiasikan dengan istilah penyakit sehingga perlu diberantas atau diobati. 

Dalam tubuh organisasi, patologi birokrasi adalah penyimpangan di dalam sistem organisasi. Salah satu penyakit birokrasi yang paling fenomenal adalah pungli (pungutan liar). Pungli ataupun pungutan liar adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah dengan meminta pembayaran sejumlah uang yang tak pantas ataupun tidak berdasarkan kepada persyaratan pembayaran yang ada (Keliat, 2020). Akan tetapi semakin hari praktik pungli menyebar semakin luas di luar ruang lingkup pemerintahan.

Praktik pembayaran upeti (pungli) telah ada dan berlaku sejak dari masa penjajahan bahkan sudah terjadi jauh sebelum itu. Pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, Letjen Ahmad Yani yang ketika itu menjadi Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi kabinet Ampera memerintahkan kepada semua aparat untuk mencegah berbagai pungutan yang tidak ada dasar ketentuannya. Tim Pemberantas Korupsi yang dibentuk pada tahun 1967 pada dasarnya dimaksudkan untuk mencegah pungli pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah presiden Soeharto. Namun, hasil dari upaya tersebut tidak berhasil seutuhnya, masih banyak praktik pungli yang menjadi beban sejauh Indonesia merdeka.

Selama 79 tahun kemerdekaan Indonesia pungutan liar masih menjadi wabah yang kuat dan mengakar di dalam masyarakat. Pungli masih banyak terjadi di lingkungan pemerintahan dan juga pelayanan umum, seperti calo saat melakukan pembuatan Surat Izin Mengendarai (SIM) kendaraan bermotor, polisi tilang bayar yang bertugas tanpa adanya surat tugas resmi dari instansi terkait, dan masih banyak lagi kegiatan pungli yang terjadi dalam tubuh birokrasi pemerintahan Indonesia. Sedangkan praktik pungli yang mendarah daging di dalam lingkungan masyarakat adalah parkir liar. Parkir liar seringkali kita jumpai di tempat fasilitas umum, pusat kegiatan ekonomi seperti pasar dan minimarket, serta di tempat wisata yang berdampak pada pelemahan ekonomi dan penurunan minat masyarakat untuk melakukan transaksi secara offline di pusat ekonomi.

 

Masyarakat dan Pemerintah Berperan Setara

Institusi pelayanan publik merupakan suatu instansi yang memiliki hubungan langsung dengan masyarakat, maka penyelenggara pelayanan publik perlu melakukan perubahan untuk membenahi citra negatif yang selama ini telah melekat dalam benak masyarakat. Opini negatif dari masyarakat tentang kinerja penyelenggara pelayanan publik yang hingga saat ini masih terjadi yaitu pemberian layanan yang tidak efisien dan berbelit-belit, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi oknum-oknum tertentu baik penyelenggara pelayanan publik maupun masyarakat untuk melakukan praktik pungutan liar

Dalam pelayan publik, pungutan liar biasa dilakukan dengan menawarkan percepatan pengurusan suatu urusan demi kepentingan satu pihak, dengan imbalan uang yang diberikan kepada pelaku pungutan liar. Pungli  merupakan salah satu contoh maladministrasi yang cukup sering terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menurut Ombudsman Republik Indonesia, ada beberapa faktor yang menyebabkan pelaksana layanan publik melakukan tindakan pungli. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan prosedur layanan, adanya penyalahgunaan wewenang, keterbatasan informasi layanan yang diberikan sehingga tidak dapat diakses oleh pengguna layanan, kurangnya integritas pelaksana layanan. Kelima, kurangnya pengawasan dari atasan dan pengawas internal dan adanya kebiasaan dari pelaksana dan pengguna layanan.

Negara juga telah menetapkan hukuman terhadap kasus pungli di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP). Menurut Pasal 12 ayat 1 UU PTKP, setiap pegawai negeri atau pihak swasta yang melakukan pungutan liar, dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Selain itu, hukum melakukan pungli juga terdapat di Pasal 13 UU PTKP yang menyatakan bahwa setiap orang yang memberikan, atau menjanjikan uang atau barang kepada pihak yang melakukan pungutan liar, juga dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Rp 250 juta.

Dalam ruang lingkup masyarakat pungli tumbuh dan kembang dengan begitu cepat, karena banyak masyarakat yang abai dengan pelanggaran yang dilakukan. Banyak masyarakat yang memilih untuk tidak peduli dan bersikap tidak mau tahu terkait perilaku pungli, seperti halnya uang parkir liar yang semakin marak terjadi di negeri ini. Bahkan, banyak masyarakat yang sadar akan kegiatan yang dilakukan, lagi dan lagi hal ini didasari oleh alur suatu pengurusan di pemerintahan yang bersifat lama dan rumit. Sehingga timbul interaksi dua arah antara penawar dan penerima pungli karena sudah mengakar dan menjadi kebiasaan. Seringkali didapati bahwa masyarakat memaklumi pungli dengan alasan “kasihan” dan “tidak mau ribet”. Bahkan yang lebih parah masyarakat malah dengan sadar dan sengaja memberikan uang sebagai bentuk imbalan kepada pelaksana layanan agar pelayanannya dapat dipercepat dan dipermudah. Tentunya hal tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Kebiasaan masyarakat yang “baik” dan “pemaaf” inilah yang menjadikan pungli tumbuh subur dalam pelayanan publik. Kebiasaan masyarakat tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh oknum nakal sehingga praktik pungli dianggap wajar oleh masyarakat dalam pelayanan publik.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang menjadikan masyarakat terbiasa memaklumi pungli. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat bahwa pungli adalah maladministrasi. Kedua, budaya masyarakat yang mudah memaafkan dan mengikhlaskan yang cukup besar. Ketiga, tidak adanya keberanian masyarakat dalam melaporkan apabila adanya perbuatan pungli. Keempat, masih terdapat masyarakat yang membutuhkan pungli, dalam artian cukup membayar pungli, masyarakat tersebut mendapatkan kemudahan dalam layanan.

Salah satu yang terdampak dari adanya pungutan liar berupa parkir adalah driver makanan online, mereka harus keluar masuk memarkirkan kendaraannya di toko/restoran untuk mengambil pesanan customer. Seandainya saja driver tersebut memarkirkan kendaraanya 10 kali dalam sehari, setiap kali memarkirkan kendaraan akan dikenakan pungutan parkir liar sebesar dua ribu rupiah, maka dalam sehari driver tersebut telah kehilangan uang sebesar dua puluh ribu untuk membayar parkir. Dalam sebulan ia harus mengeluarkan uang sebesar enam ratus ribu rupiah hanya untuk membayar parkir, dan dalam setahun berjumlah tujuh juta rupiah. Nominal tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal lain oleh driver tersebut seperti jaminan kesehatan maupun keselamatan kerja. 

 

Lapangan Pekerjaan Sulit, Pungli Melejit?

Salah satu alasan paling awam dari kasus pungli yang beredar di masyarakat adalah lapangan pekerjaan yang sedikit. Dampak dari kelangkaan lapangan kerja yang signifikan adalah ketidakstabilan ekonomi. Ketika lapangan kerja terbatas, masyarakat menghadapi kesulitan dalam mencari dan mempertahankan pekerjaan yang sudah mereka jalankan sebelumnya. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun karena pendapatan yang terbatas. Kurangnya konsumsi dari masyarakat inilah yang juga berdampak pada berkurangnya permintaan barang dan jasa, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi serta membuat penjualan suatu barang dan jasa menjadi turun, sehingga terjadi pengurangan karyawan dengan melakukan PHK agar dapat beradaptasi dalam ketidakstabilan ekonomi.

Selain itu, kelangkaan lapangan kerja juga berdampak negatif pada kualitas hidup masyarakat. Sulitnya mencari pekerjaan yang layak menyebabkan kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Terlebih lagi para pencari pekerjaan yang baru saja lulus dari sebuah instansi pendidikan, kesulitan lapangan pekerjaan membuat orang mencari pendapatan instan tanpa melamar pada suatu perusahaan, salah satu pilihan paling mudah adalah melakukan pungutan liar berupa parkir liar, baik di pusat perbelanjaan seperti pasar dan toko ataupun sekedar memutarkan motor di kawasan keramaian.  Jika dilihat dari sumber daya manusianya, sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berpotensi menjadi tenaga kerja yang berkompeten. Namun, potensi tersebut tidak dapat dikembangkan dengan baik di Indonesia. 

Mengutip laporan terbaru Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2023, prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah di Indonesia turun cukup signifikan pada periode 2019-2022, dari 14 persen menjadi 9 persen dari total lapangan kerja. Pada periode tersebut, jumlah pekerja mandiri dan pekerja informal yang bekerja serabutan naik signifikan, sedangkan porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah menurun. Minimnya ketersediaan lapangan kerja formal membuat kelas menengah di Indonesia kian rentan karena banyak terserap ke sektor informal, sehingga muncul ketidakpastian penghasilan terhadap para pekerja yang membuat para pekerja informal terpaksa mencari pendapatan lain dari pekerjaan utamanya. 

FOTO CHART

Sumber:satudata.kemnaker.go.id

Disaat yang bersamaan dengan penurunan lapangan pekerjaan yang layak di Indonesia, negara kita juga mengalami lonjakan jumlah angkatan kerja terus bertambah setiap tahun nya, Dari data yang didapat pada laman satu data kementerian ketenagakerjaan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2023 adalah 147.71 Juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan inilah yang pada akhirnya membuat jumlah pengangguran meningkat, sehingga marak terjadi pungutan liar di lingkungan masyarakat. 

 

Semua Ini Bukan Hanya Tentang Gaji

Maraknya kasus pungutan liar yang terjadi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya, pungutan liar atau pungli adalah interaksi antara petugas dengan masyarakat yang didorong oleh berbagai kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri. Hal yang mendorong terjadinya pungli adalah : 

  • Kultur nepotisme dan koneksi

Kultur nepotisme dan koneksi di lingkungan birokrasi, menjadi faktor penting dalam terjadinya praktik pungli. Hal ini karena orang yang memiliki koneksi atau jaringan yang luas di lingkungan birokrasi, dapat memanfaatkan posisi atau jabatannya untuk mengambil keuntungan pribadi, termasuk melalui pungli. Ketika sebuah sistem membiarkan orang untuk memanfaatkan posisi atau jabatan mereka untuk kepentingan pribadi, maka hal tersebut akan menjadi sangat mudah dilakukan.

 

  • Kurangnya kesadaran masyarakat

Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya, serta cara-cara melapor jika menjadi korban pungli juga menjadi faktor penyebab terjadinya praktik pungli. Masyarakat yang tidak mengetahui hak-haknya cenderung lebih mudah menjadi korban praktik pungli. Kurangnya edukasi atau informasi yang diberikan kepada masyarakat, tentang bagaimana cara melawan praktik pungli menjadi salah satu penyebab rendahnya kesadaran masyarakat dalam hal ini. 

 

  • Ketidakpuasan atas gaji atau penghasilan

Salah satu penyebab utama terjadinya praktik pungli, adalah ketidakpuasan atas gaji atau penghasilan yang diterima oleh pejabat atau pegawai publik. Sejumlah pejabat atau pegawai publik merasa bahwa gaji yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka tergoda untuk mencari sumber penghasilan tambahan melalui praktik pungli. Dalam hal ini, upaya untuk meningkatkan penghasilan melalui pungli bisa menjadi cara yang mudah dan cepat.

 

  • Sistem pemerintahan yang kurang transparan

Sistem pemerintahan yang kurang transparan, juga menjadi faktor penyebab praktik pungli. Ketika proses pengambilan keputusan dan pengelolaan dana publik tidak dilakukan secara transparan dan terbuka, maka hal itu akan memberikan peluang bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik pungli. Pemerintah yang transparan dan akuntabel, akan memudahkan masyarakat untuk memonitor dan mengawasi tindakan pemerintah. Hal ini juga dapat mengurangi peluang terjadinya praktik pungli, karena para pelaku akan lebih berhati-hati dalam melanggar hukum.

 

Islam Tidak Membiarkan Pungli Terjadi

Pungutan liar dalam Islam atau pungli disebut dengan al-maksu. Menurut Sa’ad bin Abi Habib dalam Al-Qamus Al-Fiqhi, kata al-maksu awalnya digunakan untuk menyebut orang yang menarik uang dari para pedagang yang masuk ke sebuah wilayah. Namun kemudian istilah ini digunakan untuk menyebut tarikan uang yang dilakukan para pembantu pemerintah secara zalim dari para pedagang. Menurut para ulama, pungli atau al-maksu termasuk dosa besar dan seburuk-buruknya perbuatan maksiat dalam Islam. Hal ini karena pungutan liar semacam ini hanya menyusahkan dan menzalimi orang lain. Pungli termasuk perbuatan mengambil harta orang lain dengan batil dan dengan jalan yang tidak benar, sebagaimana halnya mencuri.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 188, Allah dengan tegas melarang mengambil harta orang dengan cara yang batil ini. Allah berfirman;

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Dan janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kalian menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui. 

Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, Imam Al-Nawawi mengkategorikan pungutan liar sebagai perbuatan dosa besar. Beliau berkata sebagai berikut;

أن المكس من أقبح المعاصي والذنوب الموبقات، وذلك لكثرة مطالبات الناس له وظلاماتهم عنده، وتكرر ذلك منه وانتهاكه للناس وأخذ أموالهم بغير حقها وصرفها في غير وجهها

Sesungguhnya al-muksu (pungutan liar) termasuk maksiat yang paling jelek dan dosa besar. Itu dikarenakan pungutan liar banyak menuntut manusia untuk membayarnya dan menzalimi mereka secara berulang-ulang dan memaksakannya kepada orang-orang. Termasuk juga mengambil harta orang dengan tidak benar dan menyalurkannya juga dengan tidak tepat.

Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tak memberi fatwa spesifik tentang pungli. Namun MUI telah mengharamkan risywah yang dipadukan dengan korupsi. Fatwa yang dikeluarkan pada 29 Juli 2000 ini menjelaskan, risywah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut ra’syi, sementara penerima disebut dengan ra’isy

Dalam fatwa MUI menjelaskan, suap, uang pelicin, money politics, dan lain sebagainya dapat dikategorikan risywah apabila tujuannya meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Karena itu, MUI memfatwakan hukum risywah adalah haram.

 

Sudah Saatnya Pungli Berhenti

Meskipun masih banyak terjadi kasus pungli di Indonesia ini, bukan berarti kita hanya berlepas tangan dan tidak peduli atas apa yang terjadi. Generasi mudalah yang seharusnya membawa perubahan untuk perbaikan di masa depan, dengan berbagai pemahaman dan jiwa disiplin generasi muda seharusnya mampu membawa indonesia tanpa pungli pada masa Indonesia Emas 2045 yang gerakannya harus dimulai dari sekarang. Pemerintah pun telah membuat berbagai kebijakan dan aturan untuk menghapus semua bentuk kegiatan pungli, baik yang terjadi di dalam birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Dengan berbagai elemen pendukung dan undang-undang sebagai landasan hukum pungli bukanlah hal yang sulit diberantas jika masyarakat sadar akan cara pencegahan dan penanganannya. 

Masalah gaji bukanlah alasan utama pungli bisa terjadi, dalam islam juga telah dijelaskan bahwasanya pungli merupakan perbuatan dosa karena termasuk dalam kegiatan al-maksu, majelis ulama indonesia juga telah mengharamkan pungli sebagai bentuk dari risywah yang akan merugikan negara.

 

Daftar Pustaka

“Berita.” Ombudsman RI, 27 December 2019, https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–kebiasaan-memaklumi-pungli. 

Elfariani, Adinda. “Kelangkaan Lapangan Kerja: Dampak dan Penyelesaiannya.” Kompasiana, 29 November 2023, https://www.kompasiana.com/adindaelfariani/656744c2c57afb1dbd416ff3/kelangkaan-lapangan-kerja-dampak-dan-penyelesaiannya.

“Fenomena Pungli dan Patologi Birokrasi | Hasyem | Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi).” Jurnal USK, https://jurnal.usk.ac.id/JSU/article/view/19521. 

“Hukum Pungli dalam Islam.” Republika.id, 20 June 2021, https://www.republika.id/posts/17680/hukum-pungli-dalam-islam. 

“PUNGLI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM.” Jakarta Islamic Centre, 30 June 2021, https://islamic-center.or.id/pungli-dalam-pandangan-hukum-islam/. 

Siregar, Antoni. “UNES LAW REVIEW.” OPTIMALISASI PERAN TIM SABER PUNGLI KOTA SAWAHLUNTO DALAM PENCEGAHAN PUNGUTAN LIAR DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK, vol. 4, no. 1, 2021, pp. 114-120.