Diulas oleh : M. Ivan Adrian Verardi BI ‘23 dan Rahma Fadhillah Harini BI ‘23
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”
Q.S. Al-Hasyr : 18
Sejarah peradaban Islam, dari masa awal kebangkitan hingga periode kejayaannya, tidak bisa dipisahkan dari para pemimpin yang meninggalkan jejak penting di berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Perjalanan ini dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah, yang menandai berakhirnya masa penindasan di Mekkah dan menjadi awal berdirinya masyarakat berbasis ajaran Islam. Piagam Madinah, sebagai konstitusi pertama dalam sejarah Islam, menjadi dasar penting dalam membangun peradaban baru yang mengedepankan keadilan, persatuan, dan kesejahteraan. Di Madinah, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak hanya fokus pada penyebaran agama tetapi juga pada pembentukan sistem sosial dan ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Melalui piagam tersebut, Nabi Muhammad SAW menetapkan hak dan kewajiban setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim serta menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Setelah wafatnya Nabi, para penerus kepemimpinan Islam, mulai dari Abu Bakar As-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib RA, melanjutkan visi ini dengan menerapkan kebijakan ekonomi, sosial, dan administratif yang berfokus pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Setiap khalifah menghadapi tantangan dan ujian masing-masing, mulai dari penanganan sosial, reformasi administrasi, hingga pengelolaan sumber daya negara. Kebijakan yang mereka terapkan dalam zakat, pajak, dan pengelolaan pasar mencerminkan dedikasi mereka terhadap prinsip keadilan dan efisiensi ekonomi.
Piagam Madinah Sebagai Sarana Nabi Muhammad SAW. Dalam Membangun Peradaban Dengan Dakwah dan Iman
Nabi Muhammad SAW. tidak hanya dikenal sebagai seorang Rasul yang menyampaikan ajaran agama Islam, tetapi juga dikenal sebagai seorang pemimpin (Ulil Amri) yang sukses dalam memimpin pemerintahannya. Pada awalnya, dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di kota Mekkah mendapatkan respons yang negatif dari masyarakat saat itu, yang sebagian besar berasal dari kaum Quraisy. Banyak cara dan upaya yang ditempuh oleh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dan menggagalkan dakwah Nabi Muhammad namun tidak pernah berhasil, baik secara diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan-tindakan kekerasan secara fisik. Puncaknya adalah dengan pemberlakuan boikot terhadap Bani Hasyim, yang merupakan tempat Nabi berlindung. Pemboikotan ini terjadi selama 3 tahun dan membuat posisi umat Islam semakin lemah.
Tekanan dari orang-orang kafir semakin keras terhadap gerakan dakwah Nabi Muhammad, terlebih setelah meninggalnya dua orang yang selalu menjadi pelindungnya dalam melawan orang-orang kafir yaitu pamannya, Abu Thalib dan istri tercintanya, Khadijah. Dengan keadaan Nabi Muhammad yang sangat bersedih dan bahkan hampir putus asa, untuk kembali menguatkan hati beliau, Allah Swt. memberikan hadiah berupa peristiwa Isra’ Mi’raj yang kita kenal hingga hari ini. Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi perkembangan pesat dalam dakwah Nabi, seperti datangnya sejumlah penduduk Yatsrib (Madinah) untuk berhaji ke Mekkah dalam beberapa gelombang sampai tahun ke-13 kenabian. Di tahun ke-13 inilah mereka meminta Nabi untuk hijrah ke Madinah dan mengatakan akan membaiat Nabi sebagai pemimpin di Madinah.
Untuk melepaskan diri dari hegemoni kaum Jahiliyah Mekkah, Nabi menerima permintaan kaum Yatsrib untuk hijrah atas petunjuk Allah dengan meninggalkan kampung kelahiran, harta, dan keluarga yang dicintainya bersama 150 penduduk Mekkah lainnya dengan berjalan kaki tidak kurang dari 500 km menuju Madinah. Momentum hijrah menjadi awal kebangkitan peradaban Islam sebab, apabila di Mekkah, umat Islam yang masih minoritas ditindas dan dimusuhi, di Madinah umat Islam justru mendapatkan perlakuan cukup baik dari kaum Anshar.
Di Madinah, bersama-sama dengan sahabatnya, Nabi mulai membangun peradaban Islam yang selama ini banyak diadopsi sebagai masyarakat Madani, yakni sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang dibangun dan diwujudkan sesuai internalisasi ajaran Islam yang diprakarsai Nabi. Selain itu, hijrah Nabi juga merupakan pemisah antara periode Mekkah yang terkungkung dari kaum Jahiliah beralih ke Madinah yang justru menjadi negeri pembebasan, sekaligus mencerminkan heterogenitas umat, baik Muslim maupun non-Muslim hidup selaras dengan merujuk pada Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan aturan yang menjadi dasar konstitusi negara yang didalamnya menegaskan hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Piagam ini juga mengatur sistem pertahanan dan keamanan negara, menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya fokus pada penyebaran agama Islam, tetapi juga pada pembangunan ekonomi masyarakat. Nabi Muhammad SAW mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pertemuan, pendidikan, dan pengaturan berbagai urusan masyarakat. Komitmen terhadap aqidah Islam dan tatanan sosial baru yang berlandaskan semangat Islam dibangun dari aktivitas masjid. Disamping itu, Nabi Muhammad juga mempersatukan kaum Muhajirin (pendatang dari Mekah) dan Anshar (penduduk asli Madinah) melalui ikatan persaudaraan yang berlandaskan agama. Kaum Anshar diminta untuk membantu kaum Muhajirin dengan memberikan sebagian harta mereka hingga kaum Muhajirin dapat mandiri secara ekonomi.
Rasulullah SAW juga meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Mata uang yang digunakan pada masa itu adalah dinar (emas) dan dirham (perak), yang diimpor dari Romawi dan Persia. Permintaan terhadap uang pada saat itu umumnya hanya untuk transaksi dan berjaga-jaga. Dalam rangka mengatur pendapatan negara, Nabi Muhammad SAW menerapkan beberapa jenis pajak. Di antaranya adalah jizyah, yaitu pajak yang dibebankan kepada non-Muslim (khususnya ahli kitab) sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta, kebebasan beribadah, dan pengecualian dari wajib militer. Selain itu, terdapat kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum Muslim ketika wilayah Khaibar ditaklukan, dengan besaran tetap yakni setengah dari hasil produksi. Ada juga ushur, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yang berlaku hanya sekali dalam setahun dan untuk barang-barang bernilai lebih dari 200 dirham sedangkan untuk sumber pendapatan lainnya meliputi uang tebusan tawanan perang, pinjaman, dan harta wakaf dari kaum Muslim yang meninggal tanpa ahli waris.
Adapun pengeluaran negara pada masa pemerintahan Rasulullah SAW meliputi biaya pertahanan, penyaluran hur, pembayaran gaji dan upah sukarelawan, serta bantuan untuk mustahik (penerima zakat). Selain itu, negara juga mengeluarkan dana untuk utang, sedekah seperti hewan qurban, dan untuk kebutuhan sekunder lainnya. Nabi Muhammad SAW memperkenalkan konsep baru dalam bidang keuangan negara dengan mendirikan Baitul Mal, yang berfungsi sebagai bendahara negara. Semua hasil pengumpulan negara dikumpulkan terlebih dahulu di Baitul Mal dan kemudian dibelanjakan sesuai kebutuhan negara. Harta negara disimpan di masjid dan didistribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa. Lembaga ini lah yang kemudian memainkan peran penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Penerapan Keadilan Melalui Zakat dan Pajak di Masa Abu Bakar As-Shiddiq RA.
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, tongkat kepemimpinannya diestafetkan kepada sahabat tercintanya yang juga termasuk dalam jajaran orang-orang pertama yang memeluk Islam, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Penunjukkan Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang menggantikan Nabi SAW pastinya bukan tanpa alasan. Saat Nabi SAW jatuh sakit, Nabi meminta agar imam sholat berjamaah di Masjid digantikan oleh Abu Bakar RA sebanyak 17 kali hingga Nabi SAW akhirnya meninggal dunia. Hal tersebut seperti merupakan isyarat dari Rasul bahwa memang Abu Bakar yang paling layak dan pantas untuk menjadi penggantinya.
Pada awal kepemimpinan Abu Bakar, ia sudah harus dihadapi dengan berbagai ujian, seperti banyaknya umat Islam yang menentang pemerintahannya sampai melakukan kudeta yang dilakukan oleh orang-orang murtad, rakyat yang tidak mau lagi mengeluarkan zakat, bahkan orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, dan pemberontakan dari beberapa kabilah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Abu Bakar melancarkan perang Ridda (perang melawan kemurtadan) guna mengembalikan stabilitas dan kesatuan umat Islam. Usaha ini berhasil, banyak suku yang kembali memeluk Islam, sehingga persatuan sosial umat Muslim dapat dipertahankan. Selain itu, Abu Bakar juga yang memprakarsai pembukuan Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an menjadi satu mushaf. Hal ini dilakukan olehnya untuk menjaga keutuhan firman Allah Swt. yang menjadi sumber utama hukum Islam bagi kaum muslimin di masanya, dan masa-masa sesudahnya sampai hari kiamat.
Sebagai khalifah, Abu Bakar menjalankan pemerintahan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Sistem pemerintahan yang sentralistik diterapkan, di mana khalifah berkuasa atas legislatif, eksekutif, dan yudikatif, namun tetap menjunjung tinggi musyawarah dengan para sahabat. Dalam bidang sosial dan ekonomi, Abu Bakar fokus pada pengelolaan zakat, infaq, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan jizyah (pajak dari warga non-Muslim) sebagai sumber pendapatan negara. Pendapatan ini dikelola melalui Baitul Mal dan didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Zakat merupakan salah satu pilar penting dalam ekonomi Islam dan Abu Bakar sangat memperhatikannya. Zakat adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mengeluarkan sebagian harta mereka untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Pada masa Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian zakat dilakukan dengan sangat teliti untuk memastikan keakuratannya dan menghindari kelebihan atau kekurangan dalam pembayaran. Hasil zakat disimpan di Baitul Mal dan segera didistribusikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga tidak ada harta yang tertahan. Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, yang dijuluki sebagai “orang kepercayaan umat” oleh Rasulullah merupakan orang yang bertanggung jawab atas urusan keuangan ini.
Selanjutnya, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamaan (tasawi) dalam distribusi zakat, di mana semua sahabat Rasulullah menerima jumlah yang sama tanpa ada perbedaan. Hal ini menunjukkan upaya Abu Bakar untuk menciptakan keadilan dan pemerataan ekonomi di kalangan umat Islam. Menjelang wafatnya, Abu Bakar mengembalikan seluruh kekayaannya kepada negara yang dengan ini menunjukkan komitmen beliau terhadap kesejahteraan umat daripada kepentingan pribadi atau keluarga.
Berikutnya Abu Bakar juga menerapkan kebijakan Ghanimah, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh oleh kaum Muslimin dari musuh yang saat itu juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi Abu Bakar. Pada masa itu, kondisi negara sedang dalam ancaman dan banyak terjadi peperangan. Meskipun demikian, jihad yang dilakukan memberikan implikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Harta rampasan perang ini menjadi salah satu sumber pendapatan penting bagi negara. Seperlima dari harta rampasan tersebut (khumus) disisihkan untuk keperluan negara dan sisanya dibagikan kepada para pejuang. Selain itu, peningkatan jumlah Muslim akibat penguasaan wilayah baru juga berdampak pada peningkatan zakat yang diterima oleh negara.
Pada masa Abu Bakar, mekanisme pajak juga diterapkan. Kategori pajak pada saat itu terbagi menjadi dua yaitu Jizyah dan Kharaj. Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh warga non-Muslim (ahlul kitab) sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, dan kebebasan beribadah, juga menjadi sumber pendapatan yang signifikan pada masa Abu Bakar. Pajak ini juga dikenal pada masa pra-Islam dan diterapkan oleh berbagai kekaisaran seperti Romawi, Persia, dan Bizantium. Jizyah diterapkan dengan tujuan untuk mendorong kebersamaan dalam menanggung beban negara dan memberikan dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah juga menunjukkan perlindungan dan keadilan yang diberikan oleh negara Islam kepada warga non-Muslim. Selain itu, adapula Kharaj, yaitu pajak yang dikenakan pada tanah yang ditaklukkan oleh kekuatan militer. Pajak ini mirip dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Indonesia, namun ditentukan berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Dengan demikian, kharaj adalah pajak atas tanah, sedangkan jizyah adalah pajak atas kepala. Pendapatan dari Jizyah dan kharaj digunakan untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan negara.
Pengelolaan Pasar dan Reformasi Umar bin Khattab RA. Dengan Mengedepankan Keadilan, Administrasi, dan Ekonomi
Setelah Abu Bakar RA meninggal dunia, kepemimpinannya dilanjutkan oleh khalifah Umar bin Khatab atas penunjukkan secara langsung berdasarkan wasiat dari Abu Bakar yang disampaikan kepada Utsman bin Affan RA, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris negara. Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah Islam, memerintah dari tahun 634 hingga 644 M. Pemerintahannya terkenal dengan reformasi sosial, keberhasilan militer, dan administrasi yang efisien.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Umar merupakan refleksi dari pemikirannya. Terkadang ada beberapa kebijakannya yang justru menyelisihi para pendahulunya. Namun, perbedaan yang terjadi hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat furu (cabang dalam agama, bukan dalam hal yang bersifat prinsip). Masa Umar RA adalah sebuah awal saat ijtihad semakin sering digunakan untuk menjawab berbagai macam persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, masyarakat Muslim mengalami banyak perubahan sosial yang signifikan. Umar dikenal sebagai pemimpin yang adil dan peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Ia menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Ia juga memperkenalkan sistem administrasi yang lebih teratur, termasuk pencatatan penduduk dan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan dan keuangan lokal. Ia juga mendorong pendidikan dan memberikan perhatian khusus pada hak-hak wanita dan anak-anak sehingga dalam hal ini menciptakan masyarakat yang lebih terstruktur dan berkeadilan. Pada masa ini pula, mulai diterapkan bea masuk untuk barang-barang yang masuk ke wilayah Islam. Tarif pajak perdagangan ini berbeda antara pedagang Muslim dan non-Muslim; pedagang Muslim dikenakan pajak sebesar 2,5%, sedangkan pedagang non-Muslim dikenakan 5%. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong perdagangan internasional yang adil dan menguntungkan bagi negara.
Dalam pengelolaan pasar dan perdagangan, Khalifah Umar Bin Khattab menerapkan kebijakan yang ketat untuk menjaga keseimbangan pasar. Ia melarang praktik monopoli dan penimbunan barang, serta memberikan teguran keras kepada pedagang yang melanggar. Jika pedagang tetap melanggar, mereka akan dikeluarkan dari pasar. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik perdagangan yang merugikan. Umar juga mendirikan lembaga hisbah, yaitu sebuah lembaga pengawasan pasar yang bertugas memastikan semua kegiatan perdagangan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Lembaga ini mengawasi dan menindak pelanggaran seperti kecurangan dalam timbangan dan kualitas barang.
Untuk memudahkan pengelolaan dan pengawasan, Umar membagi wilayah kekuasaannya menjadi delapan provinsi, masing-masing dipimpin oleh gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Pembagian wilayah ini memudahkan koordinasi dan pengawasan terhadap kebijakan ekonomi di setiap provinsi.
Disamping itu, Reformasi pemerintahan dan administrasi ekonomi juga merupakan bagian dari kebijakan Umar Bin Khattab. Salah satu langkah penting adalah pembentukan tentara resmi untuk melindungi wilayah, memastikan keamanan perdagangan, dan menjaga stabilitas ekonomi. Tentara ini juga berperan dalam penaklukan wilayah baru yang kemudian menjadi sumber pendapatan tambahan bagi negara. Selain itu, Umar mendirikan Majelis Syuro sebagai badan penasihat dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang ekonomi. Pembentukan Majelis Syuro memastikan bahwa keputusan ekonomi diambil secara kolektif dan bijaksana.
Kondisi ekonomi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab mengalami perkembangan yang pesat. Penaklukan wilayah baru membawa sumber daya alam yang melimpah dan meningkatkan pendapatan negara. Umar memperkenalkan berbagai reformasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan kesejahteraan. Salah satu kebijakan penting adalah pembagian tanah yang adil kepada para veteran perang dan penduduk lokal, yang dikenal dengan istilah iqta.
Selanjutnya, dalam hal perlindungan dan kesejahteraan sosial, Umar Bin Khattab menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap rakyatnya. Ia mengeluarkan kebijakan yang memastikan pendapatan negara digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan kesehatan, dan pendidikan. Perlindungan terhadap kaum lemah dan fakir miskin juga menjadi prioritas, dengan distribusi zakat yang dilakukan secara tepat sasaran.
Membagi Lahan, Mengelola Zakat, dan Mengembangkan Perdagangan Melalui Kebijakan Utsman bin Affan RA.
Setelah Khalifah Umar meninggal dunia, tongkat kepemimpinan selanjutnya diteruskan kepada Utsman bin Affan. Sebelum meninggal, khalifah Umar menunjuk tim yang bertugas untuk menentukan khalifah selanjutnya. Tim ini terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf RA. Setelah berunding, tim ini sepakat bahwa nantinya mereka akan mengangkat Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Khalifah Umar mewariskan pemerintahan Islam yang kuat kepada khalifah Utsman. Namun, berbeda dengan Umar yang saat menjabat lebih sering melakukan ekspansi wilayah kekuasaan dengan cara operasi militer, khalifah Utsman lebih berfokus untuk mengelola wilayah-wilayah yang telah ada dengan berbagai program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, sumber-sumber pemasukan utama bagi keuangan negara mencakup harta rampasan perang, zakat, jizyah, kharaj, dan ushur. Dana dari Baitul Mal, atau perbendaharaan negara, digunakan untuk berbagai keperluan yang mendukung pembangunan dan kesejahteraan umat sedangkan pengeluaran keuangan negara mencakup gaji untuk para walikota dan tentara, biaya untuk kostum haji, dana perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pembangunan armada laut, pengeboran sumur wakaf, serta dana untuk para muadzin, fakir miskin, dan musafir.
Utsman bin Affan melanjutkan kebijakan administrasi yang sudah ada dan melakukan beberapa reformasi penting. Ia mempertahankan gubernur-gubernur yang kompeten dari masa pemerintahan Umar bin Khattab dan mengangkat beberapa sepupunya yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik. Marwan bin Hakam diangkat sebagai penasihat yang membantu tugas-tugas kekhalifahan. Untuk mengatasi perbedaan bacaan Al-Quran, Utsman memerintahkan penyusunan mushaf Al-Quran standar yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani.
Dalam bidang ekonomi dan perdagangan, Utsman bin Affan mengadakan kontrak dagang dengan negara-negara yang dikuasai Islam untuk mengembangkan potensi sumber daya alam. Pengelolaan zakat juga diubah dengan memberikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemilik harta untuk menghindari masalah dalam pengumpulan zakat. Salah satu kebijakan penting Utsman adalah sistem sewa lahan pemerintah, yang dikenal sebagai Sawafi Land. Utsman mengubah sistem pengelolaan lahan terbengkalai menjadi sistem sewa kepada pihak swasta, yang meningkatkan produktivitas lahan dan menurunkan biaya pemerintahan.
Walaupun banyak sistem perekonomian yang diterapkan berasal dari masa pemerintahan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan melakukan beberapa perubahan penting seperti tanah negara yang dibagi-bagikan kepada individu untuk tujuan reklamasi sehingga meningkatkan pendapatan negara. Utsman juga berusaha memperoleh informasi akurat tentang kondisi harga di pasar dan mendiskusikannya dengan masyarakat. Bantuan dan santunan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, serta makanan didistribusikan di masjid untuk fakir miskin dan musafir.
Mengatur Pasar, Mencetak Mata Uang dan Mempertahankan Stabilitas Negara Sebagai Peran Ali bin Abi Thalib RA.
Tidak seperti ketiga khalifah pendahulunya, proses pengangkatan Ali sebagai khalifah menggantikan posisi Utsman diwarnai berbagai konflik politik. Tragedi pembunuhan Utsman menimbulkan fitnah dan memecah belah kaum muslimin. Banyak pihak yang menuntut agar khalifah yang baru untuk segera menyelesaikan kasus ini sesuai dengan hukum Allah Swt. Perselisihan pendapat atas penyelesaian kasus pembunuhan Utsman bin Affan RA ini menyebabkan dua tragedi besar di masa pemerintahan Ali RA, yaitu tragedi Jamal dan tragedi Shiffin. Tragedi Jamal (Waq’atul Jamal) adalah pertempuran antara Ali RA dengan Aisyah RA yang terjadi pada tahun 36 Hijriah, sedangkan Tragedi Shiffin (Waq’atu Shiffin) adalah pertempuran yang terjadi antara Ali RA dengan Muawiyyah menjelang tahun 40 hijriah.
Walaupun pada masa Pemerintahan Ali banyak diwarnai konflik internal, tetapi sebenarnya Khalifah Ali RA adalah sosok pemimpin yang sangat perhatian terhadap isu kemiskinan. Selain itu, pada masa pemerintahannya, Khalifah Ali membentuk lembaga kepolisian yang terorganisir secara resmi yang disebut syurthah dan pemimpinnya diberi gelar shahibus syurthah. Khalifah Ali RA memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya. Surat ini menjelaskan bagaimana hubungan dengan masyarakat sipil, lembaga peradilan dan angkatan perang.
Dalam menjalankan kegiatan ekonomi, Ali bin Abi Thalib sangat mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara. Ia percaya bahwa keadilan sosial adalah hal yang utama dan kekayaan negara harus dialokasikan sebaik mungkin untuk kebermanfaatan yang luas. Ali menetapkan pajak terhadap pemilik kebun sebesar empat ribu dirham dan mengizinkan pemungutan zakat terhadap sayuran segar yang digunakan sebagai bumbu masakan. Kebijakan ini menjadi salah satu sumber pemasukan kas negara yang penting untuk kepentingan publik. Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga menerapkan sistem pembayaran pegawai secara mingguan. Kebijakan ini bertujuan agar para pegawai negeri segera menerima kompensasi atas kerja keras mereka. Gaji yang dibayar pemerintah berasal dari kas negara yang tersimpan di dalam Baitul Mal sehingga kebijakan ini memastikan bahwa para pegawai dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa penundaan.
Seiring dengan itu, Ali bin Abi Thalib juga melakukan kontrol pasar yang ketat. Ia memberantas pedagang licik, para penimbun barang (Ihtikar), dan pasar gelap. Menurut Ali, Kondisi pasar yang sehat dan adil sangat penting. Penimbunan barang adalah perilaku yang diharamkan dalam Islam dan harus dicegah oleh pemerintah. Dengan kebijakan ini, Ali memastikan bahwa transaksi ekonomi dan perdagangan berjalan dengan baik dan adil. Dalam rangka melindungi kepentingan para pekerja, Ali bin Abi Thalib menetapkan aturan kompensasi jika mereka merusak barang pekerjaan, kebijakan ini bertujuan agar para pekerja memiliki sikap dan perilaku yang bertanggung jawab serta disiplin dalam menjalankan tugas mereka. Selain itu, Ali juga mencetak mata uang sendiri yang berbeda dengan dinar Romawi dan dirham Persia. Langkah ini menunjukkan kemandirian ekonomi dan identitas pemerintahan Islam.
Dalam hal kebijakan politik, Ali bin Abi Thalib memecat gubernur yang sewenang-wenang, mengembalikan tanah yang dihadiahkan oleh Utsman pada masa pemerintahannya, dan memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah. Ia juga memerangi para pemberontak untuk menjaga stabilitas negara. Dengan demikian, meskipun menghadapi banyak tantangan, kebijakan ekonomi Ali bin Abi Thalib menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Ia berusaha menciptakan perekonomian yang sehat, adil, dan berkelanjutan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Kebijakan-kebijakan ini tidak hanya memperkuat ekonomi negara tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan, tanggung jawab, dan kesejahteraan bagi semua.
Di akhir masa kepemimpinannya, Ali dibunuh ketika sedang berjalan menuju ke masjid untuk salat berjamaah oleh seorang khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam. Berbeda dengan pembunuh Umar RA yang merupakan seorang non-muslim, pembunuh Ali adalah seorang yang mengaku sebagai muslim. Terbunuhnya Ali RA menandai akhir era kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang kemudian kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yaitu Al-Hasan RA.
Kesimpulan
Perjalanan sejarah peradaban Islam, sejak masa hijrahnya Nabi Muhammad SAW hingga periode kepemimpinan para khalifah, tidak bisa dilepaskan dari peran para pemimpin yang visioner dan berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan, persatuan, dan kesejahteraan. Dimulai dengan hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW mendirikan masyarakat yang berbasis pada Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang revolusioner pada masanya karena menekankan hak dan kewajiban yang seimbang bagi setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Ini menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah mengedepankan nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para khalifah penerus melanjutkan misi tersebut dengan menerapkan kebijakan yang tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga praktis dalam bidang sosial dan ekonomi. Para khalifah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, menghadapi tantangan masing-masing dalam mengelola umat yang semakin berkembang pesat. Mereka tidak hanya berhasil memperluas wilayah Islam, tetapi juga memperkuat sistem administrasi, memperbaiki pengelolaan zakat, pajak, dan pasar yang mencerminkan prinsip keadilan dan pemerataan ekonomi dalam Islam.
Pada akhirnya, peradaban Islam dapat berkembang pesat karena kepemimpinan Nabi Muhammad dan para penerusnya yang berdedikasi untuk menegakkan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Islam. Setiap khalifah berupaya memastikan kesejahteraan rakyat dan menjaga integritas melalui kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan ekonomi. Peninggalan para pemimpin ini menjadi pelajaran penting bagi umat Muslim tentang bagaimana pemerintahan yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, makmur, dan sejahtera.