Oleh: Muhammad Izzan (Ilmu Ekonomi Islam 2023)
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). [Yusuf:111]
Judul Artikel : Poverty Alleviation Strategies Implemented By ʿUmar Ibn ʿAbdul ʿAziz: Lessons For Muslim Economists On Achieving SDG Of Poverty Alleviation
Penulis : Ibrahim Nuhu Tahir
Tahun : 2020
Journal : International Journal of Economics, Management and Accounting 28, no. 2
Publisher : International Islamic University Malaysia
EISSN : 2462-1420
-
Pendahuluan
Pengamatan terhadap sejarah kepemimpinan Islam menunjukkan bahwa pada masa awal berdirinya Daulah Islam, umat menyaksikan masa keemasan. Masa keemasan ini dimulai sejak zaman Nabi dan para penerusnya, yakni khulafaur rasyidin. Mereka memimpin umat dalam segala aspek kehidupan. Namun, status prestisius ini tidak bertahan lama dan mulai direnggut dari umat ketika mereka jauh dari syariat yang Allah turunkan. Pembalikan kondisi buruk ini dimulai dengan wafatnya Khalifah Al-Walid Bin ‘Abdul Malik. Penggantinya Sulaiman Bin ‘Abdul Malik mulai melakukan beberapa reformasi yang dianggap sebagai persiapan dan landasan bagi terjadinya reformasi penuh (Al-Dhahabī, 1998). Kemudian, ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz benar-benar melakukan reformasi luar biasa yang tidak akan pernah dilupakan dunia.
Status ekonomi umat tidak dalam kondisi yang baik karena gejolak politik yang besar, ketidakstabilan sosial, perpecahan keluarga, penindasan, penyalahgunaan wewenang, kesalahan pengelolaan kekayaan dalam segala bentuknya, dan masih banyak lagi kejahatan lainnya. ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz muncul di tengah kekacauan tersebut untuk memulai reformasi dari semua dimensi, meliputi dimensi politik, sosial, dan ekonomi. Sebelum mendalami metode yang digunakan oleh ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz dalam mereformasi sistem ekonomi, penting untuk memahami biografi Khalifah.
1.1 Biografi Singkat Umar Bin Abdul Aziz
Lahir di Madinah 61H dari cucu Khalifah Islam kedua, Umar ibn Al Khattab. Namanya adalah Ummu ‘Asim Binti ‘Asim Bin ‘Umar Bin Al-Khattab dan ayahnya adalah ‘Abdul ‘Aziz Bin Marwan yang juga seorang gubernur Mesir selama sekitar 20 tahun, Ia berasal dari garis keturunan bangsawan dan berasal dari Banu Umayyah. (Al-Ṣallābī, 2006)
Beliau mulai menuntut ilmu pada usia yang sangat muda dan tetap istiqomah hingga beliau menjadi seorang ulama terkemuka yang disegani. Banyak ulama besar yang memuji kepribadiannya. Kedua Imam, al-Imām Mālik dan al-Imām Sufyān Bin ʿUyaynah mengungkapkan, “Dia adalah seorang Imam”. (Ḥayāt, 2002) Maymūn Bin Mihrān mengatakan bahwa: “Ulama tidak ada apa-apanya di hadapan ‘Umar Bin ‘Abdul Aziz melainkan pelajar.”
Karier politiknya dimulai ketika ia diangkat menjadi gubernur Madinah pada masa Khalifah Walid Bin ‘Abdul Malik. Kemudian Khalifah Sulaiman Bin ‘Abdul Malik menjadikan ‘Umar sebagai penasihat pada masa pemerintahannya dan setelah kematiannya ia melanggar tradisi dan menetapkan bahwa setelah dia ‘Umar Bin ‘Abdul Aziz harus menjadi khalifah. Sulaiman membuat keputusan yang sangat baik dengan izin Allah, karena dia memilih seseorang yang oleh sebagian ulama disebut sebagai khalifah Islam kelima yang mendapat petunjuk yang benar. Beliau mendapatkan gelar ini karena cara beliau menghidupkan kembali umat pada masa pemerintahannya.
‘Umar adalah seorang khalifah yang enggan untuk memikul amanah tersebut, dia takut jatuh ke dalam kezaliman. Sampai kaum muslimin mengungkapkan keinginan mereka terhadap kepemimpinannya dan inilah yang mendorongnya menerima posisi tersebut. Khalifah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ sebagai landasan kepemimpinannya. Selanjutnya beliau mengambil contoh empat khulafaur rasyidin sebagai teladan kepemimpinannya. Niscaya ilmunya tidak hanya memberikan manfaat bagi dirinya saja, namun manfaatnya juga dirasakan umat pada masa pemerintahannya.
Kecintaannya pada keadilan menyebabkan kematian di tangan salah satu budaknya yang dibayar 1000 dinar dan menjanjikan kebebasannya jika meracuni ‘Umar Bin ‘Abdul Aziz. ‘Umar Bin Abdul Aziz meninggal di Damaskus pada usia tiga puluh sembilan tahun enam bulan. Meskipun masa kekhalifahannya singkat, beliau telah mencapai apa yang belum pernah dicapai oleh siapa pun setelah empat khulafaur rasyidin. Beliau sempat mengingatkan umat akan manisnya masa keemasan khilafah Islam, semoga Allah merahmatinya. (Akbar Shah, 2001; Ḥayāt, 2002; Muḥammad, 2014; Tamir, 2001)
-
Reformasi Sosial Ekonomi dan Politik Pada Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz
Dalam rangka reformasi dapat terlaksana dengan baik, seorang reformis harus mempunyai tujuan jelas yang memotivasi mereka untuk gigih dalam melakukan reformasi. Mereka juga membutuhkan prinsip-prinsip sebagai dasar reformasi itu. Bagian ini akan berfokus pada strategi yang digunakan oleh ‘Umar Bin Abdul ‘Aziz dalam reformasinya.
2.1 Keadilan
Keadilan adalah pilar terpenting dalam reformasi suatu sistem. Tanpa keadilan, kehidupan tidak akan bisa ditolerir, hal ini menjelaskan mengapa syariat sangat menekankan hal ini. Sebagaimana yang Allah tekankan pada surat An-Nahl ayat 90, yakni agar berlaku adil dan melarang perbuatan keji. ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz lebih menekankan keadilan sepanjang kepemimpinannya. Dalam perjuangannya untuk menegakkan keadilan, ia mengadopsi beberapa strategi, di antaranya membebaskan tahanan dari pemerintah sebelumnya yang tidak bersalah, menghapus kebijakan pemerintah sebelumnya yang tidak sesuai dengan syariat, mengembalikan hak-hak orang yang terzalimi, dan mengembalikan hukum kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
2.2 Mengambil Manfaat dari Pengalaman Sebelumnya
Salah satu kunci keberhasilan ʿUmar dalam reformasinya adalah ia mengadopsi pengalaman para khalifah sebelumnya yang diperlukan dalam setiap reformasi karena sudah teruji. Sebuah pelajaran penting bagi mereka yang berkuasa di tingkat mana pun dan khususnya pemerintahan adalah ketika mereka menggantikan seseorang atau pemerintahan sebelumnya, mereka harus berupaya untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang sudah ada, bukannya mengabaikan atau menghentikan kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini akan menghemat sumber daya publik dalam hal waktu, biaya, dan keahlian yang telah diinvestasikan oleh pemerintah sebelumnya dalam proyek-proyek tersebut. Selain itu, hal ini memberikan peluang bagi pemerintahan baru untuk mengeksplorasi strategi baru di bidang lain daripada berfokus pada bidang yang sudah dikelola dengan baik. Hal ini menjadikan negara lebih inovatif daripada selalu menghancurkan dan membangun kembali setiap pergantian pemerintahan.
2.3 Memiliki Penasihat Pribadi yang Baik
‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz berusaha memastikan bahwa dia dikelilingi dengan orang-orang saleh yang akan menasihatinya dengan kebenaran dan membimbingnya menuju kebenaran. Hal ini sangat penting karena tidak mungkin seorang pemimpin berhasil jika dikelilingi oleh orang-orang yang korup; seorang pemimpin yang dirinya sendiri tidak saleh tetapi dikelilingi oleh orang-orang yang saleh dapat berhasil dengan nasihat baik mereka. Tetapi seorang pemimpin yang saleh dikelilingi oleh penasihat jahat dan korup tidak akan pernah berhasil.
2.4 Melawan Suap dan Mencegah segala Cara seperti Hadiah kepada Pekerja
Salah satu bidang yang menjadi fokus ʿUmar Bin ʿAbdul ʿAzīz dalam perjuangannya melawan korupsi adalah menghentikan penerimaan dan pemberian suap. Nabi bersabda: “laknat Allah ada pada orang yang memberi suap dan orang yang menerimanya.” (Ibnu Mājah, n.d). Dikisahkan pada suatu kesempatan beliau menolak pemberian hadiah sekalipun dari keluarga besarnya sendiri dalam rangka kehati-hatian beliau pada harta yang tidak halal .”(Al-Rawāḥinah, 2012) Ini adalah prinsip penting dalam Siyāsah Sharʿiyyah karena mencegah pejabat pemerintah melakukan korupsi dan mengambil keuntungan dari jabatannya.
2.5 Perlindungan Jaminan Sosial dan Politik
Salah satu tindakan yang biasa dilakukan oleh ʿUmar Bin ʿAbdul ʿAzīz adalah melakukan patroli malam keliling kota dengan salah satu pengawalnya yang merupakan sunnah kakeknya ʿUmar Bin Al-Khattab. Temperamennya yang tenang dan toleransi tinggi membuatnya mampu menjaga keadilan dan kerendahan hati terhadap rakyat. Masyarakat tidak dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi tanpa rasa aman.
2.6 Kontinuitas dan Konsistensi dalam Bekerja Tanpa Penundaan
Suatu pemerintahan tidak akan berhasil jika ia menunda pengambilan keputusan, tindakan, kebijakan atau proyek yang seharusnya diselesaikan saat ini hingga masa depan. ‘Umar mengungkapkan bagaimana dia bisa menggabungkan pekerjaan dua hari ketika dia bahkan tidak bisa melaksanakan tugas yang dia miliki untuk satu hari? (Al-Rawāḥinah, 2012). Oleh karena itu, sudah menjadi kebiasaannya untuk menghindari penundaan dan mencapai konsistensi dalam pekerjaannya. Pelajaran ini semakin mendalam saat ini dengan pesatnya perkembangan zaman yang sekarang disebut dengan era informasi. Penundaan tindakan yang diperlukan dapat merugikan pemerintah, dan juga rakyatnya. Selain itu, hal ini menghambat inovasi dan menghambat kinerja publik.
2.7 Sebuah Standar Sistem untuk Semua Gubernur
Ketika beberapa gubernur meminta kepada Umar agar diberikan izin untuk menerapkan hukum yang keras tanpa menunggu sampai seluruh syarat terpenuhi, adapun Umar berkeyakinan keadilan dan kebenaran yang akan mengubah mereka dan itulah yang harus ia terapkan pada mereka. (Al-Suyūṭī, 1952) Pelajaran utama di sini adalah bahwa cara terbaik untuk mereformasi masyarakat dalam sistem hukum dan keadilan adalah dengan mengikuti Shariʿah. Menggunakan metode yang keras dan ekstrim terhadap orang-orang dan kekayaan mereka lebih banyak merugikan daripada menguntungkan dan dapat menyebabkan ketidakadilan. Mematuhi pedoman Shariʿah adalah satu-satunya cara untuk mereformasi masyarakat.
2.8 Melarang Uang Palsu
Umar menyadari pentingnya mencegah peredaran uang palsu karena berdampak negatif terhadap perekonomian. Hal ini menyebabkan harga naik dan menimbulkan ketidakseimbangan antara jumlah uang dan barang yang tersedia di pasar. Dia menerapkan semua tindakan untuk mencegah produksi dan peredaran uang palsu. Seorang pemalsu pernah dibawa kepadanya; dia mencambuknya dan kemudian memenjarakannya. Ia juga memusnahkan alat percetakannya dengan cara dibakar. (Al-Rawāḥinah, 2012)
-
Pelajaran bagi Negara Muslim Merealisasikan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Pengentasan Kemiskinan
Bagian ini memberikan gambaran singkat tentang bagaimana negara-negara Muslim dapat mencapai SDGs dengan menggunakan contoh praktis ʿUmar Bin ʿAbdul ʿAzīz. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengidentifikasi 17 SDGS yang harus dicapai pada tahun 2030 yang jika tercapai akan dianggap sukses (PBB, 2020). Negara-negara Muslim perlu memiliki pemahaman yang jelas tentang fondasi kesuksesan. Fondasi kesuksesan yang terpenting adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para pendahulu. Berpartisipasi dalam upaya global seperti SDGs adalah tindakan mulia yang dipuji oleh Islam asalkan sesuai dengan syariat.
3.1 Tujuan 1 dan 2 SDGs: No Poverty dan Zero Hunger
Islam menekankan pengurangan kesulitan dan menawarkan kemudahan yang sejalan dengan SDG pertama dan kedua (No Poverty dan Zero Hunger). Islam menggabungkan mekanisme seperti zakat dan shadaqah, menekankan kerja keras dan kepercayaan kepada Allah, menciptakan jaring pengaman sosial bagi keluarga dan anak yatim, serta hukum waris yang adil. Meskipun ada ketentuan-ketentuan ini, negara-negara Muslim masih menghadapi kemiskinan karena kelalaian, ketidaktahuan, dan ketidakadilan.
Contoh sejarah, seperti kepemimpinan ʿUmar Bin ʿAbdul ʿAzīz, menunjukkan pentingnya keadilan dan kebebasan dalam pertumbuhan ekonomi. Ia memberikan berbagai kebebasan, menghapus pajak yang tidak adil, dan memastikan perlakuan yang adil bagi mualaf dengan mengakhiri pengumpulan Jizya dari mereka. Keadilan ini menyebabkan peningkatan konversi ke Islam dan masyarakat yang lebih makmur.
3.2 Peran Pertanian sebagai Sumber yang Menjanjikan
Pertanian berperan sangat besar dalam mengurangi kemiskinan. Bidang ini dapat diikuti oleh semua lapisan masyarakat asalkan memiliki sebidang tanah dan beberapa benih. Produk pertanian akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah seharusnya tidak terlalu fokus pada sumber daya mineral yang terbukti tidak dapat diandalkan dan berkelanjutan. Mereka harus menyediakan lingkungan yang kondusif bagi warganya untuk berusaha dalam berbagai bentuk, baik pertanian, perikanan, peternakan, atau kegiatan terkait lainnya. Seorang Muslim seharusnya produktif dan selalu bergantung pada dirinya sendiri setelah Allah, tanpa perlu meminta kepada orang lain.
Untuk mengurangi beban pada pemerintah, masyarakat harus didorong untuk mandiri dan mencari alternatif selain mengandalkan pemerintah. Lingkungan yang kondusif berdasarkan keadilan, keamanan, dan kebebasan dalam berdagang harus disediakan oleh pihak berwenang. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ‘Umar bin Khattab yang menyediakan sebidang tanah untuk membiarkan para gembala yang hanya memiliki sedikit hewan untuk merumput di sana. Ini bertujuan mengurangi beban masyarakat pada pemerintah. (Al-Bukhārī, 2000).
3.3 Peran Kharaj dalam Mengentaskan Kemiskinan
Salah satu reformasi kunci yang dilakukan oleh ʿUmar ibn ʿAbdul ʿAziz dalam memimpin umat adalah mengelola Kharaj dengan baik. Menurut Al-Ṣallabi (2006) dan Al-Mawardi (1989), Kharaj adalah pajak yang diambil pemerintah Islam dari orang-orang di tanah yang ditaklukkan. Non-Muslim di tanah tersebut harus membayar Kharaj untuk menggunakan tanah tersebut. Penguasa sebelumnya dari Dinasti Umayyah telah menyalahgunakan Kharaj dan pendapatannya menurun seiring waktu. Untuk memperbaiki hal ini, ʿUmar Bin ʿAbdul ʿAzīz melarang penjualan tanah Kharaj dan mengembalikan tanah yang disita. Dia juga mengurangi beban pajak bagi petani di tanah tersebut sehingga mereka bisa menginvestasikan kembali keuntungan mereka. Tanah kosong dikembangkan agar dapat menghasilkan keuntungan (Al-Ṣallābī, 2006).
Meskipun konsep Kharaj tidak ada saat ini, metode serupa bisa digunakan untuk tanah kosong di bawah pengawasan pemerintah. Tanah-tanah ini bisa disewakan untuk pengembangan pertanian. Ini membawa beberapa manfaat, termasuk sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah, mengurangi ketergantungan pada pemerintah, dan peserta akan membayar zakat dari hasil panen mereka, yang juga akan mengurangi tingkat kemiskinan di negara tersebut.
3.4 Pengelolaan Zakat dan Tujuan SDG
Zakat adalah alat terbesar yang disediakan oleh syariat yang memiliki kapasitas untuk mengentaskan kemiskinan dan menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Ayat yang berkaitan dengan tujuan sedekah mengatakan: Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.[Al-Hasyr : 7] Ayat tersebut menekankan bahwa salah satu tujuan distribusi dalam Islam adalah untuk menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin sehingga kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja.
Sistem zakat dahulu dikelola dengan baik oleh para pemimpin terdahulu mulai dari Nabi ﷺ hingga Mu’awiyah dan kemudian terjadilah jeda. Namun, era keemasan kembali pada masa ‘Umar Bin ‘Abdul Aziz di mana ia menghidupkan kembali sistem tersebut dan membawa umat kembali ke masa empat khulafaur rasyidin. Jika pihak berwenang memberlakukan zakat dengan cara yang sama seperti ketika mereka menangani pajak, maka umat tidak akan tetap seperti ini. Namun, perhatian dan kepedulian yang lebih besar hanya diberikan pada pajak, sementara zakat diabaikan dan diserahkan pada kebijaksanaan masyarakat; seorang Muslim membayarnya kapanpun dia mau.
3.5 Kegagalan Amerika Mengakhiri Kemiskinan: Hal yang Perlu Diperhatikan
Jika negara-negara Muslim mengabaikan fakta bahwa Islam adalah fondasi kesuksesan, maka akan terjadi kegagalan serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Selama lebih dari setengah abad, pemerintah Amerika telah menyatakan perang terhadap kemiskinan. Namun, meskipun mereka telah mengeluarkan triliunan dolar dalam perang ini dan program kesejahteraan yang mereka laksanakan, mereka belum memenangkan perang tersebut. Nyatanya, upaya yang mereka lakukan justru menimbulkan permasalahan baru. Jumlah anak di luar nikah telah meningkat dan masyarakat miskin menjadi lebih bergantung pada pemerintah dibandingkan sebelum adanya kebijakan pengentasan kemiskinan. (Woodhill, 2014) Woodhill juga berpendapat bahwa kebijakan kesejahteraan sosial menyebabkan rendahnya tabungan dan lebih sedikit uang yang tersedia untuk ditabung karena pajak.
Contoh upaya Amerika Serikat untuk mengentaskan kemiskinan dan kegagalan mereka membuktikan bahwa kemiskinan bukan hanya masalah material dan mereka juga menyadarinya. Karakter dan keyakinan orang perlu diperbaiki agar setiap usaha fisik memiliki dampak yang berkelanjutan pada kehidupan mereka. Pemerintah Muslim harus meluangkan waktu untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya hati yang beriman yang sehat. Mereka perlu menggunakan alat spiritual Islam untuk pengentasan kemiskinan seperti: iman, taqwa, kepuasan, tawakkul, dzikir kepada Allah dan syukur kepada-Nya. Menurut Tahir (2019) ini adalah kualitas yang dikembangkan oleh Umar bin Abdul-Aziz di antara masyarakat dan pengaruhnya terlihat dalam karakter dan usaha mereka untuk mencari nafkah yang jujur.
-
Kesimpulan
Pada awalnya, umat Islam berkembang pesat dan terus mengalami kemajuan. Kesuksesan yang dilandaskan kepada keteguhan mereka terhadap Islam dan ajarannya. Allah sudah menurunkan Al-Quran kepada Muhammad ﷺ sebagai petunjuk, maka tidak ada kesuksesan dalam bidang kehidupan manusia kecuali melalui dua sumber petunjuk yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah rahasia di balik kesuksesan kepemimpinan sebelumnya yang mendasarkan semua reformasi pada petunjuk yang Allah turunkan. Pemimpin muslim perlu mengikuti jejak pendahulu mereka, karena setiap kali pemimpin menyimpang dari jalan Nabi ﷺ dan sahabat, umat akan mengalami kemerosotan. Itu terbukti ketika ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi khalifah, reformasinya berhasil. Dia mencapai keadilan dan pengentasan kemiskinan melalui ketergantungan penuh pada Al-Qur’an, Sunnah, dan cara Khulafaur Rasyidin, bukan pada kreativitas independen dan inovasi barunya. Oleh karena itu, sebagai bentuk upaya kontemporer agar berhasil mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara Islam, kita perlu mengikuti jejak umat Islam awal.
Umat Islam harus berhenti fokus pada cara menghilangkan kemiskinan tetapi lebih fokus pada cara mengatasi akar penyebabnya. Contoh Umar Bin Abd Al-Aziz sangat tepat untuk ini karena dia tidak terlalu memerhatikan kemiskinan dan cara menghilangkannya. Namun, dia menaruh seluruh kekuatannya pada penyediaan kebijakan yang bertujuan mengatasi akar penyebabnya. Dia secara komprehensif memastikan perlindungan maqasid al-Shari’ah, dan menghilangkan ketidakadilan dalam segala bentuk dari masyarakat, memberikan kebebasan mutlak kepada orang untuk berdagang dan berbisnis di mana pemerintah tidak membebankan pajak kepada mereka. Semua ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan berkelanjutan. Dampak lanjutannya adalah tingkat kemiskinan berkurang sedemikian rupa sehingga hampir tidak ada yang memenuhi syarat untuk menjadi penerima zakat karena kemiskinan. Perubahan tidak akan pernah terjadi kecuali akar kejahatan diatasi dengan benar, Al-Qur’an mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’d: 011)