Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Mobilisasi trust pada takaful (asuransi Islam): English trust as the proposed solution

Mobilisasi trust pada takaful (asuransi Islam): English trust as the proposed solution

Oleh Faisal Abyan Hakim (Bisnis Islam 2021), wakil BPH Departemen Penelitian IBEC FEB UI 23

 

Judul Artikel : Mobilizing the trust for Islamic insurance (Takaful)
Penulis : Scott Morrison 
Tahun : 2019
Jurnal : Trust & Trustees 
Publisher : Oxford University Press
DOI : doi:10.1093/tandt/ttz017
ISSN : 1752-2110 or 1363-1780

 

Latar Belakang

Asuransi merupakan sektor yang dapat dikatakan cukup penting dan sudah cukup lama berada di tengah-tengah masyarakat dunia. Sektor ini dioperasikan oleh perusahaan asuransi itu sendiri dengan menawarkan beberapa jenis kebijakan asuransi (insurance policy), kepada pemegang polis asuransi guna mendapatkan jaminan perlindungan dari peristiwa atau hal buruk (adverse event) yang setelah dianalisis dapat dikategorikan sebagai risiko yang dapat diasuransikan (insurable risk). Terdapat beberapa pihak yang dilibatkan dalam proses asuransi, secara umum yaitu perusahaan asuransi (insurer) dan pemegang polis asuransi (insured). Hubungan antara kedua pihak tersebut adalah risk transfering atau pemindahan risiko dari pemegang polis kepada perusahaan asuransi. Hubungan antara kedua belah pihak sebelumnya juga dapat dikatakan sebagai risk arbitrage atau jual beli risiko, di mana pihak pemegang polis menjual kemungkinan risikonya kepada pihak perusahaan asuransi sebagai pembeli risiko tersebut untuk ditanggung.

Sistem asuransi konvensional saat ini dapat dikatakan belum mapan. Hal ini dapat dinyatakan karena adanya unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain dalam penerapan skemanya yang mendorong terjadinya inequality atau ketidakadilan. Oleh karena kondisi tersebut, di tengah-tengah banyaknya praktek asuransi konvensional saat ini, maka muncullah asuransi syariah atau takaful, yang diyakini tentu jauh lebih mapan dari asuransi konvensional. Takaful ini muncul pada dasarnya karena tidak sesuainya prinsip asuransi konvensional dengan syariat Islam (Morrison, 2019:450) yang menjunjung tinggi keadilan dan hak manusia lainnya. Asuransi syariah atau takaful adalah bagian dari sektor asuransi yang menggunakan prinsip-prinsip syariat Islam sebagai dasar pedomannya.

Dalam kacamata takaful, asuransi konvensional memiliki beberapa hal yang dikategorikan sebagai melanggar atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Pertama, asuransi umum mengandung unsur judi atau maysir dalam penerapannya. Seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya, asuransi umum adalah kegiatan transfer risiko atau jual beli risiko antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Hubungan antar kedua belah pihak tersebut dalam asuransi umum memiliki hasil untung dan rugi antara kedua belah pihak. Di mana, ketika dalam tempo jangka yang dikontrak sebelumnya oleh kedua belah pihak tidak terjadi risiko apapun, maka premi pemegang polis akan diakui sepenuhnya sebagai keuntungan perusahaan asuransi dan secara jelas akan menguntungkan perusahaan asuransi dan merugikan pihak pemegang polis begitupun sebaliknya. Kedua, asuransi konvensional memiliki unsur ketidakjelasan atau gharar dalam prakteknya. Pada praktek transfer risiko antara pihak perusahaan asuransi dengan pihak pemegang polis terdapat ketidakjelasan atau gharar yang berat, di mana kedua belah pihak tidak mengetahui secara tepat atau mendekati tepat terjadinya kemungkinan risiko yang diasumsikan sebelumnya. Pada dasarnya, gharar atau ketidakjelasan yang tidak sesuai atau melanggar syariat Islam adalah gharar yang mengakibatkan untungnya satu pihak dan rugi pada pihak lainnya. Sehingga, gharar pada asuransi umum melanggar syariat Islam karena akan mengarahkan kedua belah pihak kepada kemungkinan untung dan rugi yang didapat di antara keduanya. 

Hal tersebut berbeda dengan takaful, yang memiliki konsep risk sharing atau menanggung risiko secara bersama di antara pemegang polis takaful. Pada takaful, pihak yang terlibat di dalam transaksinya tidak jauh berbeda dengan asuransi umum, di mana terdapat dua pihak yang terhubung dengan kontrak takaful yaitu perusahaan takaful sebagai operator dan pemegang polis takaful sebagai participant (Morrison, 2019:451). Tugas yang diberikan kepada perusahaan takaful berbeda dengan yang diberikan kepada perusahaan asuransi konvensional. Pada perusahaan takaful, dana premi yang dikumpulkan dari participant akan dikelola oleh perusahaan takaful yang berperan sebagai operator. Dana premi tersebut dalam hal ini tetap berstatus milik pemegang polis atau participant yang setelah skema takaful berakhir dana tersebut akan dikembalikan kembali kepada participant dan operator akan mendapatkan upah atas pengelolaan dana participant sebelumnya.

Takaful pada dasarnya menggunakan akad tabarru’ atau saling tolong-menolong (charitable). Oleh karena itu, sekma di dalamnya pun diharapkan sesuai dengan akad tersebut. Akan tetapi, dilihat berdasar (Morrison, 2019:450) terdapat tiga problema yang ada pada takaful dan memberikan implikasi kepada mekanisme trust takaful yaitu (1) Premium takaful yang bersifat volunter, (2) kapasitas operator dalam menginvestasikan dan mengelola dana takaful, dan (3) obligasi atau kewajiban operator untuk mengembalikan dana sisa atau residual kepada participant pada waktu jatuh tempo. Berdasar pada (Morrison, 2019:457-459) terdapat solusi untuk ketiga masalah sebelum nya yaitu english trust. Kata trust secara umum adalah suatu pengumpulan properti (dana takaful) di mana trustee menjadi pemilik nominal dari properti tersebut untuk menghasilkan manfaat bagi satu atau lebih beneficiaries (partisipan). 

 

Tujuan

Scott Morrison pada artikelnya yang berjudul Mobilizing the trust for Islamic insurance (takaful) pertama-tama memaparkan asuransi secara umum dan memaparkan mengenai takaful atau asuransi syariah sebagai pembandingnya. Morrison menyatakan bahwa perbedaan yang ada pada instrumen takaful dengan asuransi konvensional memunculkan tiga problem yang berelasi dengan trust atau pengumpulan properti dalam hal ini adalah properti milik participant takaful oleh operator takaful dengan tujuan menghasilkan manfaat bagi participant atau beneficiaries. Selanjutnya, Morrison dalam artikel memberikan solusi dari ketiga problem tersebut yaitu trust itu sendiri. Akan tetapi, walaupun artikel tersebut banyak diambil contoh dari Inggris, tujuan dituliskannya penelitian pada artikel tersebut adalah untuk internasional. Pada akhirnya, Morrison menyatakan bahwa artikel tersebut secara umum mengeksplor bagaimana english trust atau trust ini dapat menjadi solusi dari ketiga masalah yang telah dipaparkan sebelumnya di awal.

 

Metode

Artikel penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan tinjauan lebih dari 40 sumber artikel dan buku serta beberapa sumber tinjauan laman resmi institusi dan perusahaan. Artikel penelitian ini juga mengutip sumber-sumber hukum tertulis syariah ataupun konvensional.

 

Hasil Pembahasan

Mengulang sedikit mengenai perbedaan asuransi konvensional dengan takaful atau asuransi syariah. Asuransi konvensional adalah asuransi yang saat ini banyak beredar di masyarakat, mengingat masa pengembangannya yang sudah cukup lama. Asuransi konvensional dalam penerapannya berorientasi pada keuntungan atau commercial-based. Sedangkan Islam yang berdasar pada syariat menginginkan asuransi ini menjadi bersifat kooperatif dan charitable (Morrison, 2019:451). Asuransi konvensional dalam penerapannya juga ditemukan hal-hal seperti maisir (judi) dengan adanya untung di salah satu pihak dan rugi di pihak lainnya, munculnya gharar dengan adanya ketidakjelasan mengenai risiko yang diasuransikan, dan memunculkan riba’ jika dana asuransi tersebut diinvestasikan pada sektor ribawi. Asuransi Islam atau takaful berusaha untuk menghapus hal-hal tersebut dan disesuaikan dengan syariat Islam. 

Perbedaan yang paling jelas antara asuransi konvensional dengan takaful ada pada hubungan antara kedua pihak dalam transaksi asuransi. Pada asuransi konvensional, hubungan antara kedua pihak disebut dengan transfer risiko atau risk transfering dari pemegang polis asuransi kepada perusahaan asuransi. Dalam asuransi konvensional perusahaan akan dikatakan sebagai insurer dan pemegang polis sebagai pihak insured (Morrison 2019:451). Sedangkan pada takaful, hubungan antara kedua belah pihak adalah penanggungan bersama risiko atau risk sharing (Morrison, 2019:453). Di mana, pihak yang terlibat tidak jauh berbeda dari asuransi konvensional yaitu pihak perusahaan sebagai operator dan pihak pemegang polis sebagai participant (Morrison, 2019:451) akan tetapi kedua pihak pada skema takaful memiliki peran yang berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi konvensional dana premi yang diterima oleh insurer dari insured diakui sebagai miliknya dan pada akhir skema dana tersebut akan hangus bagi pihak insured jika tidak terjadi risiko yang dikontrak. Sedangkan pada takaful, dana takaful yang diterima operator dari pihak participant akan tetap menjadi milik participant dan tugas operator hanya mengelola dana tersebut. Dana takaful tersebut juga dipisahkan akun penyimpanannya dari pendapatan perusahaan dan akan dikembalikan kepada participant secara pro rata di akhir skema.

Kontras dari yang sebelumnya, di balik proses takaful yang terbilang baik, terdapat tiga problem yang muncul dalam skema operasi takaful. Problem tersebut yaitu (1) kontribusi participant kepada operator atau penciptaan dana takaful, (2) pada saat pengelolaan dana oleh operator, dan (3) dalam obligasi atau kewajiban operator dalam membayar atau mengembalikan dana yang tersisa kepada participant di akhir skema atau periode (Morrison, 2019:454).

  1. The first problem, takaful memiliki kontribusi yang berdasar dan bersifat charitable atau tabarru’ yang jika diterjemahkan memiliki arti donasi yang bersifat volunter atau tolong menolong (Morrison, 2019:454). Dalam donasi, dana yang telah diberikan oleh donor kepada donee tidak dapat dikembalikan karena bersifat irrevocable (Morrison, 2019:454). Dalam hal ini operator adalah donee yang menerima dana dari donor, yang mana donee atau operator di sini tidak memiliki kewajiban lebih lanjut kepada donor (Morrison, 2019:454). Karena, jika dana kontribusi takaful bersifat dapat dibatalkan atau revocable dan operator dibebankan dengan suatu kewajiban legal yang baru, maka sifat takaful menjadi tidak tabarru’ dan tidak sesuai dengan syariat Islam (Morrison, 2019:454). Akan tetapi, terdapat masalah kembali hasil dari tabarru’ sebelumnya, di mana ketika konsep tabarru’ yang sebelumnya digunakan, maka ketika terdapat risiko-risiko yang terjadi menimpa participant, operator tidak memiliki kewajiban yang legal untuk memberikan kompensasi kepada mereka dan dengan kekuatan hukum, operator dapat tetap memegang dana kontribusi participant yang pada akhirnya menjadikan guna atau fungsi dari skema takaful tercegah (Morrison, 2019:454). Penggunaan hukum kontrak Islam dapat menjadikan kompensasi risiko participant dapat dilakukan oleh operator yaitu melalui perjanjian akan kompensasi tersebut, akan tetapi dengan adanya hal tersebut (kontrak atau pertimbangan akan kompensasi) menjadikan takaful kembali tidak konsisten terhadap tabarru’ (Morrison, 2019:454-455).
  2. The second problem, masalah yang kedua berkaitan dengan float atau pada saat pengelolaan dana yang berdasar dan berasal dari kontrak legal Islam yaitu mudharabah atau partnership dan wakalah atau agency (Morrison, 2019:455). Pada kontrak mudharabah, participant takaful dapat menjadi rabb al-mal (penyedia dana) terhadap operator yang memiliki fokus bisnis tertentu secara aktif dan atau operator menjadi rabb al-mal dengan menginvestasikan dana yang diperoleh dari participant kepada suatu bisnis (Morrison, 2019:455) yang halal dan sehat. Pada kontrak wakalah atau agency, operator akan menjadi wakil dalam mengelola dana participant takaful (Morrison, 2019:455). Akan tetapi, berhubungan dengan kedua akad atau kontrak sebelumnya, keduanya merupakan kontrak yang bersifat komersial dan tidak sesuai dengan akad sebelumnya yaitu tabarru’ atau charitable (Morrison, 2019:455). Selanjutnya, masalah seperti investasi yang gagal atau tidak sesuai dengan harapan sebelumnya akan menelan dana (adanya kerugian), yang pada saat yang sama operator tidak memiliki obligasi atau kewajiban untuk melakukan kompensasi kerugian kepada participant takaful melainkan memiliki tugas untuk melakukan pembagian kerugian atau risk sharing dengan tujuan untuk menghindari adanya tambahan atau riba (Morrison, 2019:456). Masalah seperti kurangnya perhatian dan kompetennya operator dalam mengelola dana, memungkinkan untuk terjadinya peristiwa yang sama, di mana participant akan melakukan perbaikan sendiri atas kerugian yang terjadi jika tabarru’ dijadikan sebagai pertimbangan kontraknya (Morrison, 2019:456).
  3. The third problem, masalah yang ketiga berkaitan dengan tidak adanya instruksi atau gagasan obligasi yang jelas pada expiry payment yang dilakukan operator (Morrison, 2019:456). Pada akad tabarru’ yang merupakan landasan dari takaful, menyatakan bahwa operator tidak memiliki obligasi atau kewajiban legal untuk membayar kompensasi baik selama skema takaful berjalan ataupun saat skema telah berakhir pada tempo expiry (Morrison, 2019:456). Jika dikatakan bahwa expiry payment dilakukan mengikuti dua kontrak dalam Islam yaitu mudharabah dan wakalah maka dapat dibenarkan, akan tetapi hal ini akan membawa kita kembali kepada masalah sebelumnya yaitu kedua kontrak tersebut bukan dan tidak sesuai dengan landasan awal takaful yaitu tabarru’ (Morrison, 2019:457).

Masalah yang ditekankan di atas pada dasarnya adalah masalah yang berkaitan dengan ketiadaan akan obligasi atau komitmen legal operator terhadap apa yang seharusnya dilakukan pada skema takaful yang ada pada saat ini, yang pada akhirnya tampak tidak sesuai dengan landasan atau akad utama takaful yaitu tabarru’. Akan tetapi, sebenarnya terdapat solusi yang mampu sekaligus mengatasi problem yang sebelumnya dibahas yaitu dengan english trust (Morrison, 2019:47). English trust  merupakan suatu aktivitas yang muncul ketika seseorang yang disebut dengan trustee secara nama atau nominal memiliki satu atau beberapa properti. Akan tetapi trustee dalam hal ini tidak dapat mengambil manfaat dari properti yang dimilikinya secara nama. Melainkan trustee memiliki properti tersebut untuk manfaatnya diberikan kepada orang lain, kelas orang tertentu, atau suatu objek yang dinamakan dengan beneficiary layaknya sesuatu yang bersifat charitable dengan manfaatnya yang disalurkan untuk publik. Dalam hal ini trustee adalah fiduciary yaitu seseorang yang memiliki tugas atau kewajiban untuk mengelola suatu properti untuk menghasilkan manfaat bagi orang lain. 

Sehingga, pada model yang disarankan dan bersifat proposal, participants dapat melakukan pembayaran sebagai premi takaful secara periodik selama masa hidup asuransi atau secara langsung pada tahap awal (Morrison, 2019:457). Sehingga, dana yang dibayarkan participant bersifat tidak dapat ditarik kembali atau irrevocable dan cara tersebut sesuai dengan akad utama takaful yaitu tabarru’ (Morrison, 2019:457). Dari sudut pandang hukum Inggris atau English law, tabarru’ sejalan dengan aktivitas yang ada pada english trust yang disinggung sebelumnya (Morrison, 2019:458). Selanjutnya, seperti yang telah dilakukan pada praktek takaful di mana operator akan memisahkan dana tabarru’ yang telah terkumpul dari participants dari properti dan dana lainnya yang merupakan dana atau properti di luar dana tabarru’ (Morrison, 2019:458). Dalam english trust, operator yang juga merupakan trustee, memiliki fiduciary power yang menjadikan operator memiliki komitmen yang dibebankan kepadanya untuk melakukan kompensasi kepada participants selaku beneficiaries, melakukan investasi sesuai dengan syariat, dan dana residu pada periode expiry akan dikembalikan kepada participants selaku beneficiaries (Morrison, 2019:458). Dana tersebut merupakan fixed trust yang sifatnya dibagikan secara pro rata oleh operator selaku trustee (Morrison, 2019:458). Apabila, suatu saat operator tidak mampu melakukan kompensasi dan pengembalian dana expiry, atau dalam hal ini disebut dengan insolveny, maka dana akan dibantu dengan adanya pinjaman atau loan dari kreditur (Morrison, 2019:459). Walaupun pinjaman atau loan bukan termasuk charitable trust dalam english law, akan tetapi karena adanya fiduciary power maka tindakan tersebut tetap sejalan dengan tabarru’ atau charitable intent (Morrison, 2019:459).

 

Kesimpulan & Saran

Asuransi merupakan sektor yang dapat dikatakan cukup penting dan sudah cukup lama berada di tengah-tengah masyarakat dunia. Sektor ini dioperasikan oleh perusahaan asuransi itu sendiri dengan menawarkan beberapa jenis kebijakan asuransi (insurance policy), kepada pemegang polis asuransi guna mendapatkan jaminan perlindungan dari peristiwa atau hal buruk (adverse event) yang setelah dianalisis dapat dikategorikan sebagai risiko yang dapat diasuransikan (insurable risk). Terdapat beberapa pihak yang dilibatkan dalam proses asuransi, secara umum yaitu perusahaan asuransi (insurer) dan pemegang polis asuransi (insured).

Di tengah-tengah banyaknya praktek asuransi konvensional saat ini, maka muncullah asuransi syariah atau takaful. Takaful memiliki konsep risk sharing atau menanggung risiko secara bersama di antara pemegang polis takaful. Pada takaful, pihak yang terlibat di dalam transaksinya tidak jauh berbeda dengan asuransi umum, di mana terdapat dua pihak yang terhubung dengan kontrak takaful yaitu perusahaan takaful sebagai operator dan pemegang polis takaful sebagai participant (Morrison, 2019:451). Pada perusahaan takaful, dana premi yang dikumpulkan dari participant akan dikelola oleh perusahaan takaful yang berperan sebagai operator. Dana premi tersebut dalam hal ini tetap berstatus milik pemegang polis atau participant yang setelah skema takaful berakhir dana tersebut akan dikembalikan kembali kepada participant dan operator akan mendapatkan upah atas pengelolaan dana participant sebelumnya.

Berbeda dari yang sebelumnya, di balik proses takaful yang terbilang baik, terdapat tiga problem yang muncul dalam skema operasi takaful. Problem tersebut yaitu (1) kontribusi participant kepada operator atau penciptaan dana takaful, (2) pada saat pengelolaan dana oleh operator, dan (3) dalam obligasi atau kewajiban operator dalam membayar atau mengembalikan dana yang tersisa kepada participant di akhir skema atau periode (Morrison, 2019:454). Untuk ketiga masalah tersebut solusinya adalah english trust. Solusi tersebut dipilih karena pada dasarnya operator takaful mendapati beberapa bagian dalam skema takaful yang tidak memiliki kepastian legal bagi mereka para operator untuk melakukan hal sebagaimana yang seharusnya dilakukan pada skema takaful. Sehingga English trust dalam hal ini digunakan untuk memobilisasi kegiatan takaful dari tahap awal hingga expiry (trust) agar tidak keluar dan tetap sejalan dengan landasan utama takaful yaitu tabarru’.