Ditulis oleh: Azizah Putri Mardhiyah (IEI ‘24) dan Amirul Fauzan Adzima (BI ‘24)
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS. Al-Mulk: 15)
Bekerja merupakan aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia yang berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar, seperti tempat tinggal yang layak, makanan yang sehat, dan pakaian yang baik. Selain itu, bekerja juga menjadi wadah aktualisasi diri, di mana seseorang dapat mengekspresikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Menurut Robbins dan Coulter (2010), kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan seseorang untuk mampu menjadi apa yang diinginkan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dalam konteks ini, bekerja menjadi sarana bagi individu untuk mengejar kebahagiaan, kesuksesan pribadi, dan penemuan identitas diri.
Hak seseorang untuk bekerja telah dijamin oleh konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan dan memiliki kehidupan yang layak. Dengan demikian, negara memiliki kewajiban untuk mengupayakan terciptanya lapangan pekerjaan yang cukup dan menyediakan perlindungan bagi pekerja agar hak-hak dasarnya terpenuhi. Dalam perspektif Islam, bekerja dengan sungguh-sungguh merupakan suatu aktivitas manusia yang begitu dihargai, bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup, tetapi juga merupakan bentuk manifestasi keimanan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Daud makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 1966).
Berangkat dari pemahaman bahwa bekerja adalah hak, kewajiban, sekaligus sarana aktualisasi diri yang dijamin oleh negara dan agama, pertanyaan penting yang muncul adalah: bagaimana Indonesia dapat memastikan seluruh penduduk usia produktif mampu bekerja secara optimal? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika Indonesia berada di tengah momentum bonus demografi yang pada akhirnya harus mempertimbangkan apakah momentum ini akan menjadi sebuah peluang besar yang dapat menjadi batu loncatan menuju kemajuan bangsa atau justru menjadi tantangan besar apabila tidak dikelola dengan baik?
Bonus Demografi atau Beban Demografi?
Diagram 1. Struktur Umur Penduduk Indonesia Tahun 2025
Sumber: Badan Pusat Statistik
Saat ini, Indonesia sedang berada di tahap awal era bonus demografi, yaitu periode ketika penduduk usia produktif mendominasi jumlah populasi. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2020–2050 Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2025 ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 284,44 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduk usia produktif (15–64 tahun) tercatat sebanyak 196,13 juta jiwa, atau sekitar 68,95% dari total populasi. Di sisi lain, jumlah penduduk usia tidak produktif mencapai 88,31 juta jiwa (31,05%) yang terdiri dari usia belum produktif (0–14 tahun) sebesar 66,72 juta jiwa (23,46%) dan penduduk usia lanjut atau tidak lagi produktif (65 tahun ke atas) sebesar 21,58 juta jiwa (7,59%). Rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia berkisar di angka 45,02. Artinya setiap satu penduduk usia produktif menanggung 45 penduduk usia tidak produktif.
Bonus demografi merupakan anugerah bagi suatu negara terutama negara berkembang yang sedang berupaya menuju negara maju melalui akselerasi pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan hal ini, Bloom dan Finlay (2009) menyatakan bahwa peningkatan proporsi usia produktif menjadi salah satu faktor kunci di balik pertumbuhan ekonomi yang pesat negara-negara Asia Timur, seperti Korea Selatan dan Cina. Mereka menegaskan bahwa keajaiban ekonomi di Asia Timur tidak dapat dijelaskan sepenuhnya tanpa mempertimbangkan peran besar perubahan demografis yang membuka peluang pertumbuhan produktivitas dan pendapatan nasional. Dalam kurun waktu sembilan tahun (1987-1996), Korea Selatan mampu memanfaatkan bonus demografinya dengan baik dan berhasil meningkatkan pendapatan perkapitanya hingga 3,8 kali lipat, dari US $3.554 menjadi US $13.320. Serupa dengan Korea Selatan, Cina yang mengalami bonus demografi sejak 1997 dengan pendapatan perkapita sebesar US $782, pada 2021 telah mencapai US $12.618 atau sekitar 16 kali lipat berkat reformasi ekonomi dan industrialisasi yang masif.
Pada 2011, saat memasuki bonus demografi, pendapatan per kapita Indonesia tercatat sebesar US $2.990; sepuluh tahun kemudian mencapai US $4.180, naik 1,4 kali lipat dan mendorong Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah atas, meski masih di ujung bawah. Penting bagi Indonesia untuk belajar dari negara-negara yang telah berhasil memanfaatkan bonus demografi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Cina. Mengingat bonus demografi yang dirasakan oleh Indonesia saat ini berpotensi berubah menjadi beban demografi yang justru menghambat pembangunan ekonomi apabila tidak dimanfaatkan dengan strategi yang tepat. Salah satu gejala beban demografi yang sudah terlihat belakangan ini adalah tingkat pengangguran usia produktif terutama di kalangan generasi Z yang tergolong cukup tinggi.
Generasi Z: Harapan Ekonomi di Bayang Ironi
Tabel 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2021-2024
Sumber: Badan Pusat Statistik
Generasi Z yang mendominasi usia produktif justru mendominasi tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional. Berdasarkan data Sakernas tahun 2021-2024 yang dilansir oleh BPS, generasi Z dengan rentang umur 15-24 selalu memiliki persentase pengangguran terbuka tertinggi melebihi persentase rata-rata nasional. Padahal, angkatan kerja usia 15-24 tahun selalu mendominasi jumlah angkatan kerja nasional di semua rentang umur. Hal ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara potensi angkatan kerja dengan realitas di pasar tenaga kerja.
Dilansir dari Labor Market Brief LPEM FEB UI 2024, berdasarkan data dari Sakernas tahun 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka di kalangan Gen Z tercatat sebesar 9,37%. Artinya, dari seluruh Gen Z yang telah masuk dalam kategori angkatan kerja, sekitar 4,84 juta orang sedang tidak memiliki pekerjaan meskipun aktif mencari kerja. Jika dibandingkan dengan angka TPT nasional yang berada pada kisaran 5-7%, nilai ini tergolong cukup tinggi. Hampir 1 dari setiap 10 individu Gen Z di pasar tenaga kerja sedang menghadapi pengangguran. Selain itu, data menunjukan bahwa terdapat 3.04% dari Gen Z yang masuk dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Meskipun angka ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan total populasi Gen Z, jumlah ini menjadi perhatian karena kelompok ini cenderung menghadapi risiko keterpinggiran dari pasar tenaga kerja.
Sebagian besar Gen Z yang menganggur adalah lulusan SMA, dengan proporsi mencapai 36,17% dan diikuti oleh lulusan SMK sebesar 29,60%. Pendidikan menengah diharapkan dapat mempersiapkan individu untuk memasuki dunia kerja, tetapi kenyataannya banyak lulusan yang kurang siap karena skill yang dimiliki tidak sejalan dengan kebutuhan pasar. Tak hanya itu, 11,64% pengangguran Gen Z merupakan lulusan perguruan tinggi. Pada tahun 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang dan meningkat hingga hampir dua kali lipat hingga berjumlah 842.378 orang di 2024. Walau memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lulusan ini sering kali menghadapi persaingan ketat di pasar tenaga kerja, ekspektasi gaji yang tinggi, serta kurangnya keterampilan yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan laporan World Economic Forum dan berbagai publikasi yang menyoroti adanya kesenjangan antara pendidikan tinggi dan tuntutan pasar kerja, terutama dalam keterampilan yang berhubungan dengan teknologi dan soft skills. Banyak lulusan yang memiliki ijazah, namun tidak dibekali dengan kompetensi praktis atau pengalaman kerja yang memadai. Di sisi lain, akses terhadap pendidikan dan pelatihan berkualitas juga belum merata, terutama di wilayah non-perkotaan.
Tingginya pengangguran di kalangan terdidik dapat mencerminkan adanya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri. Kondisi tersebut lebih dikenal sebagai mismatch antara keterampilan yang dimiliki lulusan dengan kualifikasi yang dicari oleh pemberi kerja. Sebagai contoh, pendidikan SMK, yang seharusnya menjadi solusi penyedia tenaga kerja siap pakai, justru menghasilkan banyak lulusan dengan kompetensi usang karena kurikulum yang tidak diperbarui.
Lowongan Kerja Sempit, Pencari Kerja Baru Terhimpit
Gambar 1. Pertumbuhan Lapangan Kerja di Indonesia 10 Tahun Terakhir
Sumber: Bloomberg Technoz 2025
Kesulitan yang dihadapi oleh generasi muda, terutama Generasi Z dalam mendapatkan pekerjaan semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Di tengah bonus demografi yang menjanjikan potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi, realitas di lapangan justru menunjukan penyempitan drastis dalam jumlah lapangan kerja formal yang seharusnya menjadi tumpuan utama dalam penyerapan tenaga kerja muda. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa penciptaan lapangan kerja di sektor formal mengalami penurunan yang tajam. Pada periode 2009-2014, tercatat sebanyak 15,6 juta pekerjaan formal berhasil diciptakan. Namun, pada periode 2019-2024, angka ini merosot drastis menjadi hanya sekitar 2.01 juta pekerjaan formal. Fenomena ini menunjukan bahwa terjadi penurunan hampir 87%.
Kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk transformasi digital, otomatisasi dan investasi padat modal yang lebih besar dari padat karya, dan perubahan model bisnis global. Dengan demikian, ketika Generasi Z mulai memasuki pasar tenaga kerja, mereka akan menghadapi persaingan yang jauh lebih ketat dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yaitu Generasi Y atau milenial (1981–1996). Gen Z tidak hanya harus bersaing secara kuantitas, mereka juga harus bersaing menghadapi standar kompetensi yang semakin tinggi di tengah jumlah lowongan kerja formal yang terus menyusut.
Ironisnya, semua ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang relatif positif. Ekonomi Indonesia triwulan I-2025 terhadap triwulan I-2024 mengalami pertumbuhan sebesar 4,87% (y-on-y). Namun, pertumbuhan tersebut tidak diiringi oleh peningkatan signifikan dalam penyerapan tenaga kerja. Fenomena ini disebut sebagai “jobless growth”, yaitu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi tidak menciptakan banyak pekerjaan baru. Artinya, pertumbuhan ekonomi belum bersifat inklusif terhadap tenaga kerja.
Sektor-sektor yang sebelumnya menyerap tenaga kerja seperti pertanian, perdagangan, dan industri manufaktur, kini justru mengalami penurunan proporsi pekerja. Misalnya sektor pertanian terus mengalami penurunan kontribusi terhadap total lapangan kerja nasional karena pergeseran tenaga kerja ke sektor lain yang lebih menjanjikan. Beberapa faktor yang mendorong pergeseran tenaga kerja dari pertanian adalah pendapatan yang tidak menentu di sektor pertanian dan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang. Hal ini diperkuat dengan perkataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang mengungkapkan bahwa lahan pertanian di Indonesia berkurang 50-70 ribu hektar setiap tahunnya. Sementara itu, sektor perdagangan dan manufaktur mengalami tekanan akibat digitalisasi dan globalisasi pasar. Kondisi ini mempertegas bahwa meskipun Indonesia secara makro mengalami kemajuan ekonomi, peluang kerja tidak bertambah secara proporsional dan pemerataan manfaatnya belum dirasakan oleh angkatan kerja muda. Pekerjaan yang tercipta lebih banyak di sektor informal yang tidak stabil dan tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai.
Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga
Di tengah maraknya fenomena pengangguran di kalangan tenaga kerja usia muda, beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan lain yang cukup serius, yakni maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada periode awal tahun 2025, sudah dapat terlihat bahwa kasus PHK mengalami lonjakan yang sangat signifikan.
Gambar 2. Jumlah Kasus PHK pada 2 Bulan Pertama Tahun 2023-2025
Sumber: databoks Katadata
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), selama Januari-Februari 2025 ada sekitar 18,6 ribu karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Jumlah tersebut lebih banyak sekitar 2 kali lipat dibanding korban PHK periode Januari-Februari 2024, bahkan naik hampir 5 kali lipat dibanding Januari-Februari 2023 seperti yang terlihat pada Gambar 2. Tujuh faktor utama terjadinya PHK meliputi penutupan perusahaan, relokasi, perselisihan hubungan industrial, tindakan balasan mogok kerja, efisiensi, transformasi perusahaan, dan pailit. Mayoritas pekerja terdampak PHK berasal dari Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau. Sektor industri pengolahan, perdagangan, dan jasa menyumbang mayoritas korban PHK. Subsektor manufaktur seperti tekstil dan kayu berpotensi melakukan PHK, sementara makanan, minuman, dan farmasi diprediksi akan tumbuh.
Salah satu kasus PHK massal pada tahun lalu yang sempat mencuat ke publik adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang dikenal sebagai PT Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang mempekerjakan ribuan karyawan. Sejak tahun 2021, PT Sritex mulai menghadapi permasalahan finansial. PT Sritex gagal melunasi utang sindikasi sebesar US$350 juta, yang menyebabkan suspensi saham Sritex di Bursa Efek Indonesia. PHK terbanyak terjadi pada tanggal 26 Februari 2025 yang mencapai 9.604 orang. Sebelumnya sudah terjadi PHK kepada 340 pekerja pada Agustus 2024 lalu diikuti dengan PHK kepada 1.081 pekerja pada Januari 2025, sehingga total pekerja yang terkena PHK adalah sebanyak 11.025 orang. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada karyawan yang kehilangan sumber penghasilan, melainkan juga menimbulkan efek domino terhadap daya beli masyarakat, tingkat pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi.
Kemudian apa hubungan antara fenomena PHK dengan sulitnya generasi muda atau pencari kerja baru mendapatkan pekerjaan? Di saat ketimpangan antara jumlah penciptaan lapangan kerja dan permintaan pasar tenaga kerja belum teratasi, gelombang PHK yang kian melonjak justru menambah beban pasar tenaga kerja. Ribuan pekerja yang terkena PHK kembali masuk ke pasar tenaga kerja, meningkatkan jumlah pencari kerja secara drastis. Alhasil, para pencari kerja baru, terutama lulusan baru yang belum memiliki pengalaman, harus menghadapi persaingan ketat dengan eks pencari kerja yang lebih siap secara keterampilan dan pengalaman.
Fenomena tersebut sejalan dengan kerangka analitis dari Diamond Mortensen Pissarides Model (DMP Model), sebuah model yang menjelaskan dinamika pasar tenaga kerja melalui proses pencarian dan pencocokan antara pencari kerja dan penyedia lowongan pekerjaan. Model tersebut menunjukan bahwa pengangguran tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lowongan pekerjaan, tetapi juga oleh inefisiensi dalam pencocokan antara tenaga kerja dengan kebutuhan perusahaan. Ketika terjadi PHK massal, struktur pencocokan menjadi semakin tidak efisien karena jumlah pencari kerja (baik eks pekerja maupun pencari kerja baru) meningkat tajam, sementara kapasitas penciptaan lapangan pekerjaan tetap stagnan, bahkan menurun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PHK bukan hanya menambah jumlah pengangguran, tetapi juga memperparah mismatch di pasar tenaga kerja dan memperpanjang proses pencocokan antara pekerja dan pekerjaan.
Digitalisasi & Automasi, Peluang atau Ancaman?
Di era modern, perkembangan teknologi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terbendung. Para inovator di berbagai perusahaan dan negara berlomba-lomba untuk bisa mengembangkan teknologi paling mutakhir. Teknologi memudahkan kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya kegiatan ekonomi. Di dalam perekonomian, teknologi merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki dampak signifikan dalam meningkatkan produktivitas. Namun, di balik berbagai kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, kemajuan teknologi juga membawa konsekuensi yang tidak dapat diabaikan, yaitu potensi hilangnya pekerjaan, khususnya di sektor-sektor yang mulai tergantikan oleh automasi dan kecerdasan buatan.
Gambar 3. Tingkat Eksposur dan Komplementaritas AI terhadap Pekerjaan di Seluruh Dunia
Sumber: International Monetary Fund
Berdasarkan riset dari IMF (International Monetary Fund) dan ILO (International Labour Organization), integrasi AI (artificial intelligence) dengan berbagai pekerjaan (baik low complementary maupun high complementary) terjadi pada sekitar 60% pekerjaan di negara maju, sekitar 40% pekerjaan di negara berkembang, dan lebih dari 20% di negara berpendapatan rendah. Tak hanya itu, baik di negara maju, berkembang, maupun di negara berpendapatan rendah, terlihat bahwa pengaruh AI terhadap dunia kerja memiliki hubungan low complementary yang lebih dominan dibandingkan high complementary. Dengan kata lain, AI memiliki potensi yang lebih besar untuk menggantikan pekerjaan manusia dibandingkan membantu pekerjaan tersebut.
Gambar 4. Pergeseran Batas Pekerjaan oleh Manusia dan Mesin Tahun 2025-2030
Sumber: Future of Jobs Report 2025
Selain itu, data dari Future of Jobs Report 2025 juga menunjukkan bagaimana hubungan manusia dan teknologi dalam melakukan berbagai pekerjaan. Saat ini, sekitar 47% tugas dilakukan sepenuhnya oleh manusia, 30% oleh gabungan manusia & mesin, dan 22% sepenuhnya oleh teknologi. Namun, proporsi ini diperkirakan berubah menjadi masing-masing sekitar sepertiga (33 % manusia, 33 % gabungan, 34 % teknologi) pada 2030. Prediksi tren pergeseran adopsi teknologi dalam kurun lima tahun tersebut menunjukkan bahwa porsi pekerjaan yang murni dapat diselesaikan oleh manusia akan turun, sementara porsi pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh teknologi dan yang membutuhkan kolaborasi manusia dengan teknologi meningkat secara merata. Pergeseran tren ini menuntut manusia untuk bisa lebih adaptif terhadap disrupsi teknologi di dunia kerja.
Menurunnya jumlah pekerjaan bukan satu-satunya konsekuensi dari perkembangan teknologi ini. Menurut Future of Jobs Report 2025, perluasan akses digital diperkirakan menciptakan 19 juta pekerjaan sekaligus menggantikan 9 juta lainnya. Tren kecerdasan buatan dan pemrosesan informasi akan menggusur 9 juta pekerjaan tapi juga menambah 11 juta pekerjaan. Sementara itu, robotika dan sistem otonom diperkirakan menjadi faktor utama penurunan, dengan defisit bersih 5 juta pekerjaan. Perkembangan tren teknologi ini juga mendominasi daftar 10 pekerjaan yang akan mengalami pertumbuhan dan penurunan terbesar dalam 5-10 tahun ke depan di seluruh dunia.
Gambar 5. Strategi Utama Perusahaan dalam Menghadapi Perkembangan AI
Sumber: Work Trend Index Annual Report 2025
Sementara itu, dalam menyikapi perkembangan AI dan digitalisasi, perusahaan-perusahan di seluruh dunia mengambil strategi yang beragam terkait pengelolaan tenaga kerja mereka. Berdasarkan Work Trend Index Annual Report 2025, 47% perusahaan memilih untuk memprioritaskan keterampilan AI dari karyawan yang ada, 45% perusahaan mempertahankan jumlah karyawan yang ada dan mulai menggunakan AI sebagai tenaga kerja digital yang membantu meningkatkan efisiensi, serta 44% perusahaan fokus menjaga semangat dan moral karyawan, agar mereka tidak merasa terancam oleh kehadiran AI. Di sisi lain, 33% perusahaan mempertimbangkan penggunaan AI untuk mengurangi jumlah karyawan dan 28% yang lain memutuskan untuk tidak merubah strategi pengelolaan tenaga kerja.
Fenomena yang tengah dihadapi oleh para tenaga kerja saat ini bukan pertama kali terjadi di dalam sejarah umat manusia. Sebagai contoh, revolusi industri di Inggris saat mesin uap pertama kali ditemukan menyebabkan hilangnya berbagai pekerjaan seperti pemintal/penenun tradisional, pandai besi, pembuat tong, pengemudi kereta kuda, serta petani dan munculnya berbagai pekerjaan baru seperti operator pabrik, pekerja tambang besi dan batubara, insinyur serta pekerja kereta api, dan teknisi mesin uap. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan digitalisasi dan automasi memiliki potensi ganda untuk mengurangi sekaligus menambah jumlah pekerjaan yang tersedia untuk masyarakat.
Gig Economy Jadi Pelarian?
Dalam situasi seperti ini, gig economy justru berkembang pesat, menawarkan peluang baru bagi tenaga kerja yang sulit mendapatkan pekerjaan terutama di sektor formal atau kehilangan pekerjaan akibat PHK. Gig economy merujuk pada sistem kerja berbasis proyek jangka pendek yang bersifat fleksibel dan tidak terikat dengan satu perusahaan. Pertumbuhan sektor ini didorong oleh percepatan perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan platform digital. Aplikasi dan platform seperti Gojek, Grab, Tokopedia, dan Freelancer memungkinkan individu untuk bekerja secara fleksibel tanpa terikat sistem kerja konvensional. Laporan Google-Temasek memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai 124 miliar USD pada tahun 2025, dengan kontribusi terbesar berasal dari e-commerce dan gig economy. Hal tersebut menunjukkan bahwa gig economy memiliki andil yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian suatu negara bahkan saat terjadi krisis ketenagakerjaan.
Dengan lebih dari 58% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal, banyak tenaga kerja yang beralih ke gig economy untuk mencari nafkah. Sebagai contoh, jumlah mitra pengemudi dan kurir online di Indonesia telah melampaui 2 juta orang, mencerminkan pesatnya ekspansi sektor ini sebagai salah satu solusi sementara terhadap meningkatnya pengangguran. Dengan menjadi bagian dari gig economy, para pencari kerja muda yang sulit mendapatkan pekerjaan bisa memiliki alternatif solusi untuk mendapatkan penghasilan demi menopang daya beli mereka.
Solusi dari Perspektif Islami
Indonesia memang tengah memasuki era bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Namun, peluang ini dapat berubah menjadi beban jika tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Fenomena pengangguran di kalangan anak muda semakin diperparah oleh PHK massal, keterbatasan kesempatan kerja formal, dan ketidaksesuaian antara keterampilan (skill mismatch) yang dimiliki lulusan dengan kebutuhan industri.
Untuk mengatasi permasalahan terkait skill mismatch, reformasi kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasional perlu dilaksanakan agar selaras dengan kebutuhan dunia kerja modern, terutama keterampilan teknologi digital seperti AI, big data, dan keamanan siber. Pelatihan berbasis kebutuhan industri harus menjadi bagian dari kebijakan lifelong learning yang berkelanjutan dan dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan tinggi.
Permasalahan sedikitnya lapangan kerja dapat dijawab melalui pendekatan berbasis ekonomi Islam dengan mendorong sektor UMKM dan kewirausahaan sosial. Skema pembiayaan berbasis syariah seperti qardhul hasan yang diberikan murni atas dasar tolong-menolong (tanpa fee) sehingga cocok bagi pelaku usaha pemula yang membutuhkan akses permodalan tanpa beban finansial tambahan. Selain pembiayaan, skema kemitraan syariah mudharabah yang berbasis pada prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) memungkinkan risiko dan keuntungan terbagi secara adil antara pemilik modal dan pengelola usaha. Upaya ini dapat membuka ruang baru bagi anak muda untuk menjadi pencipta kerja, bukan hanya pencari kerja, sehingga membantu meredam tekanan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif akibat PHK dan digitalisasi.
Adapun perkembangan teknologi harus dilihat sebagai peluang, bukan ancaman. Dengan berfokus pada peluang yang ada, para tenaga kerja bisa lebih mudah adaptif menyikapi perubahan yang ada. Transformasi digital seharusnya mendorong penciptaan lapangan kerja baru di sektor-sektor inovatif, serta membuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital. Pemerintah dan industri harus berupaya untuk mendorong program reskilling untuk mereka yang terdampak otomatisasi. Konsep hijrah bisa memegang peranan penting bagi seluruh pihak yang terlibat dalam upaya mencari solusi atas disrupsi teknologi yang tidak terbendung. Hijrah tidak hanya diartikan sebagai perpindahan fisik, tetapi juga suatu perpindahan non-fisik berupa transformasi sikap, perilaku, dan pola pikir seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fenomena gig economy muncul sebagai respons terhadap rendahnya penyerapan tenaga kerja formal. Untuk menjadikannya solusi berkelanjutan, diperlukan regulasi perlindungan pekerja informal dan penyediaan jaminan sosial yang inklusif. Ekonomi Islam mendorong adanya keadilan dan keseimbangan hubungan kerja, sehingga pekerja gig tetap memiliki akses pada hak-hak dasar seperti kesehatan dan jaminan hari tua.
Dengan pendekatan komprehensif, kolaboratif, dan berbasis nilai-nilai Islam seperti keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan, masalah pengangguran dan PHK massal bisa ditangani secara progresif. Alhasil, bonus demografi tidak menjadi katalis munculnya suatu krisis, melainkan peluang strategis menuju kemandirian ekonomi dan kemakmuran bangsa.
Kesimpulan
Bonus demografi adalah peluang besar sekaligus tantangan nyata bagi Indonesia. Dominasi penduduk usia produktif tidak akan berarti tanpa penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai dan relevan dengan tuntutan zaman. Tingginya pengangguran di kalangan Generasi Z, ancaman PHK massal, dan disrupsi digital menjadi tantangan nyata yang berpotensi menggeser bonus demografi menjadi beban demografi. Untuk menghindari risiko tersebut, diperlukan langkah kolektif dan terintegrasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, serta masyarakat. Reformasi kurikulum dan pembaruan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, dan penguatan sektor ekonomi riil berbasis nilai Islam, menjadi kunci dalam menciptakan lapangan kerja baru yang berkeadilan dan berkelanjutan. Upaya tersebut merupakan bentuk pengamalan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Dengan ikhtiar bersama dan semangat hijrah, bonus demografi dapat diwujudkan sebagai kekuatan untuk memajukan bangsa menuju Indonesia yang sejahtera.
Daftar Pustaka
2025: The Year the Frontier Firm Is Born. (2025). Microsoft.com. https://www.microsoft.com/en-us/worklab/work-trend-index/2025-the-year-the-frontier-firm-is-born
Aditiasari, D. (2015, June 25). RI Perlu Belajar dari China dan Korsel Soal Bonus Demografi. Detikfinance; detikcom. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2952133/ri-perlu-belajar-dari-china-dan-korsel-soal-bonus-demografi
Adi Ahdiat. (2025, April 8). databoks. Katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/transportasi-logistik/statistik/67f4ce2951510/kasus-phk-awal-2025-lebih-banyak-dari-awal-tahun-lalu
Anomali.id. (2024, May 20). Sobat Anomalist: Mengapa Mencari Pekerjaan Semakin Sulit? – anomali.id.Anomali.id. https://anomali.id/opini-cerita/sobat-anomalist-mengapa-mencari-pekerjaan-semakin-sulit/
Ardiyanto, H. (2023, April 6). Bekerja Sebagai Manifes Keimanan – Direktorat Sumber Daya Manusia/Sekolah Kepemimpinan. Hrd.uii.ac.id. https://hrd.uii.ac.id/bekerja-sebagai-manifes-keimanan/
Arief, A. M. (2025, May 5). Pemerintah Akui Ada Tren Peningkatan PHK pada 2025, 7 Alasan Mendominasi. Katadata.co.id. https://katadata.co.id/berita/industri/681880e7cb235/pemerintah-akui-ada-tren-peningkatan-phk-pada-2025-7-alasan-mendominasi
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2025). Ekonomi Indonesia Triwulan I-2025 Tumbuh 4,87 Persen (Y-on-Y). Ekonomi Indonesia Triwulan I-2025 Terkontraksi 0,98 Persen (Q-to-Q). Bps.go.id; Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/05/05/2431/ekonomi-indonesia-triwulan-i-2025-tumbuh-4-87-persen–y-on-y—ekonomi-indonesia-triwulan-i-2025-terkontraksi-0-98-persen–q-to-q–.html
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2023). Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Kelompok Umur – Tabel Statistik. Bps.go.id; Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE4MCMy/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-kelompok-umur.html
Bloom, D., & Finlay, J. (2008). PROGRAM ON THE GLOBAL DEMOGRAPHY OF AGING Working Paper Series Demographic Change and Economic Growth in Asia. https://content.sph.harvard.edu/wwwhsph/sites/1288/2013/10/PGDA_WP_41.pdf
Cartwright, M. (2023, February 8). The Steam Engine in the British Industrial Revolution. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/article/2166/the-steam-engine-in-the-british-industrial-revolut/
Ekonomi Kreatif dan Gig Economy: Solusi Sementara atau Permanen untuk Pengangguran? (2025).https://kbanews.com/resonansi/ekonomi-kreatif-dan-gig-economy-solusi-sementara-atau-permanen-untuk-pengangguran/
Georgieva, K. (2024, January 14). AI will transform the global economy. let’s make sure it benefits humanity. International Monetary Fund. https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2024/01/14/ai-will-transform-the-global-economy-lets-make-sure-it-benefits-humanity
Hanri, M., & Sholihah, M.E., N. K. (2024, September 30). Potret Gen Z yang Menganggur: Mengungkap Realita di Balik Angka – Labor Market Brief Edisi September 2024 – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Indonesia. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis – Universitas Indonesia. https://lpem.org/potret-gen-z-yang-menganggur-mengungkap-realita-di-balik-angka-labor-market-brief-edisi-september-2024/
HARMADI, S. H. B. (2023, June 27). Remaining Demographic Bonus Time. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/english/2023/06/26/en-sisa-waktu-bonus-demografi
Indonesia, B. P. S. (2023). Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 Hasil Sensus Penduduk 2020. https://www.bps.go.id/id/publication/2023/05/16/fad83131cd3bb9be3bb2a657/proyeksi-penduduk-indonesia-2020-2050-hasil-sensus-penduduk-2020.html
Purwanti, H. (2022, December 29). Keseimbangan Antara Hak dan Kewajiban. Www.djkn.kemenkeu.go.id. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15809/Keseimbangan-Antara-Hak-dan-Kewajiban.html
Ilyas Fadilah. (2024, October 2). 70 Ribu Ha Lahan Pertanian Hilang Setiap Tahun, Kementan Cetak Sawah Baru. Detiksumut; detikcom. https://www.detik.com/sumut/berita/d-7569307/70-ribu-ha-lahan-pertanian-hilang-setiap-tahun-kementan-cetak-sawah-baru
Luncurkan Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030, Pemerintah Siapkan 3 Fase Transformasi Digital Nasional – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (n.d.). Www.ekon.go.id. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/5533/luncurkan-buku-putih-strategi-nasional-pengembangan-ekonomi-digital-indonesia-2030-pemerintah-siapkan-3-fase-transformasi-digital-nasional
Ruisa Khoiriyah. (2024, October 9). Ada Bukti Nyata Penciptaan Lapangan Kerja di RI Makin Sempit – Sektor Riil. Bloombergtechnoz.com; Bloomberg Technoz. https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/51174/ada-bukti-nyata-penciptaan-lapangan-kerja-di-ri-makin-sempit
Sandi, F. (2025, March 11). Sritex PHK 11.025 Pekerja, Begini Kronologinya. CNBC Indonesia; cnbcindonesia.com. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250311145331-4-617624/sritex-phk-11025-pekerja-begini-kronologinya
The Future of Jobs Report 2025. (2025, January 7). World Economic Forum. https://www.weforum.org/publications/the-future-of-jobs-report-2025/
Wina Lidya Sukma. (2025, May 8). PHK dan Penurunan Pengangguran: Kontradiksi Data Tenaga Kerja. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/phk-dan-penurunan-pengangguran-kontradiksi-data-tenaga-kerja
WISANGGENI, S. P., REJEKI, S., WIDYASTUTI, R. S., & KRISNA, A. (2024, May 19). Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/investigasi/2024/05/13/generasi-z-lebih-susah-cari-kerja-1
Zaid, M. (2025, April 30). Mengapa Bonus Demografi Tidak Terjadi Tahun 2030-2045? Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/mengapa-bonus-demografi-tidak-terjadi-tahun-2030-2045