Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Positivisme Mazhab Mainstream: Menilik Urgensi Kebutuhan Ekonom Rabbani

Positivisme Mazhab Mainstream: Menilik Urgensi Kebutuhan Ekonom Rabbani

  • I-Book

Oleh: Adibah Seila Nafaza (EIEI 22) dan Rahmat Tri Swasono (EIEI 21)

 

Pendahuluan

Dewasa ini, pesatnya perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam memberikan arti bahwa Islam sejatinya mampu menjawab tantangan globalisasi dan modernisasi Di lain sisi, perkembangan tersebut menjadikan institusi keuangan islam menjadi benchmark sejauh mana doktrin dan nilai – nilai islam dapat diwujudkan dalam kehidupan berekonomi. Sayangnya, kesesuaian dengan syariat islam dalam produk – produk serta kontrak yang dipraktikkan masih menjadi perdebatan hangat di kalangan para ekonom muslim di dunia. 

Tidak hanya berdebat mengenai apakah perbankan syariah “benar-benar syariah”, upaya penemuan “kerangka baru” sistem ekonomi Islam telah berlangsung selama beberapa dasawarsa terakhir. Inti dari perdebatan ini sejatinya adalah tentang metode yang digunakan untuk membangun ekonomi Islam, baik dengan mengadopsi praktik, sistem, dan nilai-nilai ekonomi konvensional yang tentunya relevan terhadap syariah, atau melalui metodologi ushul fiqh yang merupakan metode murni yang dibangun oleh para ilmuan-ilmuan Islam seperti Imam al-Ghazali, Imam as-Syafi’i, Imam as-Syatibi, dan Izzudin ibn salam. Pendekatan yang digunakan dalam islamisasi ekonomi dapat berdampak signifikan terhadap aplikasi ekonomi Islam di kehidupan berekonomi. Hal ini menyebabkan tuntutan dari aspek moral dan etika (akhlaq) maupun bisnis menjadi tantangan sendiri bagi perkembangan ekonomi Islam selanjutnya.

Beragam pendekatan muncul dalam sejarah pemikiran ekonomi islam sehingga kemudian dikelompokkan sebagai aliran pemikiran, atau yang juga biasa disebut sebagai mazhab. Terdapat 3 mazhab yang dikenal dalam pemikiran ekonomi Islam, yaitu Iqtishaduna, mainstream, dan alternatif kritis. Pada Ibook sebelumnya, kita telah tuntas membahas mazhab yang pertama yaitu Iqtishaduna, sehingga saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membahas mazhab yang kedua, yaitu mazhab mainstream.

 

Let’s Take a Deep Dive into Mazhab Mainstream

Mazhab mainstream merupakan salah satu dari mazhab besar dalam ekonomi islam yang memiliki perbedaan  pendapat dengan rancang bangun pendapat mazhab Iqtishaduna. Mazhab mainstream menunjukan keberpihakannya pada gagasan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas sementara keinginan manusia tidak terbatas (Adiwarman Karim, 2007). Sebagai gambaran logis, memang benar bahwasanya total permintaan dan penawaran beras di dunia berada pada titik ekuilibrium. Kelangkaan pada sumber daya, dalam hal ini beras timbul ketika kita mulai membicarakan limitasi tempat dan waktu. Contoh konkret yang dapat ditemui adalah suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan suplai beras di Thailand. 

Islam mengenal dua jenis landasan berpikir dalam memperoleh hukum syara’, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Jika dalil naqli bersumber dari Al-Qur’an dan hadits di mana kebenarannya bersifat mutlak dan hakiki, dalil aqli bersumber dari pertimbangan akal pikiran yang objektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi, atau kebencian dari emosi. Untuk menguatkan argumentasi bahwa sumber daya di muka bumi terbatas, mazhab mainstream menggunakan Q.S Al-Baqarah ayat 155 sebagai dalil naqli.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Selanjutnya, Q.S At-Takatsur, utamanya pada ayat pertama hingga ketiga digunakan untuk menegaskan keberpihakannya bahwa keinginan manusia tidak memiliki batas.

أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُر(١)حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ(٢) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ(٣) 

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”

Selain dari Al-Qur’an, sabda Rasulullah SAW bahwa manusia tidak akan pernah merasa puas juga digunakan oleh mazhab mainstream untuk mengukuhkan gagasannya, yaitu jika diberikan satu lembah emas, mereka akan meminta dua lembah emas. Apabila dua lembah emas telah diberikan, mereka akan meminta tiga lembah emas dan seterusnya sampai pada masa mereka masuk ke liang lahat. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari No. 6436)

Umer Chapra (kiri) dan Nejatullah Siddiqi (kanan) sebagai tokoh mazhab mainstream.

Di antara tokoh mazhab mainstream adalah Umer Chapra, M.A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas tokoh mazhab ini bekerja di Islamic Development Bank (IDB), di mana IDB masih memiliki dukungan dana dan akses ke berbagai negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka merupakan para doktor di bidang ekonomi yang belajar dan mengajar di berbagai universitas barat. Oleh karenanya, mazhab mainstream tidak pernah serta-merta membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Sebut saja Umer Chapra yang berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islam bukan berarti memusnahkan baik dan berharganya hasil analisis yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir. 

Berdasarkan sudut pandang dari mazhab ini, mengambil kebaikan dan kebermanfaatan hal-hal yang dihasilkan oleh budaya non-Islam sama sekali tidak diharamkan. Rasulullah bersabda bahwa bagi umat Islam, hikmah ilmu ibarat barang yang hilang, di mana saja ia ditemukan, maka umat Muslim adalah yang paling berhak mengambilnya.

«الْعِلْمُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ، كُلَّمَا أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا حَوَاهُ وَابْتَغَى ضَالَّةً أُخْرَى»

“Ilmu itu suatu yang hilang dari seorang mukmin, setiap kali ia mendapatkan sesuatu darinya maka ia mengambilnya kemudian ia mencari lagi yang lainnya” (Atsar Abdullah bin Ubaid)

Catatan sejarah umat Muslim kemudian memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuwan Muslim banyak meminjam ilmu dari peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, Cina, dan lain-lain. Pengambilan hal-hal yang bermanfaat dengan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak selaras dengan hukum Islam memungkinkan terjadinya transformasi ilmu dengan diterangi cahaya Islam.

 

Para Aktor dan Studi Kasus Menilik dari Mazhab Mainstream 

Salah satu tokoh penganut mazhab mainstream, Muhammad Abdul Mannan, memiliki pendapat yang berbeda dengan ekonom konvensional ternama yaitu Adam Smith. Mannan memberikan kontribusi pemikirannya dengan menetapkan basic economic functions, di mana fungsi sederhananya meliputi fungsi konsumsi, produksi, dan distribusi. Basic economic functions ini didasarkan pada prinsip syariah yang dituang menjadi prinsip righteousness (keadilan), cleanliness (keberhasilan), moderation (kesederhanaan), beneficence (kemurahan hati), serta morality (moralitas). 

Mannan menunjukkan ketidakberpihakan dirinya atas konsep harmony of interests (keharmonisan kepentingan) sebagai hasil dari mekanisme pasar. Menurut Mannan, antara satu manusia dengan yang lainnya memiliki naluri untuk cenderung menindas satu sama lain karena ego yang dimiliki hingga pada akhirnya, keharmonisan kepentingan hanya angan belaka. 

Sejalan dengan hal tersebut, Mannan mengusulkan kehadiran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar. Dalam kasus ini, ekonomi Islam diharapkan mampu menjadi solusi efektif yang berhasil bekerja di antara perpotongan mekanisme pasar demi menciptakan keadaan yang lebih baik.  Bauran yang optimal antara persaingan, kontrol yang terencana, dan kerja sama yang bersifat sukarela menjadi tiga hal yang menurut Mannan menjadi solusi dalam mencapai titik temu antara perencanaan negara dan sistem harga. Dalam hal ini, sayangnya Mannan tidak menyebutkan secara detail bagaimana bauran tersebut dapat direalisasikan.

Muhammad Abdul Mannan juga berada dalam kubu kontra dalam menanggapi pendapat yang mengungkapkan tentang kekuasaan produsen dan kekuasaan konsumen di mana timbulnya dominasi eksploitasi menjadi alasan yang ia pegang. Sebagai gantinya, Mannan berpendapat bahwa hadirnya penyeimbang antara persaingan dan pengawasan pemerintah dengan tetap memegang nilai dan norma yang ada, selama dilakukan sejalan dengan syariat Islam, justru menjadi hal yang esensial. Negara memiliki peran krusial dalam sistem ekonomi (Tho’in, 2015). Oleh sebab itu, Mannan berpendapat bahwa keadilan lebih penting dibanding efisiensi, terutama dalam masalah pemenuhan kebutuhan pokok yang menyangkut kepentingan umat. Pandangan Mannan ini didasarkan pada analisisnya yang menyebut bahwa efisiensi dianggap sebagai situasi untuk memproduksi barang maupun jasa yang dilakukan melalui distribusi yang adil dan merata. Konsep efisiensi tersebut berbeda pandangan dengan para ekonom lain yang menganut mazhab mainstream. 

Berkenaan dengan kepemilikan individu dan sewa, Mannan menuturkan bahwasanya Islam memperbolehkan kepemilikan swasta selama taat atas kewajiban moral dan etik. Seluruh masyarakat dianggap Mannan berhak memperoleh keseluruhan harta yang mereka upayakan tanpa mengeksploitasi individu lainnya. Dengan kata lain, legitimasi kepemilikan tidaklah mutlak, meskipun keberadaannya resmi diakui dalam ekonomi Islam. Sayangnya, Mannan belum memberikan penjelasan detail berkaitan dengan metode, instrumen, dan sistem yang seharusnya dipakai. Mannan juga belum menjelaskan bentuk intervensi apa saja yang tidak boleh dilakukan dan apa yang sebenarnya menjadi batas pembeda antara kepemilikan individu, umum, dan negara. Ia hanya memberikan pandangannya yaitu membolehkan pengendalian kepemilikan swasta, di antaranya dengan menolak adanya aset yang menganggur, pemanfaatan diupayakan menghasilkan keuntungan, pemanfaatan aset tidak membahayakan, kepemilikan atas kekayaan dinyatakan sah, menekankan pembayaran atas zakat, mengusulkan pemanfaatan yang seimbang, mengupayakan terciptanya distribusi pendapatan yang adil dan tepat sasaran, mendukung penerapan hukum Islam mengenai warisan, serta tidak memperbolehkan adanya konsentrasi kekayaan pada satu pihak saja. 

Selanjutnya, Mannan menuturkan bahwasanya produksi berkaitan dengan utility atau pencapaian nilai guna. Barang atau jasa yang diproduksi harus sejalan dengan aturan syariah, yaitu halal dan menguntungkan sehingga utility dapat diciptakan. Mannan menyebutkan peningkatan pendapatan dapat diraih dengan peningkatan kapasitas produksi, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam, modal, dan tenaga kerja secara maksimal (Mannan, 1992).

Menurut Mannan, sangat menakjubkan ketika kita mengetahui fakta bahwa sejak empat belas abad yang lalu, Islam telah mengakui pentingnya pertumbuhan yang seimbang antara sektor pertanian dan industri. Dalam Islam, untuk mencapai tujuan pertumbuhan yang seimbang, pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan efektif dan efisien, sesuai perannya sebagai salah satu faktor produksi. Namun, perlu diingat bahwa Islam juga menetapkan jika suatu masyarakat bertumpu pada satu pekerjaan tertentu dan mengabaikan pekerjaan lainnya, kerugian pada masyarakat tidak akan mampu dihindari. Oleh karenanya, dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mengubah kebiasaan tersebut. Misalnya, jika masyarakat hanya berpusat pada kegiatan pertanian lalu mengabaikan pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti penanaman modal atau kegiatan industri, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan aturan agar masyarakat mampu mendistribusikan pendapatannya secara merata dan adil sehingga tercipta simbiosis mutualisme.

Tokoh mazhab mainstream yang tidak kalah berpengaruh adalah Umer Chapra. Ekonom yang lahir di Pakistan pada 1 Januari 1933 ini pernah  menjabat sebagai penasehat riset di Islamic Research and Training Institute (IRTI) di Islamic Development Bank (IDB), Jeddah. Umer Chapra memberikan kritiknya kepada salah satu sistem ekonomi yang ia anggap sebagai kegagalan, yaitu sistem kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme lahir akibat adanya persaingan, kemudian seleksi alam berjalan sehingga terciptalah tingkatan atau kelas seseorang dalam menduduki posisinya. Dengan kata lain, kelas kapital inilah yang akan menduduki kelas paling atas dan memiliki kekuasaan dalam mengendalikan ekonomi.

Menurut Umer Chapra, dalam sistem ekonomi kapitalisme, di antara konsep dan strategi yang tidak mampu dicapai, baik yang disadari maupun yang tidak disadari adalah sebagai berikut:

  • Pertama, kepercayaan hukum-hukum ekonomi yang didasarkan pada pandangan mekanis terhadap jagat raya, bahwa pengetahuan dan sains-sains sosial tidak berbeda dari sains-sains fisika dan perilaku manusia. Adam Smith meminjam pandangan fisika Newton, bahwa kehidupan sosial dan ekonomi, sama seperti dunia fisika, yaitu indah, teratur, dan harmoni.
  • Kedua, yaitu “manusia ekonomi rasional” yang berfungsi sebagai titik sentral ilmu ekonomi modern. Kepentingan diri sendiri merupakan satu-satunya muara bagi seluruh gerakannya, semua tindakannya sesuai dengan apa yang disebut oleh Javons, yaitu sebagai mesin nilai guna dan kepentingan diri. Ini pada akhirnya akan memalingkan mata mereka dari perhatian-perhatian ke arah moral dan tanggung jawab sosial individu terhadap konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan atau hasil sosial akhir dari aksi-aksinya.
  • Ketiga, positivisme. Konsep ini dianggap sebagai payung kesakralan yang diberikan kepada “ilmu ekonomi positif” yang secara harfiah dianggap sebagai “kebebasan dari posisi etika tertentu atau penilai normatif”. Optimalitas Pareto, diidentifikasikan dengan “efisiensi ekonomi” dan telah menjadi anak favorit bagi ilmu ekonomi kesejahteraan (welfare economics). Misalnya, jika ada sejuta orang yang merasa dirinya lebih baik (sejahtera), tetapi ada satu orang yang merasa kurang sejahtera sebagai akibat dari implementasi suatu kebijakan misalnya, maka para ekonom akan maju ke depan untuk menghentikan penilaian mengenai baik tidaknya implementasi kebijakan tersebut. Hal ini menyebabkan proses pembuatan kebijakan nyaris lumpuh, terutama dalam masyarakat pluralis yang masing-masing kelompok mencoba memenuhi kepentingannya sendiri.
  • Keempat, Hukum Say yang berbunyi “Supply creates its own demand.” Ini merupakan turunan dari pentingnya penerapan hukum-hukum fisika Newton dalam ilmu ekonomi. Hukum Say ini menyatakan, seperti halnya alam semesta, ekonomi akan berjalan mulus jika dibiarkan bergerak sendiri. Produksi akan menciptakan permintaannya sendiri, sehingga tidak akan ada yang disebut over produksi atau pengangguran. Pemerintah tidak boleh campur tangan, karena kekuatan pasarlah yang akan menciptakan keteraturan, keharmonisan, efisiensi, dan pemerataan.

Umer Chapra kemudian memberikan strategi-strategi yang meliputi reorganisasi keseluruhan sistem ekonomi dengan empat elemen yang saling memperkuat, yaitu: 

  1. sebuah mekanisme filter yang secara sosial disepakati; 
  2. sebuah sistem motivasi yang mendorong individu untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan masyarakatnya; 
  3. restrukturisasi perekonomian secara keseluruhan dengan tujuan mewujudkan maqasid syariah meskipun menghadapi kelangkaan sumber daya; dan 
  4. sebuah peran pemerintah yang positif dan kuat. 

Di sini, perlu digaris bawahi bahwa Umer Chapra tidak memusnahkan seluruh teori-teori yang pernah dibangun oleh para ekonom konvensional sebelumnya.amun, melalui pendekatannya, memadukan antara teori ekonomi konvensional dengan teori ekonomi Islam, sehingga lahirlah yang biasa kita sebut dengan mazhab mainstream. 

 

A Closure 

Pandangan mazhab mainstream berkenaan dengan masalah ekonomi dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber daya menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara menanggapi dan menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tidak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas urgensi keinginan mereka. Manusia kemudian akan menyandarkan urutan pemenuhan keinginan mereka berdasarkan skala prioritas, mulai dari yang paling penting dan menyangkut keberlangsungan hidup hingga ke tingkat yang menurutnya paling tidak penting. 

Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera masing-masing individu, manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Manusia membuat pilihan dengan mempertuhankan hawa nafsunya. Sementara dalam ekonomi Islam, keputusan untuk membuat pilihan tidak dapat dilakukan berdasarkan kehendaknya semata. Tiap ayunan langkah kaki dan hembus napas, perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupan selalu dipandu oleh Allah melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Mazhab mainstream memberikan penekanan terhadap optimalisasi sumber daya yang terbatas, Manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi (QS Al-Baqarah:30) bertanggung jawab untuk mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang telah diberikan oleh Allah yang Rahman. Dalam proses pengelolaan tersebut, tentulah manusia tidak dapat bertindak dengan kehendaknya sendiri melainkan harus mempertimbangkan landasan syariah yang mengaturnya. Hal ini menjadi logis mengingat sebagai khalifah, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. So, will we do it wisely or take it for granted?

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2013). Prinsip dasar produksi dalam ekonomi islam. LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 7(1), 19-34.

Chapra, M. Umer dan Habib Ahmed. 2008. Corporate Governance, Edisi terjemahan: Lembaga Keuangan Syariah. Penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, M.A, M.Sc. Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara.

Chapra, M. Umer. 2000. Islam and The Economic Challenge, Edisi terjemahan: Islam dan Tantangan Ekonomi. Penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, M.A, M.Sc. Jakarta: Gema Insani.

Faizah, F. N. (2019). Pemikiran Muhammad Abdul Mannan Tentang Produksi. SERAMBI: Jurnal Ekonomi Manajemen Dan Bisnis Islam, 1(2), 55– 68. https://doi.org/10.36407/serambi.v1i2.71 

 Imtinan, Q. (2021). Pemikiran Ekonomi Islam Oleh Muhammad Abdul Mannan: Teori Produksi (Mazhab Mainstream). Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(03), 1644-1652. doi:http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v7i3.3585

Karim, Adiwarman A. 2012. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

Turmudi, M. (2017). Produksi Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, 37-56.