Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » I-BOOK #3 (Pemerintahan, Ekonomi, dan Kebijakan Keuangan pada Masa Daulah Abbasiyah: Sebuah Era Keemasan Peradaban Islam)

I-BOOK #3 (Pemerintahan, Ekonomi, dan Kebijakan Keuangan pada Masa Daulah Abbasiyah: Sebuah Era Keemasan Peradaban Islam)

Pemerintahan, Ekonomi, dan Kebijakan Keuangan pada Masa Daulah Abbasiyah: Sebuah Era Keemasan Peradaban Islam

Abdurra In Mukhlis IEI’23 & Muhammad Izzan IEI’23

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’ Dia berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'”

QS Al-Baqarah: 30

Maju  mundurnya  peradaban Islam  tergantung  dari  sejauh  mana  dinamika  umat  islam  itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam yang salah satunya adalah Daulah  Abbasiyah. Ketidakadilan dan rasa dinomorduakan oleh Daulah Umayyah menjadi landasan berdirinya Daulah Abbasiyah, Daulah ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas) yang merupakan keturunan dari Bani Abbas dari Suku Quraisy, Abu Al-Abbas mengalahkan Bani Umayyah pada tahun 750 pada pertempuran di sungai Zab (Iraq), yang dikenal dengan Perang the Great Zab, dan pada akhirnya berhasil mengambil tampuk kekuasaan dari Daulah Umayyah. Pada masa Daulah  Abbasiyah, pusat pemerintahan Islam dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Dalam kurun waktu lebih dari lima abad dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi. 

Pada masa ini, kerajaan islam mencapai formasi terluas dan paling terkonsolidasi satu sama lain sehingga terjadi perdagangan besar-besaran dari india di timur hingga spanyol di barat. Tidak hanya itu, kekhalifahan pada periode ini telah mencapai tingkat administrasi dan perkembangan budaya yang tinggi. Selain itu juga berperan penting dalam kelahiran karya-karya awal terkait ekonomi islam di dunia. 

Revolusi Pemerintahan dengan Inovasi yang Membangun 

Daulah abbasiyah berkuasa selama lima abad yaitu pada 750-1258 M, Daulah Abbasiyah sebagai sebuah kekhalifahan baru mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dengan Daulah Umayyah. Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah mengacu pada empat aspek yaitu aspek Khalifah, aspek Wizarah, aspek Kitabah, dan aspek Hijabah. Para khalifah Abbasiyah berusaha memberi Daulah mereka sifat kesucian (qadasah), dengan menjadikan pemerintahan mereka bersumber dari syariat Allah, berbeda dengan Daulah Umayyah yang Arab sentris membuat para khalifah seperti seorang kabilah. Hal ini berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang bersumberkan kepada hal-hal yang bersifat materil. Dalam artian bahwa kedudukan khalifah Abbasiyah adalah pemberian dari Allah bukan dari rakyat. 

Pada pemerintahan Abbasiyah masalah politik dan agama menyatu. Para khalifah Abbasiyah mengatakan bahwa mereka berusaha menegakkan keadilan dan menghidupkan sunnah. Karena adanya pembauran masalah politik dan agama, hal ini membuat rakyat harus taat kepada khalifah sebagai sebuah bagian dari ritual keagamaan. Pada masalah politik ini juga jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan banyak mengadopsi dari Persia seperti adanya wazir(kepala menteri), al-hajib(Pejabat Bendahara), dan beberapa birokrasi istana. Berbeda dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah tidak lagi melakukan perluasan wilayah, akan tetapi hanya mempertahankan batas wilayah, memberi pelajaran kepada kerajaan yang menyalahi perjanjian dan menyerang kelompok pemberontak. Tidak adanya perluasan wilayah tidaklah menandakan Daulah Abbasiyah lemah, tapi sebaliknya Daulah Abbasiyah sangat kuat dari berbagai segi, hal ini ditunjukan dengan keseriusan abbasiyah dalam melakukan pembaruan di bidang ilmu pengetahuan,sosial  budaya, dan ekonomi. 

Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat mulia sehingga tidak heran bila perkembangannya sangat terlihat jelas dan sangat pesat. Kota Baghdad yang dipilih untuk menjadi pusat pun menjadi lebih masyhur karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam, sehingga banyak para ilmuwan dari berbagai penjuru datang ke kota ini, sehingga dibangunlah Bayt al-Hikmah yakni suatu akademi ilmiah yang menjadi pusat aktivitas keilmuan, mulai dari penerjemahan sekaligus perpustakaan. Lembaga pendidikan Islam pada Dinasti Abbasiyah juga sangat mendukung, karena pada masa itu sudah ada lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal (kuttab, masjid, qurhur, perpustakaan, salun kesusastraan, observatorium, ribath, dan zawiyah), informal (rumah para ulama), dan formal (madrasah)

Situasi dan Kondisi Ekonomi

Kekhalifahan Abbasiyah memiliki wilayah yang sangat luas sehingga kebijakan yang strategis perlu diterapkan agar tepat dan merata sehingga kemakmuran pun dapat tercapai. Sektor perdagangan, industri, pertanian, dan pertambangan tersedia di masa ini. Baghdad, ibukota Abbasiyah, menjadi kota  yang berpengaruh besar terhadap sektor bisnis saat itu karena menjadi komersial utama perdagangan internasional, pusat produksi tekstil, kulit, dan kertas. Keunggulan Kota Baghdad juga didukung oleh potensi sumber daya alam, seperti wilayah yang subur, saluran irigasi, dan lumbung emas. Sumber daya manusia juga mendukung dengan penduduknya yang memiliki kreativitas tinggi sehingga dapat memproduksi komoditas yang beraneka ragam, terutama di wilayah Iran dan Suriah. 

Dari sisi kenegaraan, kekayaan mengalami peningkatan, dimana pendapatan negara didominasi oleh pajak diikuti oleh penghasilan dari zakat yang mampu berkembang baik. Peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan masa khalifah Utsman bin Affan adalah meningkat hampir 3x lipat, dari 200.402.000 dirham meningkat menjadi 530.312.000 dirham. Sistem administrasi yang diterapkan pada masa ini juga terdapat perkembangan dari masa umayyah. Hal ini terlihat dari lembaga jihbiz yang sebelumnya hanya bertugas mengumpulkan dan menghitung pajak menjadi lembaga penukaran, pinjaman, penitipan, dan jasa distribusi barang. Situasi ini menandakan bahwa keuangan negara tidak lagi dilakukan oleh khalifah sebagaimana dilakukan sebelum masa umayyah, dimana ide kebijakan dan penerapannya langsung diterapkan oleh Khalifah Rasyidin. 

Pada periode ini, terdapat tiga isu utama dalam struktur kepemilikan tanah, yaitu:

  1. Hak Muslim untuk membeli tanah dari non-Muslim
  2. Hak khalifah untuk memberikan tanah kepada Muslim sebagai penghargaan atas jasa mereka atau qata’i
  3. Hak atas kepemilikan tanah yang sebelumnya terbengkalai atau tidak bertuan oleh siapa pun yang menghidupkan kembali tanah tersebut.

Tanah yang diberikan oleh khalifah atau qata’i terus mengalami peningkatan, baik dari segi ukuran maupun signifikansi ekonomi. Selain itu, berdasarkan tiga poin tersebut, kepemilikan tanah lebih condong pada kepemilikan muslim. Perubahan ini berkaitan dengan administrasi keuangan negara atau wajib pajak yang terletak pada perubahan agamanya sehingga mengubah jenis pajaknya, dari kharaj menjadi zakat atau ushr. Tanah yang diberikan oleh khalifah atau qata’i terus mengalami peningkatan, baik dari segi ukuran maupun signifikansi ekonomi.

Karya-Karya Ekonomi islam

Dengan kondisi perekonomian yang terus mengalami perkembangan, maka mekanismenya pun semakin kompleks. Perubahan karakteristik inilah yang mendorong kebutuhan terhadap pemikiran baru terkait ekonomi Islam, khususnya terkait pengelolaan keuangan negara. Maka dari itu, muncul berbagai karya di era ini yang sebagian besar ditulis oleh ahli hukum/hakim, namun ada juga beberapa pemikiran ekonomi yang ditulis atas inisiatif pribadi. 

Berikut beberapa kitab terkait ekonomi Islam pada era ini:

  • Al-Kharaj

Salah satu kitab yang terkenal adalah Al-Kharaj karya Abu Yusuf, yaitu seorang hakim agung pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Tujuan utama dari lahirnya karya ini adalah memenuhi tugas khalifah dalam menyiapkan laporan tentang keuangan publik, maka isi dari kitab ini akan membahas mengenai pendapatan negara dari pajak dan sumber penerimaan lainnya serta administrasinya. 

Berikut beberapa kunci pemikiran Abu Yusuf dalam Al-Kharaj:

  1. Dalam zakat, Abu Yusuf menekankan tiga poin. (1) Pendapatan zakat tidak boleh dicampur dengan pendapatan dari pajak lainnya; (2) Pendapatan dari zakat harus didistribusikan sesuai ketentuan dalam Al-Qur’an secara ketat; dan (3) Pendapatan zakat dari suatu kota atau daerah harus didistribusikan kepada penerima yang tinggal di daerah tersebut pula.
  2. Dalam pajak pertanahan, Abu Yusuf merekomendasikan sistem pajak muqasamah. Sistem crop-sharing ini dianggap paling baik untuk mencegah ketidakadilan, implikasi dari sistem pajak ini dapat mengurangi beban berlebih perpajakan melalui pengurangan dead loss pajak.
  3. Dalam aspek administrasi, Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang petugas penagih kharaj dan gubernur tidak memiliki kuasa untuk membebaskan seseorang dari beban pajaknya tanpa izin dari khalifah.

  • Al-Iktisab

Kitab selanjutnya merupakan karya dari seorang ahli hukum bernama Al-Shaibani. Kitab ini berisi pembahasan mengenai ekonomi mikro, tidak ada keuangan publik atau perpajakan. Penulisan kitab ini didasarkan atas inisiatif pribadi Al-Shaibani, tidak ada perintah dari khalifah sebagaimana Abu Yusuf. 

Berikut beberapa kunci pemikiran Al-Shaibani dalam Al-Iktisab:

  1. Dalam ranah konsumsi, Al-Shaibani membagi konsumsi menjadi tiga level, yaitu dharuriyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Pemikiran ini yang kemudian menjadi dasar dari teori konsumsi islami.
  2. Dalam ranah produksi dan pendapatan, Al-Shaibani membagi produksi menjadi empat kategori. (1) Sewa; (2) Industri, dalam hal ini penting untuk melakukan spesialisasi tenaga kerja; (3) Pertanian, menurut Al-Shaibani ini merupakan sektor yang paling penting; dan (4) Perdagangan, dalam hal ini memiliki peran penting untuk mengembangkan kekayaan.
  3. Al-Shaibani juga menekankan pentingnya pendidikan dalam masyarakat

  • Al-Amwal

Kitab ini ditulis oleh seorang hakim yang pernah berguru dengan Al-Shaibani dan pernah menjadi guru gubernur Harthamah (dibawah pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid) bernama Abu Ubayd, kitab ini ditulis sekitar 40 tahun setelah Al-Kharaj diterbitkan. Kitab ini berisi kumpulan pendapat tentang masalah pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fiqh. Buku ini memiliki ciri khas yang membedakannya dari karya sebelumnya tentang al-Kharāj, yaitu tidak hanya berfokus pada satu jenis kekayaan, tetapi mencakup berbagai sumber seperti hasil pertanian, perdagangan, dan lainnya. Dengan tebal 622 halaman, dokumentasinya jauh lebih baik dibandingkan buku sejenis, serta menghadirkan beragam pandangan dari semua mazhab Islam, menjadikannya referensi komprehensif dan mendalam dalam memahami konsep al-Kharāj dalam ekonomi Islam.

Dalam bukunya, Abu Ubayd menyebutkan bahwa terdapat 3 sumber utama (primer) pendapatan publik, yaitu

  1. Ghanimah dan Khums, yang diperoleh dari kaum tertentu dan diperuntukkan untuk kaum tertentu pula.
  2. Shadaqah dan Zakat
  3. Fay, yang diperoleh dari masyarakat umum dan ditujukan untuk kepentingan umum.

  • Al-Ahkam Al-Shultaniyyah

Kitab ini ditulis oleh Al-Mawardi sebagai kontribusinya pada bidang ilmu sosiologi dan politik. Dalam bukunya, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kesejahteraan masyarakat sekaligus memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penyediaan layanan publik merupakan kewajiban negara karena tidak semua individu mampu memenuhinya secara mandiri. Dalam situasi di mana pendapatan negara tidak mencukupi atau terjadi defisit anggaran, maka pinjaman publik diperbolehkan, tetapi hanya untuk kebutuhan umum seperti membayar gaji pegawai atau pembangunan infrastruktur, dan harus menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi krisis keuangan. 

Terkait dengan zakat, Al-Mawardi menjelaskan bahwa pengumpulan zakat dari kekayaan yang terlihat, seperti hasil pertanian dan ternak, merupakan tanggung jawab negara. Sementara itu, zakat dari kekayaan yang tidak terlihat, seperti perhiasan, dikelola oleh individu sesuai ketentuan syariat. Pendistribusian zakat juga wajib diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran dan Sunnah.

Dalam hal perpajakan, Al-Mawardi menawarkan tiga metode penetapan pajak, yaitu:

  1. Metode misahah berdasarkan luas tanah, 
  2. metode berdasarkan tanah yang ditanami, dan 
  3. metode musaqah yang menghitung pajak berdasarkan persentase hasil produksi.

Kebijakan Ekonomi Islam Daulah Abbasiyah

  1. Kebijakan Administrasi Keuangan 

Sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dan mata uang lainnya. Ini  diperlukan  karena  setiap  mata  uang  mempunyai  kandungan  logam  mulia  yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya sakk (cek) dengan luas sebagai media pembayaran

Lebih lanjut, cek hanya bisa dikeluarkan  oleh  pihak yang  berwenang  yaitu  bank.  Lebih  jauh  bank  pada  masa  ini kejayaan  Islam  juga  sudah  memberikan  kredit  bagi  usaha – usaha  perdagangan  dan Industri. Selain  itu, Pemungutan  pajak  merupakan  sumber  utama  pendapatan Negara Abbasiyah,  sedangkan  sumber  lainya  adalah  zakat  yang diwajibkan  atas  setiap  orang Islam.  Zakat  dibebankan  atas  tanah produktif,  hewan  ternak,  emas  dan  perak,  barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang, baik secara alami maupun setelah diusahakan

  1. Praktik Ekonomi Islam Sektor Industri

Pada masa Daulah Abbasiyah pengembangan industri rumah tangga berkembang pesat dan maju. Industri kerajinan tangan menjalar di berbagai pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industri karpet, sutera, kapas, dan kain wol, satin, dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab, Suffah) dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan Irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis burung dan emas yang dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya.

Dengan banyaknya dibangun tempat-tempat industri, maka terkenallah, misalnya: Bashrah, terkenal dengan industri sabun dan gelas; Kufah dengan industri sutera nya; Khuzestan, dengan tekstil sutera bersulam; Damaskus, dengan kemeja sutera; Khurasan, dengan selendang, wol, emas, dan peraknya; Syam, dengan keramik dan gelas berwarnanya; Andalusia, dengan kapal, kulit, dan senjata; Baghdad sebagai ibu kota negara memiliki berbagai macam tempat industri. Dalam catatan sejarah, Baghdad mempunyai lebih 100 kincir air, 4000 pabrik gelas, 30.000 kilang keramik.(Gurdacil & Afabel, 2021) Di samping itu, Baghdad mempunyai industri-industri khusus barang- barang mewah (lux) baik gelas, tekstil, keramik, dan sebagainya. Di kota Baghdad diadakan pasar-pasar khusus untuk macam-macam hasil produksi, seperti pasar besi, pasar kayu jati, pasar keramik, pasar tekstil, dan sebagainya.

  1. Praktik di Sektor Perdagangan

Kota Baghdad, di samping sebagai kota politik, kota agama, kota kebudayaan, juga merupakan “kota perdagangan” yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota dagang nomor dua, sebagai pusat kota perdagangan transit bagi kafilah-kafilah dagang dari Asia Kecil, dan daerah-daerah Furat yang menuju negeri-negeri Arab dan Mesir atau sebaliknya. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak Khalifah al-Mansur. Kecuali Baghdad dan Damaskus, juga terkenal sebagai kota dagang adalah Basrah, Kufah, Madinah, Kairo, dan kota-kota di Persia. Kapal Kapal dagang Arab Islam telah sampai ke Ceylon, Bombay, Malaka, pelabuhan-pelabuhan di Indocina, tiongkok, dan India. Pada waktu itu terjadilah hubungan dagang antara kota-kota dagang Islam dengan kota kota dagang di seluruh penjuru dunia. Untuk menghindari terjadinya kolusi dan penyelewengan dalam sektor perdagangan, Khalifah Harun membentuk satu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasaran, atau dengan kata lain mengatur politik harga.

Disintegrasi Wilayah dan Ancaman Perang Salib sebagai Akhir Kekuasaan

Daerah  kekuasaan  Abbasiyah  dari periode awal hingga keruntuhan sangat luas, meliputi  berbagai  negara,  misalnya  Turki, Maroko,  Suriah,  Irak, Mesir, Persia, dan India. Meskipun sebenarnya banyak zona tidak dibatasi oleh Khalifah secara asli, wilayah ini sangat dipengaruhi oleh perwakilan pemimpin yang dikendalikan. Ikatan dengan pemimpin hanya  ditandai  dengan  penyerahan  upeti. Alasannya bahwa  para  pemimpin  tidak  cukup  mampu untuk menundukan mereka, tingkat keyakinan bersama di antara para penguasa dan kepala otoritas publik begitu minim dan lebih jauh lagi para penguasa Abbasiyah lebih menekankan pada  pembinaan  peradaban  dan  budaya  di samping masalah-masalah  pemerintahan  dan perluasan wilayah. Selain itu, motivasi utama di balik mengapa banyak kabupaten menjadi otonom  adalah  terjadinya  perselisihan  atau pertempuran kekuatan di pemerintahan pusat yang dilancarkan oleh Persia dan Turki. Dampaknya,  daerah-daerah tertentu  di  perbatasan  lepas  dari  tangan penguasa Bani Abbas seperti Thahiriyyah di Khurasan,  Yang  berbangsa  Kurdi:  al-Barzukani, Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Maroko,  dan  Yang  mengaku  sebagai Khalifah:  Umuwiyah  di  Spanyol  dan Fatimiyah di Mesir.

Pemusnahan  angkatan  bersenjata Romawi  menanam  benih  penghinaan  dan kebencian   kristen   terhadap   orang islam. Kebencian  ini  bertambah  setelah  Dinasti Seljuk  yang  mengambil  alih  Baitul  Maqdis merealisasikan beberapa pedoman yang dirasa sangat berat bagi umat Kristiani yang perlu melakukan  perjalanan  kesana.  Pada  tahun 1095, Paus Urbanus II memerintahkan pada semua  lapisan  umat  kristen  Eropa  untuk mengadakan  perang  suci,  perang  ini  dikenal dengan Perang Salib. Pertempuran  ini  banyak  menelan korban  dan  mereka  berhasil  menguasai sebagian wilayah kekuasaan Islam. Setelah perang ini usai (1097-1124 M) mereka mampu menduduki  wilayah  Nicea,  Edessa,  Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre

Awalnya   orang-orang   Mongolia merupakan  suku-suku  kecil  yang  kemudian dirangkul oleh Jengis Khan. Mereka berasal dari Asia Tengah. Wilayah pelosok di China. Orang-orang  Mongolia  mengambil alih  wilayah-wilayah  Asia  Tengah  khurasan dan  Persia  serta  menguasai  Asia  Kecil, ini merupakan awal dari runtuhnya Baghdad dan pemimpin Islam. Terdapat suatu ultimatum yang dikirim oleh Hulagu Khan kepada Khalifah untuk mundur dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan.  Namun  khalifah  mengabaikan begitu saja hal tersebut. Sehingga pada tahun 1258, Hulagu Khan merobohkan tembok ibu kota. Disamping itu Al-Mu’tashim tunduk dan berangkat  ke  lokasi  pasukan  Mongolia. Kemudian para fuqaha dan penguasa keluar, berselang  sepuluh  hari  mereka pun  dibunuh. Kota Baghdad hancur dan dibumihanguskan. Pembunuhan  dan  pembantaian  dilakukan kurang  lebih  selama  40  hari.  Khalifah  Al- Mu’tashim terbunuh & hal ini menjadi akhir dari Dinasti Abbasiyah.

Kesimpulan

Periode pemerintahan Daulah Abbasiyah (750-1258 M) menjadi puncak kejayaan peradaban Islam, ditandai dengan kemajuan pesat di bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dinasti ini didirikan sebagai respons terhadap ketidakadilan pemerintahan Umayyah, dengan memindahkan pusat kekuasaan ke Baghdad. Kota ini berkembang sebagai pusat perdagangan internasional, ilmu pengetahuan, dan seni. Dalam pemerintahan, Daulah Abbasiyah mengadopsi sistem administrasi yang lebih inklusif, melibatkan berbagai etnis dan budaya. Inovasi administrasi seperti posisi wazir (kepala menteri) dan lembaga keuangan turut memperkuat stabilitas negara.

Pada masa ini, kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya dengan didirikannya Bayt al-Hikmah, yang menjadi pusat intelektual dunia Islam. Sektor ekonomi berkembang pesat melalui perdagangan, pertanian, dan industri, didukung oleh kebijakan pajak progresif serta inovasi keuangan seperti pengenalan cek (sakk). Keberhasilan ini tercermin dalam peningkatan signifikan pendapatan negara, didukung oleh sistem administrasi yang efisien. Selain itu, para intelektual Islam seperti Abu Yusuf, Al-Shaibani, dan Al-Mawardi menyumbangkan karya-karya monumental di bidang ekonomi yang menjadi landasan pemikiran ekonomi Islam modern.

Namun, kejayaan Daulah Abbasiyah mulai merosot akibat disintegrasi wilayah yang dipicu oleh konflik internal, lemahnya kontrol pusat, serta tekanan dari kekuatan eksternal seperti Perang Salib dan invasi Mongol. Tahun 1258 menjadi akhir tragis Dinasti Abbasiyah ketika Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, yang membunuh Khalifah Al-Mu’tashim dan mengakhiri kekhalifahan. Meski berakhir dengan kehancuran, era Abbasiyah tetap dikenang sebagai salah satu fase paling gemilang dalam sejarah peradaban Islam.

Referensi

El-Ashker, A., & Wilson, R. (2006). Islamic economics: A short history. BRILL. 

Kasri, R., & Haidlir, B. (2021). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Ekonomi Islam 1. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Fathiha, Nuril. “ISTORIA.” PERADABAN ISLAM MASA DINASTI ABBASIYAH, vol. 17.

Puspaningrum1, Azizah, and Nuryuana Dwi Wulandari2. “Jambura History and Culture Journal.” PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN DAN PENDIDIKAN MASA DINASTI UMMAYAH DAN DINASTI ABASIYAH, vol. 5, no. 2, 2023.

Ridwanto, and Siradjuddin. “Journal of Economics and Business UBS.” PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA DAULAH ABBASIYAH, vol. Vol. 12 No. 5, 2023.