Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Emerging Affluent : an Invisible Market Segment for Indonesia’s Banking Evolution

Emerging Affluent : an Invisible Market Segment for Indonesia’s Banking Evolution

  • I-Share

World Bank’s statement towards indonesia upcoming demographic structure

Pada tahun 2020, Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang secara historis berada di kisaran 5,6% per tahun selama 50 tahun. Progres tersebut telah memberikan dampak baik terhadap penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan di Indonesia yang kemudian mendorong status Indonesia menjadi negara middle-income atau negara dengan penghasilan kelas menengah.

Perolehan status middle income tak lepas dari kontribusi masyarakat kelas menengah di Indonesia yang tumbuh dengan pesat dibandingkan dengan kelas lain sebesar 12% per tahun dan hingga saat ini hampir setengah pengeluaran konsumsi di Indonesia didapatkan dari masyarakat kelas menengah. Pertumbuhan masyarakat kelas menengah memunculkan segmen pasar baru, yaitu masyarakat emerging affluent. Indonesia Wealth Management Opportunities and Risks to 2022 menyebutkan bahwa pertumbuhannya semakin meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 7,3% per tahun.

Saat ini, penduduk Indonesia didominasi oleh masyarakat usia produktif yang berada di rentang usia 15-64 tahun yang terdiri dari generasi X, milenial, dan generasi Z. Hal tersebut digambarkan dengan piramida kependudukan Indonesia yang ekspansif dari hasil sensus yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai berikut:

Gambar 1. Piramida Kependudukan Indonesia 2020. Diambil dari Hasil Sensus Penduduk 2020, demakkab.bps.go.id.

Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia didominasi oleh generasi Z yang kemudian disusul oleh generasi Y (Milenial) dan generasi X. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh APAC (Asia-Pacific) WealthTech Landscape Report pada tahun 2021 yang menyebutkan bahwa sebanyak 72,5% masyarakat emerging affluent berasal dari generasi milenial. Hal tersebut menguatkan argumen pertumbuhan masyarakat emerging affluent dengan kondisi Indonesia yang didominasi oleh generasi milenial. 

Dengan masifnya pertumbuhan penduduk Indonesia khususnya kelas menengah, tentu peran serta kontribusi masyarakat kelas menengah yang sekarang menghadirkan segmen baru, yaitu emerging affluent menjadi hal yang esensial bagi pertumbuhan serta pembangunan ekonomi untuk terus mendorong Indonesia lepas landas dari statusnya sebagai negara dengan penghasilan kelas menengah.

 

What is Emerging Affluent? Break Down the Emerging Affluent’s Financial Behavior 

Menurut Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN), emerging affluent merupakan segmen pasar yang berada di antara masyarakat kaya dan masyarakat menengah (sandwich) atau dalam kata lain tingkat kemakmurannya dapat disamakan dengan masyarakat menengah ke atas (upper middle) dan berada pada rentang usia produktif mulai dari kategori generasi X, milenial, sampai generasi Z. Masyarakat emerging affluent cenderung mempunyai pemikiran yang strategis, mendahulukan stabilitas finansial, dan mempunyai sifat ambisius tetapi rendah hati. 

HILL ASEAN melakukan penelitian kepada 2.290 sampel yang merupakan masyarakat kaya, menengah ke atas (emerging affluent), dan menengah di Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Singapura, dan Jepang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku masyarakat emerging affluent lebih mengutamakan stabilitas dan perlindungan finansial dengan memperkaya pengetahuan, skills, tabungan, dan asuransi daripada berambisi untuk menjadi orang kaya raya. Mereka ingin menikmati hidupnya dengan bekerja, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan melakukan hobinya tanpa tekanan yang tinggi.  

Masyarakat emerging affluent mempunyai beberapa karakteristik yang dapat dilihat dari nilai atau core values, gaya hidup, dan perilaku konsumsinya. Salah satu nilai yang dipegang oleh masyarakat ini, yaitu self reliance yang merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu oleh dirinya sendiri. Mereka meyakini bahwa mereka dapat mengandalkan penuh kemampuannya sendiri tanpa ada bantuan dari siapapun. Meskipun begitu, survei yang dilakukan oleh HILL ASEAN menunjukkan bahwa sebagian lain percaya adanya campur tangan pihak lain atas kesuksesannya. Mereka biasa menyebutnya dengan Tuhan, takdir, karma, surga, dan sebutan lainnya. 

Berikut adalah karakteristik perilaku konsumsi masyarakat emerging affluent berdasarkan riset yang dilakukan oleh HILL ASEAN.

  • Function over brand

Masyarakat emerging affluent lebih suka membeli barang yang memang dibutuhkan fungsinya dan dapat bertahan lama bukan hanya sekadar membeli barang karena gengsi, citra, popularitas, dsb. Selain itu, mereka lebih memilih untuk menghabiskan uangnya untuk travelling, staycation, makan-makan, ataupun hal lain yang memberikan pengalaman eksklusif dan valuable bagi mereka daripada membeli barang high-end. 

  • Family is a consumption booster

Mereka tidak suka menghambur-hamburkan uangnya tetapi mereka tidak perhitungan jika berkaitan dengan keluarga, terutama orang tua. Berdasarkan hasil riset, sebanyak 38% masyarakat ASEAN emerging affluent menghabiskan paling banyak pengeluarannya untuk orang tua yang disusul dengan 30,5% orang menghabiskan pendapatannya untuk pasangan serta anaknya. Hal tersebut berkaitan dengan kultur masyarakat yang mana keluarga merupakan salah satu prioritas utama juga menjadi pihak yang mempunyai jasa besar di dalam hidupnya.

  • Happy shopping strategists

Dengan antusiasme mereka dalam berbelanja, mereka akan melakukan riset terlebih dahulu terkait produk yang akan dibeli dengan mengumpulkan informasi dan ulasan dari orang lain. Dengan begitu, mereka cenderung lebih berhati-hati dan tidak impulsif sehingga dapat membandingkan terlebih dahulu produk mana yang lebih worth to buy walaupun jarak tokonya lebih jauh.

Kemudian hasil dari survei tersebut juga menunjukkan karakteristik masyarakat emerging affluent yang dilihat dari gaya hidup mereka mulai dari cara berpakaian, memilih barang rumah tangga, mempersiapkan pendidikan anaknya, menjaga kesehatan, dan memilih hiburan/rekreasi. Seperti yang sudah disebutkan di bagian perilaku konsumsi, masyarakat ini lebih mementingkan fungsi barang daripada mereknya sehingga mereka cenderung lebih memilih pakaian yang polos, tidak terlalu mencolok dengan keberadaan logo brand, dan sederhana. 

Masyarakat emerging affluent sudah kenal dan terbiasa dengan digitalisasi sehingga mereka cenderung memilih barang atau perabotan rumah tangga yang berteknologi tinggi. Selain karena fitur canggih dan up to date yang ditawarkan, barang-barang high technology biasanya lebih berkualitas, tahan lama, dan tidak mudah rusak. Dalam hal pendidikan anak, masyarakat yang sudah mengenal teknologi dengan baik begitu pun dengan ilmu parenting yang dengan mudahnya diakses melalui internet, mereka berusaha menyediakan fasilitas bermain yang merangsang motorik dan melatih kecerdasan emosional anak yang masih dalam tahap tumbuh kembangnya. Selain itu, mereka juga begitu memperhatikan kesehatan fisik maupun psikis dengan memenuhi 4 sehat 5 sempurna, berolahraga, dan berekreasi atau biasa disebut dengan travelling. 

 

Lalu apa yang membedakan antara masyarakat kelas menengah dengan emerging affluent?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat emerging affluent merupakan segmen baru yang berada di antara masyarakat kaya dan kelas menengah. Dilihat dari klasifikasi pendapatannya seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini, masyarakat dengan pengeluaran rata-rata perbulan 8 juta sampai 25 juta termasuk ke dalam golongan menengah, sementara masyarakat dengan pendapatan 25 juta sampai 40 juta termasuk ke dalam golongan emerging affluent. 

Wealthy Emerging Affluent Middle
Lebih dari Rp40.000.001 Rp25.000.001 – Rp40.000.000 Rp8.000.001 – Rp25.000.000

Dengan perbedaan tersebut, apa yang membuat keberadaan masyarakat emerging affluent layak untuk dipahami lebih lanjut?

Keberadaan segmen baru ini dapat menjadi role model bagi masyarakat kelas menengah untuk menjalani kehidupan yang lebih baik sejalan dengan meningkatnya pendapatan mereka. Sulit bagi mereka untuk meniru gaya hidup masyarakat kaya dengan tingkat pendapatan yang mereka miliki. Sementara itu, kehadiran masyarakat emerging affluent dengan gaya hidup dan perilaku konsumennya yang berada dalam jangkauan masyarakat kelas menengah menjadi alternatif bagi mereka yang ingin memperbaiki taraf hidup sebagai masyarakat dengan penghasilan kelas menengah. 

 

The Opportunity of Emerging Affluent Segment Market to Drive Financial Inclusion.

Selain dilihat dari perbedaan klasifikasi tingkat pendapatan atau pengeluaran rata-rata per bulannya, masyarakat emerging affluent sudah memanfaatkan kecanggihan teknologi melalui penggunaan digital platform untuk berbelanja, menabung, berinvestasi, ataupun mengatur rencana keuangan. Berdasarkan laporan dari AFTECH AMS 2022/2023, industri teknologi finansial Asia Tenggara didominasi oleh Indonesia sebanyak 33% yang berada di posisi kedua setelah Singapura sebanyak 43% per kuartal III. Dengan masifnya pertumbuhan masyarakat emerging affluent serta masifnya digitalisasi telah mendorong penetrasi bank digital dan layanan teknologi finansial (fintech) yang kemudian memunculkan peluang juga tantangan baru bagi industri finansial baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara.

Gambar 2. Pengguna Aktif Bank Digital. Diambil dari Emerging markets leap forward in digital banking innovation and adoption. mckinsey.com

Gambar 3. Penetrasi Aplikasi Fintech dan E-Wallet. Diambil dari Emerging markets leap forward in digital banking innovation and adoption. mckinsey.com

Berdasarkan survei pada tahun 2021 yang dapat dilihat dari grafik diatas, pengguna bank digital dan aplikasi fintech serta e-wallet mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Antusiasme masyarakat terutama segmen emerging affluent pada layanan perbankan digital perlu menjadi perhatian penting bagi sistem perbankan Indonesia. Akselerasi inovasi layanan perbankan digital didorong oleh masifnya penggunaan berbagai layanan digital untuk bertransaksi termasuk perbankan dan online meeting yang marak dilakukan saat pandemi covid-19 kemarin. Hasil survei juga menunjukkan bahwa proses digitalisasi yang cepat salah satunya disebabkan oleh pandemi covid-19 yang memaksa untuk beralih dari aktivitas bertatap muka. 

Peluang ini harus dimanfaatkan oleh pelaku keuangan khususnya di bidang perbankan dengan menyediakan produk dan jasa yang sudah terdigitalisasi dan mampu menjawab permasalahan konsumen secara personal. Maka dari itu, perlunya pendekatan kepada klien tentang apa yang dibutuhkannya, mulai dari keputusan berinvestasi, bantuan perencanaan keuangan, profil risiko klien, dan preferensi terhadap layanan digital atau konvensional. 

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi 1-on-1 dengan klien merupakan hal yang sulit dilakukan dan memakan banyak waktu serta tenaga. Alih-alih begitu, pembuatan aplikasi digital dengan layanan artificial intelligence untuk membantu proses interaksi dengan klien dapat membantu menjawab permasalahan. Layanan AI dapat digunakan untuk membantu klien membuat analisis investasi berdasarkan analisis profil risiko dan kondisi keuangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan pula bahwa proses peralihan menjadi bank digital pun memerlukan banyak persiapan mulai dari adopsi teknologi, pelatihan tenaga kerja, dan operasional bank agar tidak memakan banyak biaya. 

 

Bagaimana sikap yang diambil oleh negara lain dalam menghadapi transisi digitalisasi khususnya di bidang keuangan dan perbankan? 

Pertumbuhan masyarakat emerging affluent di Malaysia telah berkontribusi secara signifikan untuk pertumbuhan GDP mereka. Di samping itu, penetrasi internet di Kuala Lumpur mencapai 79% dan tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Aizuddin Danian, Head of Digital Banking at Standard Chartered Bank, masyarakat emerging affluent merupakan orang yang ambisius, mempunyai tingkat percaya diri yang tinggi, optimis, dan mengedepankan kemudahan untuk mengakses sesuatu. Untuk bergerak menyesuaikan perkembangan masyarakat ini, layanan perbankan harus disesuaikan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan dasar mulai dari proses pembayaran, transfer, pencairan dan penerimaan cek, layanan remitansi, dan perubahan informasi pribadi. 

Kompleksnya kebutuhan masyarakat emerging affluent dalam layanan perbankan tidak hanya dapat diselesaikan oleh layanan bank digital. Mereka sadar bahwa layanan tersebut dioperasikan oleh mesin dan teknologi bukan oleh kecerdasan manusia. Danian juga berpendapat bahwa masyarakat emerging affluent membutuhkan nasihat untuk keputusan berinvestasi, kondisi portofolio, pada instrumen apa mereka harus berinvestasi, dan bagaimana performa investasinya. Standard Chartered Malaysia mampu menyediakan layanan perwalian online yang terpercaya, profil investasi, email dan peringatan tentang kondisi pasar, dan fitur pesan click2chat kepada kliennya. Danian menambahkan bahwa bank harus memanfaatkan digitalisasi sebagai peluang untuk menyediakan informasi terlebih bagi pengguna ponsel pintar. 

 

Then, let’s take a look at how wealth management is from Islamic perspective, is it aligned with emerging affluent financial behavior?

Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia mulai dari aspek ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT sampai aspek muamalah yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Salah satunya adalah terkait harta/kekayaan. Kekayaan disini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bernilai, dapat dimiliki, digunakan, dan dijaga sesuai dengan hukum Islam. Konsep dasar dari kekayaan dalam Islam mempunyai 4 komponen, yaitu kekayaan, rezeki, keberkahan, dan standar kecukupan. 

Terdapat 4 poin penting terkait kekayaan, yaitu

  1. Pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah SWT, manusia hanya menerima titipan tersebut dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
  2. Harta merupakan anugerah dari Allah SWT sehingga manusia harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
  3. Harta merupakan pilar utama untuk berdakwah. Pemanfaatan harta harus menjadi media manusia menebar kebaikan bagi orang lain.
  4. Harta digunakan untuk mencapai Falah, kesejahteraan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Kemudian rezeki (rizqi) dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang diatur oleh Allah dan tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan manusia. Rizqi merupakan sesuatu yang dapat digunakan dan diambil manfaatnya oleh manusia, terlepas dari baik dan buruk maupun halal dan haramnya. Rizqi yang diberikan harus digunakan secara bijak sesuai dengan skala prioritas yang telah diatur oleh hukum Islam agar mendapat keberkahan dari Allah SWT. Penggunaan rizqi yang baik dapat dilihat dari beberapa kriteria, yang pertama mencukupi kebutuhan dasar manusia dan keluarga, memberikan kehidupan yang nyaman dengan lingkungan yang bersih dan layak, mampu mendanai pendidikan, mendapatkan penghasilan, dan dana untuk mempersiapkan masa depan keluarga ataupun agama.

Salah satu cara untuk mengelola harta yang sesuai dengan perintah Allah dan dapat mewujudkan maslahat adalah dengan menyiapkan financial planning atau perencanaan keuangan. Dalam QS Yusuf ayat 47-49 disebutkan bahwa manusia akan dihadapkan oleh musim di mana akan sulit untuk mendapat bahan makanan, hal tersebut menunjukkan diperlukannya perencanaan yang dalam konteks ini adalah keuangan untuk menghadapi masa sulit yang tidak terduga di masa depan. 

 

قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ

Artinya, Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan” (QS. Yusuf: 47)

 

ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْنَ

Artinya, Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan (QS. Yusuf: 48)

 

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ

Artinya, Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur” (QS. Yusuf: 49).

 

Perencanaan keuangan dalam Islam mencakup tiga komponen kebutuhan yang disusun berdasarkan skala prioritas, yang pertama adalah dharuriyyat, yaitu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi, jika kebutuhan pada tingkat ini tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan. Contoh dari kebutuhan dharuriyyat adalah makan, minum, dan tempat tinggal. Selanjutnya adalah kebutuhan hajjiyyat yang perlu dipenuhi untuk memudahkan kehidupan manusia. Contohnya membeli perkakas rumah tangga. Kemudian prioritas terakhir adalah kebutuhan tahsiniyyat untuk menambah kenyamanan dan dapat dipenuhi jika telah mencukupi dua tingkatan sebelumnya. Contohnya seperti membeli air conditioner agar dapat beraktivitas dengan nyaman di rumah.   

Fungsi dari adanya perencanaan keuangan adalah untuk menghadapi keadaan tidak terduga di masa depan seperti sakit, kecelakaan, masa krisis, dll. Selain itu, perencanaan keuangan juga dibuat untuk mempersiapkan pendidikan anggota keluarga dan segala macam kebutuhannya di masa depan. Seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat emerging affluent yang mengedepankan stabilitas finansial dibandingkan kekayaan, mereka cenderung mempersiapkan perencanaan keuangan dengan baik. Mereka lebih memilih menginvestasikan dananya untuk pendidikan anak, asuransi, dan jaminan hari tua setelah pensiun nanti dibandingkan hanya disimpan melalui instrumen tabungan. A closure, someone’s sitting in the shade today because someone planted a tree a long time ago.

 

REFERENSI

Amanda, F., Possumah, B. T., & Firdaus, A. (2018). Consumerism in Personal Finance: An Islamic Wealth Management Approach, 325-340.

Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class. (2020). https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class

Barquin, S., HV, V., Buntoro, E., & Pricillia, I. (2021, September 23). Emerging markets leap forward in digital banking innovation and adoption. https://www.mckinsey.com/industries/financial-services/our-insights/emerging-markets-leap-forward-in-digital-banking-innovation-and-adoption

HAKUHODO Institute of Life & Living ASEAN. (2023). Emerging Affluent : Discovering the Invisible Class in ASEAN. www.hillasean.com

Katsuki, F., Khanna, A., Kim, D. D., Kwok, T., Suneja, S., & Thomas, R. (2023, February 2). Digital and AI-enabled wealth management: The big potential in Asia. https://www.mckinsey.com/industries/financial-services/our-insights/digital-and-ai-enabled-wealth-management-the-big-potential-in-asia

Malaysian banks race fintechs in offering digital services to the emerging affluent. (2018, September 6). Asian Banking & Finance. https://asianbankingandfinance.net/retail-banking/exclusive/malaysian-banks-race-fintechs-in-offering-digital-services-emerging-affluen

Nurasyiah, A., Syamputri, D., & Mahri, J. W. (n.d.). Islamic wealth management: ensuring the prosperity of Muslim households of MSMEs during Covid-19. https://www.emerald.com/insight/2514-9369.html