Diulas oleh: M. Ivan Adrian Verardi (Bisnis Islam 2023)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
Q.S. Al-Mujadalah: 11
Menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri merupakan impian dari hampir seluruh masyarakat di Indonesia yaitu ketika sistem pendidikan diakui sebagai tonggak penting dalam perjuangan mengatasi kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup (Srinursih dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Namun, realitas ekonomi yang kadang menghambat akses pendidikan menyiratkan bahwa impian tersebut tidak selalu mudah diwujudkan sehingga hal ini tidak hanya menjadi salah satu kendala untuk memperkuat fondasi intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan untuk kemajuan personal, tetapi juga dapat menimbulkan ketidaksetaraan sosial yang lebih luas pada suatu negara. Sejak diresmikannya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada tahun 2012, setiap kampus yang termasuk didalamnya memiliki otonomi penuh dalam mengelola anggaran rumah tangga dan keuangannya sehingga kampus-kampus tersebut dapat mengambil kebijakan tersendiri untuk kepentingan internalnya. Perguruan tinggi negeri yang dianggap sebagai jalan menuju mobilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi, seringkali terlihat jauh dari jangkauan bagi banyak keluarga, hal ini disebabkan oleh kebijakan biaya kuliah yang terus meningkat dan persaingan yang semakin ketat dalam mendapatkan beasiswa juga menambah kesulitan bagi calon mahasiswa yang kurang mampu secara finansial.
Kenaikan biaya pendidikan inilah yang kemudian menimbulkan permasalahan baru pada dunia pendidikan di Indonesia sehingga membuat beberapa mahasiswa menghadapi dilema antara menunda, membatalkan atau mengambil mekanisme pay later yang pada akhirnya dapat meningkatkan beban finansial mereka di masa mendatang mengingat akses beasiswa yang juga belum merata. Di sisi lain Islam mendorong dengan kuat umatnya untuk menuntut ilmu. Lantas, bagaimana relevansi penggunaan pay later dalam pembiayaan pendidikan melalui perspektif ekonomi islam?
Tangguh di Tunggakan, Tersungkur di Tagihan
Bagi para remaja yang terlahir sebagai generasi Z, tren pembayaran menggunakan mekanisme pay later sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang asing. Salah satu sebab dari adanya fenomena ini adalah karena maraknya platform belanja online yang juga menyediakan mekanisme pay later dalam transaksinya. Pay later adalah istilah yang mengacu pada proses pembayaran atau pertukaran jasa di mana pembayaran dilakukan pada waktu yang ditentukan di masa depan sehingga memungkinkan untuk menunda pembayaran atau mengambil pinjaman yang harus dibayar di kemudian hari (Kristianto, 2022). Sama halnya dengan pay later, student loan merupakan perjanjian di mana mahasiswa dapat meminjam uang demi membiayai kegiatan perkuliahannya namun harus membayar kembali uang tersebut setelah selesai berkuliah dan mulai bekerja (Widadio, 2024). Sebelumnya pada tahun 2018, penerapan mekanisme student loan pernah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo dengan nama Kredit Pendidikan Perguruan Tinggi, namun pengamat menilai bahwa kredit pendidikan tersebut tidak efisien dan sangat berisiko tinggi terhadap kinerja perbankan saat itu.
Berkaca pada penerapan student loan yang sudah terlaksana di beberapa negara seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat, sebagian besar dari hasil penerapan mekanisme student loan untuk perguruan tinggi dapat dikatakan tidak berhasil. Di Inggris, sekitar seperempat mahasiswa berpendapat bahwa biaya kuliah di universitas tidak sebanding dengan manfaatnya, menurut survei terbaru Ipsos, salah satu perusahaan riset global terbesar di dunia, pada Mei 2023, alasan utama dibalik pandangan ini adalah biaya yaitu sebesar 49% dan beban utang pinjaman mahasiswa sebesar 42%. Selain itu, pada tahun 2016, penelitian Aviva mengungkapkan bahwa sepertiga (37%) generasi milenial Inggris (berusia 18-35 tahun) yang berkuliah menyesali keputusan mereka karena tingkat utang yang mereka tanggung saat ini (Yanatma, 2024).
Gambar 1. Pertumbuhan upah dibandingkan dengan inflasi
Berdasarkan laman media The Guardian, nominal pinjaman mahasiswa di Australia meningkat setiap tahunnya sejalan dengan inflasi dan indeks harga konsumen, hal ini berarti jumlah yang harus dibayar juga terus bertambah besar. Terkadang, kenaikan ini membuat pinjaman bantuan melonjak, bahkan melebihi jumlah yang harus dikembalikan. Hal ini menyebabkan setiap mahasiswa yang ingin mencapai tahap lulus selalu terikat pada hutang yang selalu meningkat sehingga hutangnya seolah-olah tidak akan lunas. Fenomena yang sama terjadi di Amerika Serikat, setelah jeda lebih dari tiga tahun, pembayaran paylater mahasiswa di Amerika Serikat banyak yang berisiko terjerumus ke dalam siklus tunggakan dan gagal bayar. Lebih lanjut, survei menunjukkan bahwa perubahan dalam pendapatan dan pekerjaan seringkali menjadi pemicu utama gagal bayar. Sarah Sattelmeyer dari New America Higher Education Program menekankan bahwa peminjam yang mengalami gagal bayar sudah merasa tidak aman secara finansial, yang dapat memicu siklus pembayaran yang terlewat dan gagal bayar yang berkelanjutan (Denten & Klebs, 2023).
Gambar 2. Harga perguruan tinggi dan universitas nirlaba selama empat tahun
Inflasi yang saat ini berdampak signifikan pada biaya pendidikan tinggi mencerminkan peningkatan harga yang meratakan sebagian besar aspek kehidupan. Namun, perbedaan dalam kemampuan finansial keluarga menghasilkan ketimpangan yang nyata dalam biaya perguruan tinggi. Data menunjukkan bahwa meskipun biaya pendidikan tinggi telah meningkat secara substansial dalam beberapa dekade terakhir, kenaikan tersebut tidak merata di antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Sebelum pandemi COVID-19, biaya pendidikan tinggi di Amerika Serikat hampir tiga kali lipat dari tahun 1979-1980 hingga 2020-2021, meskipun sudah mempertimbangkan inflasi. Meskipun demikian, ada tren menggembirakan yang menunjukkan bahwa kenaikan harga telah melambat sejak tahun 2006-2007, terutama setelah mempertimbangkan bantuan keuangan yang tersedia bagi mahasiswa. Rata-rata harga bersih untuk mahasiswa yang menerima bantuan keuangan tidak naik secepat harga penuh, menunjukkan upaya lembaga untuk menjaga aksesibilitas pendidikan tinggi. Namun, pandemi COVID-19 memperkenalkan tantangan baru. Meskipun inflasi meningkat selama tahun akademik 2020-2021 dan 2021-2022, beberapa lembaga memilih untuk membekukan biaya kuliah atau menerapkan kenaikan harga yang moderat. Ini sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan publik terkait kenaikan biaya yang signifikan sebelumnya.
Meskipun demikian, pengeluaran stimulus federal yang diberikan selama pandemi telah memberikan bantuan sementara, namun ketersediaan dana tersebut telah berakhir, meninggalkan lembaga-lembaga dengan keterbatasan pendapatan dari sumber lain. Meskipun beberapa lembaga memiliki endowment besar yang melindungi mereka dalam jangka pendek, sebagian besar lembaga akan merasa tekanan untuk mengelola kenaikan biaya pendidikan dengan cara yang mempengaruhi keadilan akses terhadap pendidikan tinggi. Keputusan untuk menaikkan biaya kuliah atau memotong bantuan keuangan harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat implikasinya terhadap mobilitas sosial dan kesetaraan akses terhadap kesempatan pendidikan. Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan harga pendidikan tinggi. Fokus harus tetap pada menjaga aksesibilitas dan kesetaraan, sehingga semua kelompok masyarakat dapat mengakses pendidikan tinggi tanpa memikirkan beban finansial yang tidak terjangkau.
Inflasi: Akar Masalah Tingginya Harga Pendidikan di Indonesia?
Gambar 3. Perkembangan Inflasi Indonesia
sumber data: https://www.bi.go.id/id/statistik/indikator/data-inflasi.aspx
Sejak awal tahun 2024, inflasi di Indonesia cenderung meningkat. Tren inflasi di tahun 2024 ini berbeda dengan kondisi pada tahun 2023. Di awal tahun 2023, inflasi dimulai dengan tingkat yang relatif tinggi, tetapi berhasil dikendalikan sejak bulan Maret, meskipun bulan tersebut adalah bulan Ramadhan yang biasanya mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Berbeda dengan tahun 2023, pada tahun 2024 inflasi justru meningkat di bulan Maret, yang juga merupakan bulan Ramadhan, dari 2,75% di bulan Januari menjadi 3,05% di bulan Maret. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa inflasi di bulan Maret disebabkan oleh kenaikan harga yang tercermin dari naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau sebesar 7,43%, sedangkan kelompok lainnya tidak ada yang melebihi 4%. Komoditas yang dominan dalam inflasi tahun 2024 meliputi beras, tomat, bawang putih, cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, kopi bubuk, sigaret kretek tangan, sigaret kretek mesin, dan sigaret putih mesin. Kenaikan komoditas utama inilah yang kemudian memicu kenaikan harga bahan pangan dan non pangan lainnya, termasuk uang kuliah (Gianie, 2024).
Inflasi di Indonesia memang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya pendidikan dalam hal ini adalah kuliah, namun inflasi bukan merupakan satu-satunya penyebab. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi di sektor pendidikan mencapai 1,7% (y-on-y) pada Maret 2024, dengan kontribusi 0,01% terhadap inflasi bulanan. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh kenaikan biaya sekolah, terutama di sekolah swasta yang mencatat inflasi pendidikan sebesar 3,81% (CNBC Indonesia, 2020). Ini menunjukkan bahwa selain inflasi, ada faktor lain yang turut meningkatkan biaya pendidikan di sekolah swasta. Selain itu, kenaikan biaya pendidikan yang tinggi juga berpotensi menyebabkan inflasi karena pendidikan adalah komponen penting dalam pengeluaran rumah tangga. Ketika biaya pendidikan naik, pengeluaran rumah tangga pun meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan permintaan agregat dan mendorong inflasi lebih lanjut. Misalnya, inflasi tahunan di perguruan tinggi sebesar 2,07% pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang tinggi tidak hanya disebabkan oleh inflasi tetapi juga bisa menjadi pendorong inflasi itu sendiri. Dengan demikian, hubungan antara inflasi dan biaya pendidikan adalah siklus yang saling mempengaruhi dan memperkuat. Inflasi menyebabkan kenaikan biaya pendidikan karena institusi pendidikan harus menyesuaikan tarif untuk menutupi biaya operasional yang meningkat, peningkatan biaya pendidikan ini selanjutnya dapat meningkatkan inflasi karena peningkatan pengeluaran rumah tangga dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga menciptakan tekanan pada harga barang dan jasa lainnya.
Pada Maret 2024, kelompok pengeluaran yang memberikan andil terbesar terhadap inflasi tahun ke tahun adalah makanan, minuman, dan tembakau, dengan sumbangan sebesar 2,09% persen. Diikuti oleh penyediaan makanan dan minuman/restoran dengan 0,25%, dan perawatan pribadi serta jasa lainnya dengan 0,22%. Transportasi juga memberikan sumbangan sebesar 0,12%, disusul oleh perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang menyumbang 0,09%. Kelompok pendidikan berada di urutan keenam dengan sumbangan sebesar 0,10%. Sementara itu, kelompok kesehatan memberikan andil 0,06%, diikuti oleh pakaian dan alas kaki, serta perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga yang masing-masing menyumbang 0,055%. Rekreasi, olahraga, dan budaya menyumbang 0,035%. Diikuti kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan justru menunjukkan penurunan dengan kontribusi negatif sebesar -0,01%. Secara keseluruhan, kontribusi dari kelompok pendidikan berada di posisi keenam di antara 11 kelompok pengeluaran pada Maret 2024.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mengendalikan inflasi dan biaya pendidikan agar tidak terjadi spiral inflasi yang merugikan perekonomian. Intervensi pemerintah, seperti pemberian subsidi pendidikan, pengendalian harga, dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan, dapat membantu mengurangi dampak negatif dari siklus ini. Subsidi pendidikan dapat menurunkan biaya yang harus ditanggung oleh siswa dan orang tua, sementara pengendalian harga dapat mencegah kenaikan biaya yang tidak terkendali. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa anggaran pendidikan digunakan secara efisien untuk meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus menaikkan biaya secara signifikan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi, pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Ketika Aturan Baru Membuat Pilu
Pada awal Januari 2023, terjadi satu contoh buruknya sistem pembiayaan pendidikan, di mana seorang mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta yang tak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) harus mengambil cuti kuliah untuk mencari pekerjaan demi memenuhi kewajiban UKT. Namun, ditengah perjalanan, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Di tahun yang sama, Universitas Indonesia melalui surat keputusan rektor nomor 402/SK/R/UI/2023 mengubah kebijakan BOP berkeadilan dan BOP pilihan menjadi satu sistem pendidikan berupa uang kuliah tunggal dengan rentang 11 kelas sehingga menyebabkan setiap mahasiswa mendapat besaran UKT yang hanya didasarkan pada data yang diisi oleh calon mahasiswa angkatan 2023, tetapi faktanya hal itu tidak sejalan dengan tujuan awalnya yaitu agar biaya yang dibebankan merata sesuai dengan kemampuannya. Banyak mahasiswa angkatan 2023 yang mendapat besaran UKT sama dengan/lebih dari data yang diisi pada laman Sistem Informasi UKT Universitas Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak tanda tanya besar bagi para orang tua khususnya dari orang tua calon mahasiswa baru Universitas Indonesia angkatan 2023 yang kemudian menjadi satu topik diskusi penting hingga saat ini tentang besaran biaya pendidikan di Indonesia.
Perubahan kebijakan uang kuliah tunggal tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia, tetapi juga diikuti oleh beberapa perguruan tinggi negeri lainnya seperti yang terjadi di Universitas Jenderal Soedirman yang dinilai bahwa kenaikan biaya pendidikan tersebut tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Selain itu, Universitas Riau juga mengalami kenaikan, namun mirisnya ketika ada mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya justru dilaporkan kepada pihak berwajib oleh sang rektor. Seolah tak mau tertinggal, Universitas Brawijaya melalui situs resminya juga mengalami kenaikan UKT di semua fakultas, termasuk fakultas kedokteran yang jika dibandingkan dengan tahun 2023 meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Kasus serupa terjadi di Institut Teknologi Bandung yang juga mengalami kenaikan biaya pendidikan. Akan tetapi, ITB memberikan solusi yang “menarik” layaknya kebijakan student loan di luar negeri.
Gambar 4. Postingan x/@ITBfess yang viral karena membuka skema pinjaman
https://x.com/itbfess/status/1750173719157506484
Institut Teknologi Bandung mengeluarkan kebijakan dimana skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) tersedia dalam bentuk cicilan dengan tambahan bunga yang dapat diakses melalui platform pinjaman online Danacita. Kolaborasi antara ITB dan Danacita menjadi topik hangat di platform media sosial setelah akun @ITBfess memposting kritik terhadap skema pinjaman online tersebut di aplikasi X. Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB mengatakan bahwa kolaborasi ini memberikan keuntungan bagi masyarakat/mahasiswa yaitu dengan menyediakan kemudahan dalam pembayaran uang kuliah. Saat mahasiswa perlu membayar Badan Penyelenggaraan Pendidikan (BPP), ITB menawarkan berbagai opsi bank nasional melalui Virtual Account (VA) dan kartu kredit master/visa. Selain itu, ITB juga menawarkan sistem financial technology seperti LKBB yang membantu masyarakat/mahasiswa yang tidak dapat melakukan pembayaran tunai dengan fasilitas cicilan. Menurut informasi dari situs Danacita, setiap pinjaman untuk pembayaran dalam 12 bulan akan dikenai biaya bulanan sebesar 1,75% dari jumlah pinjaman serta biaya persetujuan sebesar 3%, sementara untuk pembayaran dalam enam bulan, biaya bulanan platform adalah 1,6% dengan biaya persetujuan yang sama, yaitu 3% (Putri, 2023). Menurut Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), skema ini bisa membuat mahasiswa terjebak dalam hutang yang sulit dilunasi, dan jika gagal membayar, bisa menghadapi intimidasi. Dari perspektif yang berbeda, pihak ITB juga dinilai memaksa mahasiswa yang tidak mampu bayar UKT dengan terancam cuti kuliah. Banyak mahasiswa yang menghadapi kesulitan dalam menentukan mata kuliah untuk semester berikutnya karena masih memiliki tunggakan dari semester sebelumnya, ada pula mahasiswa semester akhir di ITB yang memiliki tunggakan UKT mencapai puluhan juta rupiah yang saat itu terancam tak bisa menuntaskan studinya.
PTN-BH Sebagai Salah Satu Penyebab Meningkatnya Biaya Pendidikan
Selama lebih dari dua dekade, sistem pendidikan tinggi di Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Perjalanan ini dimulai sekitar 24 tahun yang lalu, ketika pemerintah mengambil langkah besar dengan mengubah beberapa perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Tujuannya adalah untuk memberikan lebih banyak kebebasan, terutama dalam hal akademik, otonomi keilmuan, dan juga otonomi dalam hal keuangan. Awalnya, langkah ini direspon positif dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Melalui peraturan ini, tujuh perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (UPI) dan Universitas Airlangga (UNAIR) secara resmi diakui sebagai BHMN. Kekayaan awal BHMN diambil dari kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah, dan disesuaikan dengan ketentuan dari Kementerian Keuangan. Namun, perjalanan menuju badan hukum ini tidaklah mulus. Pada tahun 2008, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena menuai protes dari berbagai pihak. Setelah pembatalan tersebut, pemerintah melakukan perubahan dalam pengelolaan keuangan perguruan tinggi dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010. Namun, perjalanan kebijakan ini belum berakhir.
Pada tahun 2012, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) diberlakukan, yang mengatur transformasi BHMN menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Pada tahap Ini memperkenalkan proses baru di mana kekayaan awal PTN-BH terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah. Beberapa perguruan tinggi telah melalui proses ini, tetapi beberapa lainnya masih menunggu pengesahan. Dalam konteks pengelolaan keuangan, PTN-BH dapat menerima subsidi dari APBN dan juga memperoleh dana dari masyarakat. Fleksibilitas ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan tujuan Tridharma Perguruan Tinggi. Meskipun demikian, menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menegaskan perguruan tinggi tidak selayaknya berdagang mencari untung dengan mahasiswa, Ia juga menyadari bahwa tren kenaikan UKT yang tinggi ini salah satunya disebabkan oleh status PTN-BH yang memberi perguruan tinggi kewenangan mandiri dalam kegiatan akademik dan non-akademik. Perubahan status tersebut membuat PTN-BH memiliki kekuasaan penuh dalam menetapkan kebijakan tanpa campur tangan dari pihak lain. PTN-BH seharusnya mampu meningkatkan reputasi serta kualitas, baik dari segi institusi maupun lulusan mahasiswanya. Keleluasaan yang diberikan kepada PTN-BH untuk mencari dana tambahan dari sektor swasta guna mendukung aktivitas kampus atau pembangunan infrastruktur lainnya tidak berarti PTN-BH memiliki kewenangan mutlak untuk menaikkan UKT mahasiswa secara sewenang-wenang (Nurhidayat, 2024).
Jatuh Di Lubang Yang Sama
Beberapa negara maju seperti Inggris, Australia dan Amerika sudah menerapkan mekanisme student loan dalam jangka waktu yang dapat dikatakan cukup lama. Namun, faktanya ketiga negara tersebut masih banyak mengalami kegagalan. Merujuk pada bagian sebelumnya, secara garis besar kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan biaya pendidikan menggunakan mekanisme student loan hanya berasal dari satu faktor yaitu tingginya jumlah biaya yang harus dibayarkan saat akhir masa pembayaran sehingga dalam hal ini, setiap mahasiswa harus menanggung risiko dan konsekuensi atas pelaksanaan pendidikannya. Peristiwa ini memberikan bukti bahwa student loan bukan cara untuk meringankan beban mahasiswa, melainkan hanya memindahkan waktu pembayaran biaya pendidikan dari yang sebelumnya di awal masa pembelajaran menjadi beban finansial di akhir masa pembelajaran. Utang pendidikan memiliki dampak yang besar, baik bagi individu yang meminjam maupun bagi negara secara keseluruhan. Bagi peminjam, utang pendidikan seringkali menciptakan beban keuangan dan stres finansial yang berat, tingkat bunga yang tinggi atau pembayaran bulanan yang besar dapat membuatnya sulit untuk mencapai stabilitas keuangan dan merencanakan masa depan secara finansial. Keterbatasan keuangan yang diakibatkan oleh utang pendidikan juga dapat menghambat kemampuan peminjam untuk melakukan pembelian besar lainnya atau berinvestasi untuk masa depan, seperti membeli rumah atau menabung untuk pensiun. Selain itu, peminjam mungkin merasa terjebak dalam pekerjaan tertentu hanya untuk membayar utang pendidikan, tanpa memiliki fleksibilitas untuk mengejar karir yang sesuai dengan minat atau bakat mereka.
Dampak utang pendidikan juga dirasakan oleh negara secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi dapat terhambat jika banyak individu terbebani oleh utang pendidikan karena hal ini dapat mengurangi daya beli mereka dan mempengaruhi konsumsi secara keseluruhan. Di Amerika Serikat, pertumbuhan utang pelajar telah menimbulkan kekhawatiran tidak hanya bagi pribadi yang memiliki utang namun juga perekonomian secara luas serta komunitas individu. Menurut Webber dan Burns (2020), kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan minoritas memiliki risiko yang lebih tinggi terkena dampak dari peningkatan utang pelajar. Pada tahun 2006, jumlah utang pelajar, yang merupakan pinjaman untuk mendanai pendidikan tinggi, berada pada angka sekitar $481 miliar. Namun, pada awal tahun 2019, jumlah utang tersebut telah melonjak menjadi $1,6 triliun atau lebih dari dua kali lipat dolar yang disesuaikan dengan inflasi. Meskipun jumlah utang pinjaman mahasiswa masih lebih kecil dibandingkan dengan utang kredit konsumen atau hipotek, pertumbuhannya jauh lebih cepat. Sejak tahun 2006, utang kredit konsumen tumbuh sekitar 70%, utang hipotek tumbuh 24%, sedangkan utang pinjaman mahasiswa melonjak hingga 232%. Walaupun banyak yang memilih melanjutkan pendidikan tinggi, persentase siswa sekolah menengah atas yang meneruskan ke perguruan tinggi hanya meningkat sedikit, sementara beban utang meningkat secara substansial.
Gambar 5. utang kredit konsumen tumbuh sekitar 70%
sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7814862/bin/42413_2020_107_Fig1_HTML.jpg
Peningkatan utang mahasiswa telah menimbulkan berbagai masalah yang dapat memengaruhi ekonomi AS dan individu secara keseluruhan. Pendidikan tinggi semakin dianggap sebagai kebutuhan dalam pasar tenaga kerja modern, dengan pendapatan yang lebih tinggi bagi mereka yang memiliki gelar. Namun, risiko dan kalkulus imbalan dari mengambil utang besar untuk pendidikan tinggi juga menjadi pertimbangan. Ada kekhawatiran bahwa utang yang meningkat dapat mengurangi produktivitas tenaga kerja, mengubah perilaku individu seperti menunda pembelian rumah, mobil, atau bahkan menunda pernikahan dan memiliki anak. Selain itu, terdapat risiko gagal bayar yang dapat memengaruhi sistem pembiayaan pendidikan. Meskipun sebagian besar pinjaman mahasiswa adalah federal, tingkat gagal bayar yang tinggi dapat mengganggu anggaran federal dan sistem keuangan tradisional. Potensi krisis juga dapat muncul jika pertumbuhan utang mahasiswa tidak berkelanjutan yang kemudian mengancam pembiayaan pendidikan tinggi.
Dampak utang mahasiswa juga dapat terasa pada perekonomian lokal, dengan penundaan pembelian dan perubahan perilaku konsumen. Ketidakmampuan untuk melunasi utang dapat mengurangi kekayaan bersih individu, menurunkan konsumsi dan investasi, serta menimbulkan tekanan pada perekonomian. Potensi krisis kesehatan mental yang juga meningkat memengaruhi produktivitas tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Peminjam yang terbebani oleh utang pendidikan cenderung kurang produktif dalam kegiatan ekonomi karena stres finansial dan keterbatasan keuangan yang mereka hadapi. Selain itu, utang pendidikan dapat memperkuat kesenjangan sosial karena akses terbatas bagi individu dari latar belakang ekonomi yang lebih lemah. Jika banyak peminjam tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka, ini dapat menciptakan beban fiskal bagi negara jika memang pemerintah bertanggung jawab atas penyelesaian utang tersebut. Meskipun bantuan atau penghapusan utang dapat menjadi solusi, tetapi hal ini juga berpotensi menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah dan mengurangi insentif untuk tanggung jawab keuangan individu. Oleh karena itu, manajemen utang pendidikan menjadi tantangan kompleks yang memerlukan kebijakan yang bijaksana untuk meminimalkan dampak negatifnya. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengambil langkah serius dan bijaksana dalam merumuskan kebijakan terkait dengan mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya bagi masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan.
Biaya Pendidikan Naik, Mental Health Turun
Pada hari Rabu 16 Mei 2024, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons gelombang kritik terkait uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang semakin mahal. Menurutnya, menempuh pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier sehingga dalam hal ini sifatnya adalah pilihan dan tidak wajib. Dari perspektif yang berbeda, menurut koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier dianggap keliru karena dapat merusak harapan anak-anak Indonesia untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain itu, pihaknya juga mengkritik bahwa biaya pendidikan tinggi di Indonesia yang terus mengalami kenaikan membuat akses pendidikan semakin terbatas, terutama setelah pemerintah menganggapnya sebagai kebutuhan tersier. JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan sebagai kepentingan publik, termasuk di tingkat perguruan tinggi khususnya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Selain tidak sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang diamanatkan melalui UUD 1945 alinea ke-4 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, pernyataan yang menganggap bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang wajib juga telah menyimpang dari hadits Rasulullah SAW yang artinya : “Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga liang lahat” (H.R. Bukhari, Ibn. Abd. Bar) (.(Jami’ Bayan al-ilmi wa Fadhlihi: 25).
Teori demand menyatakan bahwa jika harga naik, maka permintaan akan turun. Begitu pula dengan adanya kenaikan biaya pendidikan, akibatnya banyak siswa yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Tidak hanya secara ekonomis, kenaikan biaya pendidikan juga membawa konsekuensi yang serius dalam hal kesehatan mental. Beban finansial yang meningkat dari utang pendidikan dapat menjadi sumber stres yang signifikan bagi mahasiswa. Menurut American Psychological Association, tingkat stres yang tinggi dapat memicu berbagai gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi. Mahasiswa yang merasa terbebani oleh utang pendidikan sering kali mengalami tekanan psikologis yang lebih besar, yang berpotensi mengganggu kesejahteraan mental mereka secara keseluruhan (American Psychological Association, 2021).
Di samping itu, ada pula dampak sosial dan psikologis yang lebih luas dari kenaikan biaya pendidikan. Dengan biaya pendidikan yang tinggi, rasa tidak mampu memenuhi ekspektasi atau kegagalan dalam mencapai kesuksesan akademis dapat merusak harga diri dan motivasi mahasiswa. Dengan berhutang, nantinya mahasiswa termotivasi belajar bukan lagi untuk menjadi sebuah profesional, melainkan ingin melunasi pinjamannya seiring dengan beban harapan sosial untuk berhasil di perguruan tinggi, terutama jika mahasiswa telah mengambil utang besar untuk mencapai tujuan tersebut sehingga dampaknya bisa mencakup isolasi sosial, penurunan harga diri, dan bahkan munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup.
Pernyataan lainnya datang dari Ir. Hendri Syamsudin M.Sc., Ph.D. pada tahun 2023 yang menyebutkan bahwa kesehatan mental merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas mahasiswa. Jika kesehatan mental tidak optimal, ini akan berdampak pada kemampuan mahasiswa untuk mengembangkan diri dan mencapai prestasi yang baik. Ia menegaskan bahwa kesehatan mental mahasiswa tidaklah tetap, melainkan dapat berubah sesuai dengan situasi yang dihadapi. Ada beberapa kemungkinan yang akan dihadapi mahasiswa ketika kesehatan mental mulai menurun yakni meliputi kesulitan dalam menyesuaikan diri, kurangnya keyakinan pada diri sendiri, ketergantungan yang minim, persaingan yang ketat, dan sebagainya. Inilah yang kemudian dapat mengurangi produktivitas mahasiswa. Ironisnya, pernyataan tersebut justru datang dari Kepala Subdirektorat Kesejahteraan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang sebelumnya diketahui bahwa instansi merekalah yang berpotensi memicu menurunnya kesehatan mental mahasiswa akibat mekanisme pay later yang digunakannya dalam melakukan transaksi biaya pendidikan. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan dan pemerintah untuk tidak hanya memperhatikan biaya pendidikan itu sendiri, tetapi juga implikasi psikologis dan sosial yang mungkin timbul dari kenaikan biaya tersebut terhadap kesehatan mental mahasiswa.
Utang Untuk Pendidikan = Memaksa?
Penggunaan pay later di dunia pendidikan secara umum bukan sesuatu yang baru, akan tetapi jika dilihat dari perspektif masyarakat Indonesia, pay later dalam dunia pendidikan ini merupakan sesuatu yang belum lama hangat diperbincangkan. Islam sejatinya mendorong umatnya untuk senantiasa hidup hemat dan bersyukur sesuai dengan apa yang ada. Disisi lain, Islam melalui Q.S. At-Taubah ayat 122 juga memerintahkan umatnya untuk menuntut Ilmu. Fenomena inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan “apakah penggunaan utang untuk sesuatu yang wajib (dalam hal ini pendidikan) merupakan sesuatu yang baik?”
Pada dasarnya melakukan transaksi utang-piutang dalam Islam hukumnya diperbolehkan. Namun, dalam pelaksanaannya ada beberapa ketentuan yang harus dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 282 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Berdasarkan ayat ini dalam menjalankan transaksi utang-piutang hendaknya melaksanakan tiga ketentuan yaitu adanya bukti tertulis dalam perkara utang piutang, saksi dan saling percaya. Meskipun utang-piutang diperbolehkan, Rasulullah SAW pernah berdoa untuk berlindung kepada Allah SWT dari berbuat dosa dan terlilit utang. Menurut Rasulullah SAW, orang yang memiliki utang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering menyelisihinya (HR Bukhari Muslim). Selain itu, utang-piutang dalam islam diperbolehkan jika memang dalam keadaan terpaksa, misalnya dalam hal ini adalah terpaksa berutang untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam hal ini, artinya islam memperbolehkan umatnya untuk utang-piutang dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok. Dari sinilah kemudian timbul pertanyaan baru yaitu “Apakah pendidikan merupakan kebutuhan pokok?”
Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Insyirah ayat 6 yang artinya “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ayat ini menegaskan bahwa dalam situasi keuangan yang sulit, pasti akan datang suatu kemudahan setelahnya. Dalam Islam, ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidup didunia dan memberi kemudahan dalam mengenal Tuhan-Nya (Supriatna, 2019). Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.). Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pendidikan dianggap sebagai kewajiban yang tak terelakkan bagi umatnya. Maka, jika seseorang tidak mampu membiayai pendidikannya tanpa mengambil utang, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak, yang memungkinkan penggunaan utang. Namun, dalam mengambil utang untuk pendidikan, setiap individu harus memastikan bahwa mereka bertanggung jawab dalam mengelola utang tersebut dan tidak mengabaikan kewajiban mereka untuk melunasinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menghargai komitmen dan keadilan dalam hal finansial yang juga tercantum dalam sebuah hadits yaitu : “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah SWT akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa yang mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya”. (HR Bukhari). Namun disamping itu, perlu diperhatikan untuk mencari alternatif yang dapat mengurangi beban utang, seperti beasiswa, bantuan keuangan, atau pekerjaan paruh waktu. Dengan demikian, individu dapat meminimalkan kebutuhan akan utang dan tetap memenuhi kewajiban agama mereka untuk menuntut ilmu.
Dalam konteks saat ini, utang-piutang seringkali diidentikkan dengan adanya praktik riba. Maka dari itu, islam juga menegaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 160-161 yang artinya “Maka disebabkan kezaliman orang Yahudi, maka kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka. Dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menjadikan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Inilah yang kemudian menjadi salah satu isu paylater untuk pendidikan dari perspektif ekonomi islam. Diketahui bahwa faktanya, Danacita sebagai platform pembayaran biaya pendidikan yang bekerjasama dengan ITB menerapkan mekanisme cicilan dengan biaya tambahan (bunga) sebesar 1,75% jika menggunakan mekanisme cicilan selama 12 bulan dan 1,6% jika menggunakan mekanisme cicilan selama 6 bulan. Secara logis, mereka yang memilih skema cicilan yang lebih lama artinya mereka memang benar-benar membutuhkan kemudahan, akan tetapi dalam mekanisme ini justru mereka lah yang dikenakan biaya tambahan yang lebih besar. Sebaliknya, mereka yang memilih skema cicilan dengan waktu yang lebih sedikit justru mendapat besaran biaya tambahan yang lebih kecil.
Jika tujuan awalnya adalah untuk memudahkan mahasiswa dalam melakukan pembayaran, tentu mekanisme seperti ini bukanlah cara yang tepat. Selain karena dilarang oleh agama, mekanisme seperti ini juga dapat menambah beban finansial mahasiswa di masa yang akan datang. Ditambah lagi, adanya kebijakan ITB yang memutuskan bahwa mahasiswa yang tidak melunaskan UKT nya pada semester I 2023/2024, tidak dapat mengisi FRS semester II 2023/2024. Akibat nya, mereka yang termasuk dalam kategori ini berhak untuk mengajukan cuti akademik dan tidak dikenakan tagihan BPP serta tidak akan memengaruhi waktu tempuh studinya. Bagi mahasiswa yang tidak mengajukan cuti akademik, status kemahasiswaannya pada PD Dikti akan tercatat tidak aktif (tidak memiliki Kartu Studi Mahasiswa) sehingga masa studi tetap dihitung dan membayar 50% (lima puluh persen) BPP sesuai ketentuan. Namun, perlu diketahui bahwa sebelum adanya kebijakan ini, sebelumnya ITB juga sudah menyiapkan mekanisme lain seperti misalnya mahasiswa yang masuk dengan jalur SM-ITB bertanggung jawab penuh atas biaya pendidikan program sarjananya di ITB. ITB tidak memberikan subsidi biaya pendidikan bagi mahasiswa yang diterima melalui jalur IUP dan SM-ITB, kecuali bagi mahasiswa SM-ITB yang memiliki Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan berasal dari SMA/MA di wilayah 3T. Untuk mahasiswa dalam kategori ini, ITB membebaskan biaya pendidikannya. (Hafidz, 2024).
Solusi dan Aksi Melalui Prinsip Syar’i
Untuk mengatasi masalah biaya pendidikan yang tinggi dari perspektif ekonomi Islam, ada beberapa solusi yang dapat diterapkan. Solusi-solusi ini diharapkan dapat memastikan bahwa pendidikan tetap dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa membebani mereka dengan utang yang berlebihan. Solusi tersebut antara lain :
- Wakaf Pendidikan. Wakaf adalah salah satu instrumen ekonomi Islam yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan. Harta yang diwakafkan bisa digunakan untuk membangun fasilitas pendidikan, memberikan beasiswa, dan mendanai kebutuhan operasional perguruan tinggi. Dalam Islam, wakaf dianjurkan sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan sosial. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 261) Menurut ulama dan cendekiawan Muslim dunia yang pernah menjadi Ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, Dr. Yusuf al-Qaradawi, wakaf pendidikan dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan pendidikan dan meningkatkan kualitasnya melalui dana yang terus berkelanjutan dari hasil wakaf.
- Zakat Pendidikan. Zakat juga dapat digunakan untuk membiayai pendidikan. Zakat merupakan kewajiban bagi umat Muslim yang mampu dan dapat digunakan untuk membantu mereka yang kurang mampu, termasuk dalam bidang pendidikan. Dengan zakat, siswa dari keluarga kurang mampu bisa mendapatkan bantuan untuk biaya pendidikan. Al-Qur’an menyatakan: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60) Menurut salah satu ulama mursyid dan juga mujaddid (pembaharu) asal Mesir yaitu Prof. Dr. Ali Jum’ah, zakat dapat diarahkan untuk pendidikan sebagai salah satu bentuk “fisabilillah” (di jalan Allah), sehingga zakat bisa digunakan untuk mendanai pendidikan bagi yang membutuhkan.
- Qard Hasan (Pinjaman Tanpa Bunga). Dalam Islam, pinjaman tanpa bunga (Qard Hasan) bisa menjadi alternatif bagi pinjaman mahasiswa dengan bunga yang berat. Perguruan tinggi atau lembaga keuangan syariah bisa memberikan pinjaman pendidikan Qard Hasan kepada mahasiswa yang membutuhkan, yang nantinya dapat dikembalikan setelah mereka lulus dan bekerja tanpa tambahan bunga. Al-Qur’an menjelaskan: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245). Al – qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial di samping misi komersial (Arif, 2019) .
Dampak Jangka Panjang
Biaya pendidikan dan mutu pendidikan memiliki implikasi signifikan terhadap perkembangan ekonomi jangka panjang. Pendidikan dianggap sebagai tonggak penting untuk meningkatkan taraf hidup dan mengatasi kemiskinan, namun kendala ekonomi seringkali membatasi akses terhadap pendidikan tinggi. Penerapan mekanisme seperti pay later atau student loan dalam pembiayaan pendidikan di beberapa negara telah menunjukkan bahwa beban finansial di masa depan dapat menghambat mobilitas sosial dan meningkatkan ketidaksetaraan. Dalam konteks Islam, ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan hidup dan mengenal Tuhan. Meskipun Islam mengizinkan utang-piutang, pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan yang adil dan transparan serta sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits. Namun, utang untuk pendidikan yang menimbulkan beban finansial jangka panjang dapat bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan dalam Islam. Oleh karena itu, kebijakan biaya pendidikan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan individu dan ekonomi secara keseluruhan, dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dan kemandirian finansial yang diajarkan dalam Islam. Fenomena kenaikan biaya pendidikan di Indonesia, yang juga seiring dengan kebijakan PTN-BH yang memberikan otonomi penuh pada perguruan tinggi negeri, harus diimbangi dengan upaya pemerintah untuk menyediakan akses pendidikan yang lebih merata dan terjangkau. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk terus menuntut ilmu dan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat.
REFERENSI
Al-Quran Online Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia | Quran NU Online. Retrieved May 16, 2024, from https://quran.nu.or.id/
Amaliyah, S. (2024, Mei 17). JPPI Nilai Salah Besar Dudukkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier. www.nu.or.id. Retrieved May 19, 2024, from https://www.nu.or.id/nasional/jppi-nilai-salah-besar-dudukkan-pendidikan-tinggi-sebagai-kebutuhan-tersier-3PmHJ
ARIF, M.F. (2019, Desember). QARDH DALAM PANDANGAN ISLAM. Open Journal System STAI AN-Nadwah Kuala Tungkal. Retrieved May 15, 2024, from https://www.ejournal.an-nadwah.ac.id/index.php/Siyasah/article/download/121/94
Badan Pusat Statistik. (2024). Perkembangan Indeks Harga Konsumen Maret 2024. Badan Pusat Statistik. BRS%20INFLASI.pdf
Cassidy, C. (2023, April 26). ‘It’s perverse’: how Australia’s student loan scheme traps graduates in a debt spiral. The Guardian. Retrieved May 11, 2024, from https://www.theguardian.com/australia-news/2023/apr/26/its-perverse-how-australias-student-loan-scheme-traps-graduates-in-a-debt-spiral
CNBC Indonesia. (2020, February 8). Inflasi Pendidikan Tinggi, BPS: Ini Terjadi di Sekolah Swasta. CNBC Indonesia. Retrieved May 20, 2024, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218103353-8-124005/inflasi-pendidikan-tinggi-bps-ini-terjadi-di-sekolah-swasta
Deller, S., & Parr, J. (2021, January 19). Does Student Loan Debt Hinder Community Well-Being? NCBI. Retrieved May 12, 2024, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7814862/
Denten, B., & Klebs, S. (2023, July 13). Key Facts About Student Loan Default as Payment Pause Nears End. The Pew Charitable Trusts. Retrieved May 10, 2024, from https://www.pewtrusts.org/en/research-and-analysis/articles/2023/07/13/key-facts-about-student-loan-default-as-payment-pause-nears-end
djkn.kemenkeu. (2013, Oktober 31). Perguruan Tinggi Eks BHMN Lahir Kembali dengan Casing Baru. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Retrieved May 10, 2024, from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/3952/Perguruan-Tinggi-Eks-BHMN-Lahir-Kembali-dengan-Casing-Baru.html
Gianie. (2024, April 13). Mengendalikan Inflasi Pasca-Lebaran 2024. Kompas.id. Retrieved May 20, 2024, from https://www.kompas.id/baca/riset/2024/04/11/mengendalikan-inflasi-pasca-lebaran-2024
Hafidz, M. N. (2024, January 26). ITB Berkomitmen Berikan Akses Pendidikan Berkualitas. Institut Teknologi Bandung. Retrieved May 15, 2024, from https://itb.ac.id/berita/itb-berkomitmen-berikan-akses-pendidikan-berkualitas/60317
the indonesian institute. (2018, April 10). Jokowi Minta Bank Beri Kredit Pendidikan, Pengamat: Tidak Efisien. Retrieved May 10, 2024, from https://www.theindonesianinstitute.com/jokowi-minta-bank-beri-kredit-pendidikan-pengamat-tidak-efisien-2/
ITB tawarkan bayar kuliah pakai pinjol – Kenapa dikritik dan apa akibatnya? (2024, January 27). BBC. Retrieved May 10, 2024, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/cqedln6qr0mo
Judith J, M. P. (2023, Agustus 1). Kenaikan Biaya Pendidikan Sumbang Inflasi Juli 2023. www.kompas.id. Retrieved May 19, 2024, from https://app.komp.as/AagBQxPFMxtL2mXA8
Kristianto, W. (2022, Oktober 24). PAYLATER DENGAN SEGUDANG RESIKONYA. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Retrieved May 10, 2024, from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bandung/baca-artikel/15565/PAYLATER-DENGAN-SEGUDANG-RESIKONYA.html
Matheny, K. T., Lu, A., Bettinger, E. P., & Kienzl, G. S. (2023, February 28). Inflation affects the price of everything—including a college education | Brookings. Brookings Institution. Retrieved May 19, 2024, from https://www.brookings.edu/articles/inflation-affects-the-price-of-everything-including-a-college-education/
Nurhidayat, D. (2024, Mei 9). mediaindonesia.com. Kebijakan PTN-BH Sebabkan Kampus Sewenang-wenang Tetapkan Uang Kuliah. Retrieved May 10, 2024, from https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/669920/kebijakan-ptn-bh-sebabkan-kampus-sewenang-wenang-tetapkan-uang-kuliah
Putri, A. (2023, April 18). Biaya Kuliah ITB: Rincian dan Informasi Selengkapnya. Danacita. Retrieved May 10, 2024, from https://danacita.co.id/blog/biaya-kuliah-itb-rincian-dan-informasi-selengkapnya/#simulasi-pembiayaan-cicilan-itb-mahasiswa-baru-s1-snbp-snbt-
Rufaidah, A. (2023, Desember 19). kemahasiswaan.itb.ac.id. Memahami Lebih Dalam Alat Ukur Kesehatan Mental bagi Mahasiswa. Retrieved May 13, 2024, from https://kemahasiswaan.itb.ac.id/beranda/read/pengumuman/2168/memahami-lebih-dalam-alat-ukur-kesehatan-mental-bagi-mahasiswa
Srinursih, D., & Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Majalah Kemerdekaan Pendidikan dan Kebudayaan (5 Tahun IV ed., Vol. 35 Halaman). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://www.kemdikbud.go.id/dokumen/pdf/Majalah/MAJALAH_5.pdf
Stress in America 2023: A nation recovering from collective trauma. (2023, November). American Psychological Association. Retrieved May 12, 2024, from https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2023/collective-trauma-recovery
Supriatna, E. (2019, April 4). Jurnal Soshum Insentif. Islam dan Ilmu Pengetahuan, 2 No. 1. https://doi.org/10.36787/jsi.v2i1.106
Widadio, N. (2024, February 3). Student loan: Apa itu pinjaman pendidikan dan mungkinkah diterapkan di Indonesia? BBC. Retrieved May 10, 2024, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6pxnmn8z1eo
Yanatma, S. (2024, January 11). Student loans in Europe: Is university worth the debt? Euronews.com. Retrieved May 10, 2024, from https://www.euronews.com/business/2024/01/11/student-loans-in-europe-is-university-worth-the-debt