Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Critical Alternative School of Thought: Exploring a New Paradigm

Critical Alternative School of Thought: Exploring a New Paradigm

  • I-Book

Critical Alternative School of Thought: Exploring a New Paradigm

Oleh: Muhammad Haiqal Fauzi (IEI’22) dan Raditya Akhdan Nirwasita (IEI’22)

 

Pendahuluan

 

Sebuah perbedaan dalam metodologi yang melahirkan pemikiran dan konsep berbeda merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi di pemikiran barat atau konvensional, tetapi juga dalam agama Islam. Hal itu tercermin dari perbedaan metodologi para ulama ahli fiqih dalam menafsirkan dan menyimpulkan Al Quran dan Hadist sehingga melahirkan mazhab yang ada saat ini. Para intelektual bahkan tidak hanya berbeda pendapat, tetapi juga berdebat dan saling mengkritisi satu sama lain, seperti Ibnu Sina dan Al Biruni yang berdebat tentang astronomi, fisika, matematika, dan filsafat. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula bila terjadi perbedaan dan perdebatan dalam mazhab ekonomi Islam. Perihal perdebatan, Allah Swt telah memberikan penjelasan bagaimana sebaiknya berdebat sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nahl ayat 125

 

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. An Nahl/16:125.

 

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan agar berdebatlah dengan cara yang baik, terlepas dari kekerasan dan umpatan, agar tidak menimbulkan sifat negatif, yaitu sombong. Salah satu tafsiran dari ‘cara yang baik’ diantaranya dengan menggunakan nasihat atau perumpamaan dengan logika atau retorika halus yang disesuaikan dengan taraf lawan bicara. Kembali lagi kepada mazhab dalam ekonomi Islam, begitu juga dengan  mazhab yang dikenal dengan alternatif-kritis ini mengkritisi pemikiran kapitalisme, sosialisme, bahkan mazhab ekonomi Islam itu sendiri, yaitu Iqtishaduna dan Mainstream.

 

Timur Kuran’s Perspective: Contributions to Islamic Economics.

 

Mazhab alternatif-kritis banyak berasal dari pemikiran Timur Kuran di samping beberapa pelopor lainnya. Ia adalah seorang guru besar Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik Duke University. Mazhab yang ia bangun ini merupakan bentuk kritik terhadap mazhab sebelumnya, yaitu Iqtishaduna dan Mainstream. Bahkan juga mengkritik kapitalisme dan sosialisme. 

 

Ia menganggap bahwa Mazhab Iqtishaduna ingin meninggalkan teori lama atau konvensional dan membangun perspektif baru, sedangkan Mazhab mainstream hanya menjiplak teori neoklasik dan menghapus riba serta memasukkan zakat. Tidak sampai situ saja, sistem kapitalisme pun ikut dalam pusaran kritis mazhab alternatif-kritis. Sistem tersebut akan memecah masyarakat menjadi dua kelas, yaitu biasa disebut borjuis dan proletar. Hal itu disebabkan oleh diberikannya hak yang tidak terbatas kepada setiap individu sehingga mendorong mereka untuk memiliki alat produksi dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, ia berpandangan bahwa setiap individu boleh saja memiliki hak kebebasan sepenuhnya, tetapi tidak mutlak artinya diiringi dengan rambu-rambu syariat. Sementara itu, sosialisme justru tidak memberikan hak kebebasan sama sekali. Seluruh peralatan ekonomi dikuasai oleh negara. Jadi, dua sistem tersebut mengabaikan dimensi moral dalam kegiatan ekonominya (Savas,2010).

 

Kritik atas sistem di atas ia berikan juga alternatifnya dalam pemikirannya tentang konsep ekonomi Islam. Konsep ekonomi Islam yang ditawarkan sebenarnya sederhana, yaitu memperkenalkan norma-norma Islam, perilaku ekonomi, dan sistem redistribusi. Meskipun alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, tujuan ekonomi Islam adalah bukan untuk meningkatkan kinerja ekonomi, melainkan menghindarkan muslim terpengaruh barat karena dalam waktu belakangan ini aktivitas ekonomi berjalan menggunakan individualisme barat, bahkan praktik ekonomi Islam tidak ada yang benar-benar murni (Kuran,1995).

 

Pandangan lainnya adalah tentang model ekonomi Islam. Selama ini, Islamisasi pada kata ekonomi Islam dianggap hanya sebagai tujuan politis, yaitu sebagai identitas terhadap pengaruh budaya barat terutama dilatarbelakangi kondisi politik di India dan Pakistan pada tahun 1940-an. Menurut Kuran, ekonomi Islam bukan berasal dari ajaran Nabi Muhammad Saw, melainkan tradisi yang diciptakan di India oleh Abu Al Maududi yang bertujuan untuk meminimalisasi hubungan dengan non muslim, sebagai identitas kolektif, memperluas jangkauan Islam, dan modernisasi tanpa westernisasi. Pada awalnya Al Maududi membuat sebuah tulisan yang kemudian berkembang hingga diikuti beberapa negara untuk mengislamisasi sistemnya (Kuran, 1997).

 

Selain itu, dalam mazhab ini juga dijelaskan tentang riba dan bunga. Kuran membedakan antara riba dan bunga. Beliau menganggap riba sebagai sumber ketidakstabilan politik karena terjadi peracikan utang pinjaman bagi yang tidak mampu bayar. Sementara itu, bunga dapat dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi sebagai modal yang lebih efisien. Beliau beranggapan bahwa bunga yang dilarang adalah yang berdasarkan pemerasan dan berlebihan.

 

Tidak sampai situ saja, ia juga memiliki pandangan tentang zakat dan wakaf. Zakat bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan dan mengentaskan kemiskinan. Namun, sampai zaman modern ini telah kehilangan makna aslinya dan digantikan oleh sistem redistribusi lain karena seiring berjalannya waktu zakat atau perpajakan Islam berkembang tanpa mengacu pada aturan Al Quran,sedangkan wakaf merupakan lembaga yang berorientasi investasi untuk amal soleh.  Wakaf dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bersama dan mengatasi keluhan bersama. Sistem wakaf pada praktiknya tidak memiliki fleksibilitas untuk memanfaatkan sumber dayanya. Sistem wakaf harus bertransformasi. Namun ada masalah untuk itu, seperti dijadikan sarana untuk menghindari hukum waris dan hukum wakaf sangat membatasi orang untuk dapat mengubah penggunaan wakaf tersebut atau tidak memiliki fleksibilitas yang luas. Pada dasarnya, wakaf berguna untuk pemenuhan kebutuhan publik bahkan pemberdayaan masyarakat

 

Bring Back The Essence of Zakat

 

Sebagai salah satu rukun Islam, zakat menjadi pilar dari agama Islam. Jika salat dipahami sebagai ibadah badaniyah (ibadah yang mengutamakan penggunaan fisik), maka zakat merupakan ibadah maliyah (ibadah yang dilakukan dengan pemanfaatan harta). Zakat adalah satu-satunya ibadah yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan kehidupan masyarakat dan memenuhi kebutuhan mendesak orang miskin (Michalopoulos et al., 2016). Maka dari itu, zakat diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan dan memiliki fungsi pemerataan atau redistribusi.

 

Sebagai salah satu sistem distribusi, zakat telah ditentukan baik nishab, kadar, dan siapa saja yang berhak menerimanya (QS. At-Taubah [9]:60). Akan tetapi, zakat telah kehilangan makna seiring berkembangnya bentuk-bentuk redistribusi lainnya (Michalopoulos et al., 2016).  Semenjak tahun 660-an hingga zaman modern ini, praktik perpajakan islam/zakat berkembang tanpa mengacu pada sistem yang diatur dalam Alquran (Kuran, 2019). Untuk itu, zakat harus dikembalikan pada konteksnya. Pengaturan dan pengelolaan zakat baik itu secara sentralisasi maupun desentralisasi perlu segera dibenahi. Kuran menyatakan bahwa kesejahteraan sosial dapat tercapai melalui pembentukan dua kelembagaan reformasi yakni zakat dan larangan bunga. Sebagai implikasi dari sistem redistribusi yang lahir di Arab empat belas abad yang lalu, tarif zakat tradisional harus disesuaikan dengan memperhatikan sumber pendapatan dan bentuk kekayaan yang tidak ada atau tidak diketahui di Arab selama beberapa dekade awal Islam untuk mempertahankan progresifitasnya sebagai sistem pajak Islam. Namun, cakupan zakat dari sisi penghimpunan tidak meluas; jika ada, itu menjadi lebih sempit (Kuran, 2013).

 

Selain itu, adanya zakat juga mengharuskan pembayar pajak konvensional untuk mengeluarkan lagi hartanya untuk membayar zakat sekitar lima sampai dua puluh persen sehingga ini dapat memberatkan dalam sisi perusahaan atau produsen. Perbedaan ulama terhadap kategori dan jenis harta apa saja yang wajib zakat membuat zakat dianggap sebagai indikator pemerataan yang masih perlu diperdebatkan. Selain itu, menjaga tarif zakat dengan cakupannya yang terbatas pada beberapa komoditas akan membuatnya tidak mungkin untuk menjadikannya sebagai sumber pendapatan pajak utama, apalagi satu-satunya (Kuran, 2019).

 

Case Study: Waqf Towards Transformation

 

Wakaf merupakan salah satu instrumen yang terbukti menghasilkan dampak positif pada sosial ekonomi. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa wakaf menunjukkan berbagai peran penting dalam mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan (H Aravik et al., 2019). Di Indonesia sendiri, Melalui kisah wakaf produktif dari Habib Bugak al-Asyi kepada masyarakat Aceh yang saat itu hendak menunaikan ibadah haji, dapat diketahui bahwa banyak masyarakat Aceh yang merasakan dampak positif dari wakaf tersebut–bahkan bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji sekalipun. Sejak dulu, wakaf selalu disandingkan dengan zakat, infak, dan sedekah. Tetapi berbeda dengan ketiganya, wakaf belum mampu menyentuh esensi penting perekonomian masyarakat karena kurangnya pembahasan secara intensif dan komprehensif mengenai hal ini.

 

Wakaf merupakan lembaga dalam Islam yang berorientasi investasi pada sektor publik, dengan tujuan untuk amal sholeh. Wakaf bersifat sukarela dan meningkatkan kapasitas produktif penduduk melalui penyediaan barang publik seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan utilitas umum (Michalopoulos et al., 2016). Kuran (2012) menyebut wakaf biasanya didirikan untuk mendukung masjid,  sekolah, air mancur, rumah sakit, dapur umum, pemandian, dan penginapan serta  bantuan untuk orang miskin (Becker et al., 2020). Uniknya, wakaf bersifat kebal terhadap pajak. Aset wakaf dan pendapatan dibebaskan dari pajak. Hasil dari pertanian milik sekolah yang dikelola wakaf akan bebas pajak, begitu pula gaji guru dan layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa (Kuran, 2012). Wakaf berpotensi menggantikan zakat sebagai instrumen penyedia barang publik sehingga kebutuhan sosial dapat terpenuhi yang seharusnya dapat dipenuhi oleh zakat (Kuran, 2019).

 

Akan tetapi, terdapat konsekuensi yang tidak diinginkan pada sistem wakaf, yakni erosi legitimasi, dimana sistem wakaf tidak memiliki fleksibilitas yang diperlukan untuk pemanfaatan sumber daya yang efisien, pemerintah bahkan merasa lebih mudah untuk menyita sumber daya mereka (Kuran, 2001). Selain itu, ada dua masalah wakaf yang menjadi penghalang baginya untuk bertransformasi. Pertama, wakaf menjadi sarana yang menarik untuk menghindari hukum waris Islam. Kedua, hukum wakaf sangat membatasi sejauh mana seseorang dapat mengubah misi wakaf. Misalnya, wakaf yang didirikan untuk mendanai madrasah hanya diizinkan untuk mendanai madrasah itu untuk selamanya, bahkan jika penggunaan alternatif dana tersebut tersedia seiring berjalannya waktu. Eksistensi wakaf menjadi salah satu pemicu merosotnya peradaban Islam dan mengarah kepada kemiskinan dan keterbelakangan dalam masyarakat (Farida, 2017).

 

Kesimpulan

 

Sebagai mazhab yang muncul untuk merespon kedua mazhab sebelumnya, alternatif kritis memiliki fungsi sebagai penyeimbang atau check and balance bagi perkembangan ekonomi Islam kedepannya. Jika diperhatikan, ilmu ekonomi konvensional yang sudah lebih lama lahir dan melalui berbagai intervensi teori dari para filsuf dan ekonom modern saja masih terdapat celah-celah yang perlu dikritisi. Maka dari itu, ekonomi Islam masih perlu input konstruktif agar tercapai perekonomian yang sesuai dengan syariat dan menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Hanya saja, mazhab ini tidak menyertakan solusi yang komprehensif dan praktis terhadap apa yang dikritisi. 

 

Wallahu a’lam bis shawwab.

 

Daftar Pustaka

Abidin, Z. Mapping Pemikiran Akademisi dalam Madzhab Ekonomi Islam Kontemporer. (n.d.). Neliti. Retrieved November 3, 2023, from https://media.neliti.com/media/publications/90690-ID-mapping-pemikiran-akademisi-dalam-madzha.pdf

Aravik, H. (2021, Februari). DARI KONSEP EKONOMI ISLAM SAMPAI URGENSI PELARANGAN RIBA; SEBUAH TAWARAN EKONOMI ISLAM TIMUR KURAN. Pemikiran dan Pengembangan Perbankan Syariah, 6(Februari 2021), 216. Islamic Banking.

Khoirunn, N. Mazhab Alternatif Kritis dalam Ekonomi Islam Halaman 1. (2018, February 27). Kompasiana.com. Retrieved November 3, 2023, from https://www.kompasiana.com/nafisah10/5a956131cf01b44c1a793752/mazhab-alternatif-kritis-dalam-ekonomi-islam?page=all#section1

Kristina. Begini Cara Dakwah Menurut Surah An Nahl Ayat 125. (2022, October 12). detikcom. Retrieved Oktober 31, 2023, from https://www.detik.com/hikmah/dakwah/d-6344095/begini-cara-dakwah-menurut-surah-an-nahl-ayat-125

Ningrum, T. (2017, November 20). Mazhab Alternatif Kritis dalam Ekonomi Islam. Kompasiana. Retrieved November 3, 2023, from https://www.kompasiana.com/mincul/5a12d8c1c81c630f10428e34/madzhab-alternatif-kritis-dalam-aliran-ekonomi-islam

Rakhmadi, A. Kritik dan Debat dalam Khazanah Intelektual Islam. (2023, May 11). OIF UMSU. Retrieved Oktober 31, 2023, from https://oif.umsu.ac.id/2023/05/kritik-dan-debat-dalam-khazanah-intelektual-islam/