Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Sharia vs Non-sharia Compliant: Which Gives Much Higher Financial-based Brand Equity to the Companies Listed in the Indonesian Stock Market?

Sharia vs Non-sharia Compliant: Which Gives Much Higher Financial-based Brand Equity to the Companies Listed in the Indonesian Stock Market?

  • Inspire

Latar Belakang

Pasar modal islam adalah tempat di mana pembeli dan penjual terlibat dalam perdagangan sekuritas keuangan seperti obligasi dan saham dengan menerapkan prinsip-prinsip syariah yang bebas dari unsur-unsur atau kegiatan yang dilarang dalam Islam. Pasar modal islam memiliki masa depan yang menjanjikan karena diminati oleh investor muslim maupun investor non-muslim yang sadar secara etis. Dikarenakan adanya permintaan yang tinggi di pasar modal syariah, maka Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) diperkenalkan pada 1999 di Manama, Bahrain. Keterlibatan perusahaan dalam indeks syariah secara positif mempengaruhi permintaan perusahaan di pasar modal. Investor juga menganggap saham syariah memiliki resiko yang lebih rendah dari pesaing nya dan saham yang terdaftar di indeks syariah cenderung melampaui yang konvensional saat krisis keuangan global. 

Namun, untuk memastikan kepatuhan perusahaan yang akan melantai di pasar modal islam ada beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, kegiatan bisnis yang dijalankan harus sesuai dengan aturan Islam, sehingga perusahaan yang menjalankan bisnis di bidang penjualan dan pembuatan alkohol, perjudian, penjualan daging babi, dan bisnis ribawi seperti bank konvensional tidak bisa melantai di pasar modal Islam. Kedua, perusahaan tidak boleh dibiayai oleh instrumen utang yang bersifat ribawi dan spekulatif yang mengandung ketidakpastian (Gharar). 

Banyak perusahaan  yang bergabung di pasar modal islam karena kenaikan pada islamic index providers dan daya tarik yang tinggi untuk investor muslim di negara muslim termasuk indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia sehingga, investor mempunyai persepsi positif terhadap kepatuhan terhadap aturan – aturan syariah karena kepercayaan terhadap agama. Namun, di negara yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim seperti Amerika Serikat, investor mempunyai persepsi negatif karena pandangan negatif terhadap agama Islam. 

Brand equity adalah aset bisnis yang mencakup loyalitas terhadap suatu brand, kesadaran terhadap suatu merek, asosiasi merek dan kualitas yang dirasakan. Semakin tinggi brand equity, maka harga semakin tinggi, serta market share dan keuntungan akan semakin baik. Brand equity dapat diukur menggunakan Consumer-based brand equity (CBBE) dan Financial-based brand equity (FBBE). CBBE menekankan pada perspective pembeli terhadap suatu merek. Semakin baik persepsi pembeli terhadap suatu merek, semakin tinggi brand equity. Namun, CBBE tidak dapat menunjukan nilai moneter dari sebuah merek sehingga CBBE subjective. FBBE di sisi lain menggabungkan semua aspek brand equity dan memberikan nilai moneter karena didasarkan pada data dan laporan keuangan suatu perusahaan. Untuk hubungan antara islamic capital market dan brand equity diukur menggunakan FBBE karena hubungan ini menggabungkan aspek performa finansial jangka panjang dan pemasaran. Lebih lanjut hubungan antara islamic capital market dan brand equity dapat diukur dengan menghitung keuntungan dan mencari asosiasi antara keuntungan dan  brand name dan produk yang dijual.  

Metode Penelitian

Data dan sampel

Penelitian menggunakan data 5 tahun terakhir (2014 – 2018) perusahaan-perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Indonesia (IDX). Total 561 potensial dijadikan sampel, namun hanya 349 tercatat syariah dan 212 perusahaan tidak syariah, serta perusahaan sektor keuangan tidak termasuk sampel. 

Menggunakan perusahaan yang masuk dalam Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang disaring oleh IDX dan OJK dengan metode penyaringan bisnis dan keuangan. Perusahaan yang keluar masuk tidak dimasukkan sampel. Penelitian menggunakan data laporan keuangan perusahaan publik Indonesia dari Bloomberg dan  data pasar saham dari Datastream.

Estimasi Ekuitas Merek

Metode pengukuran menggunakan acuan teknik Simon and Sullivan (1993) yang dimodifikasi karena perbedaan karakteristik perusahaan publik AS dan Indonesia. Simon and Sullivan (1993) mengukur ekuitas merek secara tidak langsung dengan menggabungkan informasi dari perusahaan melalui laporan keuangan dan informasi dari pasar saham. Informasi pasar mewakili ekspektasi investor terhadap perusahaan.

Nilai dari perusahaan adalah kombinasi dari nilai pasar aset berwujud dan tidak berwujud perusahaan. Tobin (1969; 1978) menciptakan ukuran yang dapat memperkirakan nilai pasar dari aset tidak berwujud perusahaan. Tobin’s Q adalah rasio antara nilai pasar perusahaan terhadap biaya penggantian perusahaan. Simon dan Sullivan (1993) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki Tobin’s Q lebih dari 1 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki nilai aset tidak berwujud. Beberapa penelitian sebelumnya (Smirlock et al., 1984; Hirschey and Weygant, 1985) telah menunjukkan hubungan yang kuat antara rasio Q dan pengeluaran operasional untuk pemasaran dan penelitian dan pengembangan (R&D). Dari penelitian ini, nilai aset tidak berwujud yang dimiliki perusahaan merupakan output dari kegiatan pemasaran (advertising) dan R&D perusahaan dalam membuat produk berkualitas dan memasarkannya kepada konsumen. 

Penulisan persamaan matematis nilai pasar perusahaan: 

(1)  V*= VT + V1 

Persamaan (1) dapat diubah menjadi: V1 =V*VT

V* = nilai pasar perusahaan 

VT = nilai aset berwujud

V1 = nilai aset tidak berwujud

V* menunjukkan jumlah nilai pasar saham biasa, nilai pasar saham preferen, dan nilai pasar utang perusahaan.  VT nilai penggantian aset berwujud perusahaan, didefinisikan sebagai biaya pembelian aset saat ini dengan kemampuan produktif yang setara.

Aset tidak berwujud V1 terdiri dari tiga komponen sebagai berikut:

(2)  V1 =f ( Vb , Vnb , Vind )

Persamaan (2) menunjukkan nilai aset tidak berwujud (V1) fungsi dari nilai ekuitas merek (Vb), nilai faktor non-merek yang dapat mengurangi biaya produksi dan operasional perusahaan melalui kegiatan R&D (Vnb ), dan nilai faktor industri yang mempengaruhi struktur pasar dan tingkat persaingan di pasar (Vind).

Simon and Sullivan (1993) membagi ekuitas merek menjadi dua:

(3)  Vb =Vb1 + Vb2

Vb1 : Faktor yang meningkatkan persepsi kualitas brand akibat aktivitas iklan yang dilakukan oleh perusahaan. Iklan yang sukses akan meningkatkan harga premium produk perusahaan relatif terhadap produk pesaingnya di pasar. Secara empiris, diperkirakan dengan melihat pengaruh biaya iklan yang dikeluarkan perusahaan pada periode berjalan dan periode sebelumnya.

Vb2 : Biaya pemasaran yang berhasil dihemat perusahaan dari skala ekonomi yang telah dicapainya. Empiris yang lebih rumit mengingat banyaknya kegiatan pemasaran perusahaan yang memiliki pengaruh terhadap brand awareness.

Persamaan kombinasi merek dan non-merek yang terkait dengan pangsa pasar:

(4)  S= Sb2 + Snb

(5)  Sb2 = f(adshr)

(6)  Snb = f(patshr, rndshr)

Pemisahan pangsa pasar yang berasal dari faktor merek dan non-merek dengan analisis regresi:

(7) Si =b0+b1adshri+b2patshri+b3rndshri+ui

(8) ESb2 =b1 adshri

(9) ESnb =b1 adshri

b1 koefisien regresi, ui regresi sisa.

Penelitian menggunakan konsentrasi rasio (CR4) sebagai proksi untuk struktur pasar. Demikian model empiris nilai aset tidak berwujud perusahaan:

CR4 rasio konsentrasi empat perusahaan, adv biaya iklan perusahaan (pengeluaran sekarang dan lalu), age usia perusahaan.

Memperkirakan persamaan (10), variabel dinormalisasi dengan membagi semua variabel dependen dan independen dengan biaya penggantian perusahaan. 

Jika telah diperkirakan persamaan (10), ekuitas merek perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan struktural:

Vbi =2 advi+ 3agei + 4E (Sb2i 

Persamaan (7) hingga (11) regresi menyilang  yang diperkirakan dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS), diperkirakan untuk menguji dinamika nilai ekuitas merek. Relevan mengamati perbedaan ekuitas merek sebelum dan sesudah dimasukkan dalam indeks Syariah.

Uji Ekuitas Merek yang Berbeda Untuk Perusahaan Syariah

Menguji perbedaan menggunakan hasil estimasi ekuitas merek perusahaan baru ke indeks syariah. Jika terdapat perbedaan positif signifikan, menegaskan efek syariah memperkuat ekuitas merek profitabilitas perusahaan. 

Hasil dan Pembahasan

Jumlah perusahaan yang dijadikan sampel ada 561 dimana 349 perusahaan terdaftar di pasar modal syariah dan 212 lainnya tidak terdaftar di pasar modal syariah. Berdasarkan variabel nilai perusahaan perusahaan publik di indonesia mempunyai nilai yang sangat bervariasi sebab standard deviasi yang sangat besar. Hal ini menandakan bahwa perusahaan – perusahaan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan modal dari pasar modal seperti yang ditunjukan oleh tabel 1. Berdasarkan Tobin Q ratio variable, rata – rata rasio Q dari sample dalam studi ini adalah 1.5013 dan median 1.0895. Beberapa perusahaan memiliki rasio Q rendah yakni 0.4385 sedangkan, beberapa lainnya mempunyai rasio Q yang tinggi yakni 6.2366. Jika dibagi menjadi dua kelompok yaitu perusahaan yang menerapkan aturan syariah dan yang tidak menerapkan aturan syariah, yang menerapkan aturan syariah mempunyai rasio Q yang lebih tinggi dari pada yang tidak menerapkan aturan syariah. Table 1 juga menunjukan pengeluaran untuk periklanan rata – rata adalah 1.9% dari nilai perusahaan dan pengeluaran periklanan tertinggi adalah 49.7% dari nilai perusahaan.

Tabel 1

Berdasarkan tabel 2 pengeluaran periklanan mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap market share perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan pemasaran terbukti secara signifikan meningkatkan market share di masing – masing industri. Lebih lanjut, dilihat dari hasil perhitungan goodness of fit hasil estimasi dari setiap periode mempunyai nilai R2dan R2 yang disesuaikan yang tinggi. Hal ini menegaskan bahwa kegiatan pemasaran dan periklanan dapat membawa dampak positif terhadap penjualan dan pada akhirnya meningkatkan market share. 

Tabel 2

Berdasarkan grafik di bawah ini jika dibagi perusahaan – perusahaan sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang menerapkan aturan syariah dan yang tidak menerapkan aturan syariah brand equity rata – rata  perusahaan yang menerapkan aturan syariah lebih tinggi.

Pada tabel 3 brand equity rata – rata dari perusahaan consumer goods lebih tinggi dari brand equity rata – rata perusahaan di industri lainnya. Hal ini dikarenakan pasar consumer goods sangat besar sehingga jika sebuah perusahaan di industri ini dapat membangun reputasi yang baik maka akan mendapatkan brand equity yang tinggi. Kedua, kompetisi di industri consumer goods sangat intense sehingga perusahaan di industri ini lebih sering melaksanakan kegiatan pemasaran . Ketiga, konsumen sangat sensitif terhadap isu kehalalan consumer goods. 

Tabel 3

Dari 349 perusahaan yang dijadikan sampel untuk studi ini, 44 perusahaan tetap melantai di pasar modal islam. selama kuartal 1 2014 hingga kuartal 2 2018. Kemudian, berdasarkan tabel 4 perubahan brand equity perusahaan yang melantai di pasar modal islam sebelum dan sesudah melantai di pasar modal islam selama kuartal 1 dan 2 2016 hasil t-test tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa perubahan brand equity dapat dilihat dalam jangka panjang dan tidak dalam jangka pendek. 

 

Kesimpulan

Dalam jangka panjang (lima tahun), hasilnya menunjukkan bahwa saham yang sesuai Syariah memiliki ekuitas merek yang jauh lebih tinggi daripada yang tidak sesuai Syariah. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Jaballah et al. (2018) yang menemukan bahwa investor memiliki persepsi positif terhadap saham syariah karena produknya sesuai dengan ajaran agama Islam. 

Studi ini juga meningkatkan peran pemasaran dalam mengelola dan mengembangkan aset berbasis pasar jangka panjang perusahaan (Edeling et al., 2020) melalui pelanggan, saluran dan hubungan mitra yang meningkatkan nilai pemegang saham dan perusahaan dengan mempercepat dan meningkatkan arus kas, mengurangi volatilitas dan kerentanan arus kas, dan menumbuhkan nilai sisa arus kas, seperti yang disarankan oleh Srivastava et al. (1998).

Dalam praktiknya, bidang keuangan dan pemasaran cenderung bekerja secara independen karena mereka fokus pada tujuan dan pemangku kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, studi yang mengintegrasikan perspektif keuangan dan pemasaran memiliki tiga implikasi praktis langsung. Hasilnya: 

  1. Dapat memotivasi perusahaan untuk mencatatkan ekuitasnya di pasar saham syariah karena bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan yang terdaftar dalam indeks syariah memiliki ekuitas merek yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan yang terdaftar dalam indeks non-syariah. Namun, perlu dicatat bahwa dampaknya hanya dapat dilihat dalam jangka panjang;
  2. Menawarkan informasi berharga tentang estimasi penilaian merek berdasarkan data keuangan untuk keputusan merger, akuisisi, dan divestasi SCC. Informasi ini penting karena keputusan yang tidak menggabungkan interaksi antara metrik keuangan dan pemasaran dapat menghasilkan pengambilan keputusan yang kurang optimal; dan
  3. Menginformasikan kepada investor tentang perusahaan yang terdaftar dalam indeks Syariah dan non-Syariah berdasarkan dimensi ekuitas berbasis merek keuangan dan jenis industri.

Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian kami terbatas di Indonesia. Masa depan peneliti harus memeriksa dampak terdaftar dalam indeks yang sesuai Syariah pada ekuitas merek perusahaan di pasar saham lain yang memiliki Indeks Islam. Kedua, peneliti masa depan harus membandingkan dampak indeks Syariah pada ekuitas merek di beberapa negara mayoritas Muslim untuk memberikan bukti empiris tentang ketahanan model penelitian. Akhirnya, studi ini hanya meneliti dampak keputusan keuangan strategis perusahaan untuk terdaftar di pasar saham Islam di FBBE. Studi masa depan harus memeriksa dampak keputusan keuangan perusahaan pada CBBE.

Bibliography

Hati, S. R., Prasetyo, M. B., & Hendranastiti, N. D. (2022). Sharia vs non-sharia compliant: Which gives much higher financial-based brand equity to the companies listed in the Indonesian Stock Market? Journal of Islamic Marketing, 14(9), 2167–2187. https://doi.org/10.1108/jima-08-2021-0251