Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Luxury Fashion Consumption Among Muslim Gen Z: The Roles of Religiosity, Self-Esteem, and Materialism

Luxury Fashion Consumption Among Muslim Gen Z: The Roles of Religiosity, Self-Esteem, and Materialism

1. PENDAHULUAN

Pasar barang mewah global terus mengalami peningkatan hingga mencapai nilai USD 308 miliar pada 2019. Di Indonesia, tren ini terus berkembang dan didorong oleh meningkatnya jumlah kelas menengah, meskipun negara masih menghadapi masalah kemiskinan dan ketimpangan. Konsumsi barang mewah memang memiliki keterkaitan erat dengan conspicuous consumption, yaitu perilaku konsumsi untuk menampilkan status sosial ketimbang memenuhi kebutuhan nyata. Fenomena ini tentu kurang selaras dengan prinsip konsumsi di dalam Islam yang menolak israf (berlebihan) dan menekankan pemenuhan kebutuhan berdasarkan prioritas: daruriyyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier). Dalam konteks fenomena seperti ini, religiusitas diperkirakan memiliki peran dalam menekan perilaku konsumsi barang mewah tersebut, sementara sementara self-esteem dan materialisme justru mendorongnya. 

Penelitian ini menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA) dengan menambahkan variabel religiusitas, self-esteem, dan materialisme guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat pembelian barang mewah di kalangan Generasi Z Muslim di wilayah Jabodetabek. Fokus penelitian diarahkan ke produk fesyen sebagai sektor terbesar di dalam pasar barang mewah Indonesia dengan nilai penjualan lebih dari USD 700 juta per tahun. Generasi Z dipilih menjadi subjek penelitian karena menjadi kelompok pembeli utama di kota-kota besar di Asia, termasuk Jakarta. Meskipun demikian, Generasi Z sebenarnya memiliki keterbatasan pendapatan sekaligus menghadapi tekanan sosial dan tren untuk selalu tampil dengan memperhatikan status. 

2. LATAR BELAKANG TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

a. Perilaku Konsumsi Barang Mewah

Konsumsi barang mewah dapat dikaitkan dengan konsep conspicuous consumption, yaitu perilaku konsumsi untuk menunjukkan status sosial dan daya beli. Barang mewah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: (1) accessible super-premium, produk berkualitas tinggi namun masih terjangkau sebagian konsumen, (2) old-luxury brand extensions, merek klasik yang memperluas lini produknya ke segmen lebih luas, dan (3) masstige (mass prestige), produk premium berharga relatif terjangkau yang ditujukan untuk kelas menengah.

b. Perilaku Konsumsi dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, konsumsi dilandaskan pada etika dan moral dengan memperhatikan hierarki kebutuhan: daruriyyat (primer, pokok), hajjiyat (sekunder, penunjang), dan tahsiniyyat (tersier, pelengkap). Konsumsi harus mengedepankan maslahah (kebermanfaatan) dan keseimbangan. Pembelian barang mewah tanpa dasar kebutuhan yang jelas berpotensi termasuk dalam tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan).

c. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Variabel Tambahan

Theory of Reasoned Action (TRA) menjelaskan bahwa niat atau dorongan seseorang untuk bertindak dipengaruhi oleh dua faktor: (1) attitude toward behavior yaitu sikap positif atau negatif terhadap suatu perilaku dan (2) subjective norms yaitu tekanan sosial dari orang-orang signifikan di sekitarnya. Dalam penelitian ini, TRA diperluas dengan tiga variabel tambahan, yaitu religiusitas, self-esteem, dan materialisme. Berdasarkan kerangka tersebut, terdapat beberapa hipotesis yang diajukan:

  • H1: Religiusitas berpengaruh negatif terhadap konsumsi fesyen mewah.
  • H2: Religiusitas berpengaruh negatif terhadap sikap terhadap konsumsi fesyen mewah.
  • H3: Religiusitas berpengaruh negatif terhadap norma subjektif konsumsi fesyen mewah.
  • H4: Sikap terhadap konsumsi fesyen mewah berpengaruh positif terhadap niat beli.
  • H5: Norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat beli fesyen mewah.
  • H6: Self-esteem berpengaruh positif terhadap niat beli fesyen mewah.
  • H7: Materialisme berpengaruh positif terhadap niat beli fesyen mewah.

3. METODE PENELITIAN 

a. Pengukuran dan Model Empiris

Penelitian ini menggunakan kerangka Theory of Reasoned Action (TRA) yang diperluas dengan variabel religiusitas, self-esteem, dan materialisme. Peneliti menggunakan instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari dua bagian, yaitu data demografi dan persepsi terkait konsumsi fesyen mewah. Pertanyaan disusun berdasarkan penelitian terdahulu yang diukur dengan skala Likert 5 poin. 

b. Data dan Sampel

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif yang menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan responden dengan kriteria tertentu. Target responden adalah Muslim Generasi Z yang pernah membeli produk fesyen mewah minimal kategori masstige dalam dua tahun terakhir. Survei dilakukan pada Juni-Juli 2021 menggunakan Google Form dengan total 240 responden.

Sebelum survei utama, dilakukan pre-test pada 30 responden dengan bantuan SPSS 26 untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Beberapa item religiusitas yang tidak memenuhi syarat dihapus, sedangkan sisanya dinyatakan valid dan reliabel (nilai Cronbach’s Alpha > 0,6). Jumlah responden akhir juga telah memenuhi syarat minimal untuk analisis Structural Equation Modeling (SEM) sehingga data dapat diolah lebih lanjut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis data dilakukan dengan Structural Equation Modeling (SEM) software LISREL 8.8 terhadap 240 responden Gen Z Muslim di Jabodetabek yang pernah membeli produk fesyen mewah kategori masstige. SEM adalah teknik statistik yang menjelaskan hubungan antar variabel laten/psikologis dan menguji hubungan ketergantungan secara sekaligus. Ada dua model dalam SEM:

  1. Model pengukuran (measurement model), yaitu mengukur sejauh mana indikator (pertanyaan kuesioner/variabel teramati) dapat merefleksikan variabel laten. Pengujiannya meliputi uji validitas, reliabilitas, dan goodness of fit.
  2. Model struktural (structural model), yaitu menguji hubungan antar variabel laten serta signifikansi koefisien estimasi

Hasil yang didapatkan yaitu:

  1. Dari 27 indikator, 4 indikator dihapus (AT5, SN5, MA1, MA3). Pada variabel religiusitas, hanya indikator religiusitas praktis (RE3, RE4, RE5) yang digunakan. Indikator religiusitas spiritual dihapus karena nilai loading rendah.
  2. Umumnya SLF > 0,5 menjadi indikator bahwa data valid. Semua variabel juga reliabel dengan nilai Composite Reliability (CR) > 0,6 dan Cronbach’s Alpha > 0,6.
  3. Beberapa nilai AVE di bawah 0,5 (misalnya religiusitas, sikap, materialisme), namun tetap dapat diterima karena CR cukup tinggi.
  4. Uji goodness of fit menunjukkan model penelitian secara umum sesuai (good fit).
  5. Estimasi model struktural menemukan satu hubungan tidak signifikan, yaitu religiusitas terhadap niat membeli. Dengan demikian, dari tujuh hipotesis, enam diterima dan satu ditolak. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas tidak secara langsung mempengaruhi niat membeli produk fesyen mewah (H1 ditolak). Temuan ini berbeda dengan sebagian penelitian sebelumnya, tetapi sejalan dengan studi lain yang menemukan hasil serupa. Hal ini kemungkinan dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang manajemen keuangan Islam masih rendah (literasi syariah di Indonesia hanya 16,3%), konsumen religius membeli barang mewah karena alasan kualitas dan fungsi, bukan sekadar status, dan religiusitas tidak identik dengan anti-materialisme (ada upaya menyeimbangkan keyakinan agama dengan kebutuhan material). Meskipun tidak berpengaruh langsung pada niat beli, religiusitas berpengaruh negatif terhadap sikap (H2) dan norma subjektif (H3). Artinya, konsumen yang lebih religius cenderung memiliki sikap lebih negatif terhadap konsumsi barang mewah dan lebih sedikit dipengaruhi dorongan lingkungan sosial.

Dalam kerangka Theory of Reasoned Action (TRA), sikap terhadap perilaku (H4) dan norma subjektif (H5) terbukti berpengaruh positif terhadap niat membeli produk fesyen mewah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian lintas budaya sebelumnya yang menegaskan bahwa sikap positif terhadap konsumsi barang mewah serta tekanan sosial dari lingkungan sekitar dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk membeli. Selain itu, self-esteem (H6) juga memiliki pengaruh positif, di mana konsumen merasa bahwa membeli barang mewah memberikan kepuasan pribadi, rasa bangga, serta meningkatkan persepsi kompetensi diri. Faktor lain yang turut berpengaruh adalah materialisme (H7), yang menunjukkan bahwa Generasi Z cenderung memiliki orientasi materialistik, ingin mengikuti tren, serta sangat dipengaruhi oleh teman sebaya maupun influencer di media sosial. Secara keseluruhan, hasil ini mengindikasikan bahwa konsumen Gen Z Muslim di Indonesia tetap memiliki niat untuk membeli produk mewah meskipun memiliki tingkat religiusitas tertentu. 

5. IMPLIKASI 

Penelitian ini menunjukkan bahwa teori perilaku konsumen bisa lebih lengkap jika ada faktor religiusitas, self-esteem, dan materialisme. Hasilnya, model lebih komprehensif dan kuat dalam menjelaskan perilaku konsumsi barang mewah. Meskipun Islam melarang israf, religiusitas tidak selalu mengurangi niat membeli barang mewah bagi generasi muda. Mereka tetap beli namun dengan alasan kualitas dan fungsi. Dari sisi praktis, brand mewah juga menangkap pasar Muslim muda dengan cara menekankan kualitas produk dan nilai sebanding harga, bukan hanya gengsi. Apalagi, tren quiet luxury (elegan tanpa pamer) juga senilai dengan kesederhanaan dalam Islam. 

6. KONKLUSI

Penelitian ini menemukan bahwa religiusitas tidak berpengaruh signifikan terhadap niat membeli produk fesyen mewah pada Muslim Gen Z di Indonesia, namun memiliki pengaruh negatif terhadap sikap dan norma subjektif. Sebaliknya, sikap terhadap perilaku, norma subjektif, self-esteem, dan materialisme berpengaruh positif signifikan terhadap niat membeli. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsumen religius cenderung memandang pembelian barang mewah sebagai perilaku berlebihan, faktor psikologis dan sosial tetap menjadi pendorong utama niat beli. Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa ketidakseimbangan jumlah responden laki-laki dan perempuan, cakupan wilayah yang hanya meliputi Jabodetabek, serta belum memasukkan variabel lain seperti perceived quality dan etika konsumsi. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan memperluas wilayah kajian, menyeimbangkan komposisi responden, serta menambahkan variabel yang relevan dengan prinsip konsumsi Islam dan keberlanjutan lingkungan.