Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Imãm al-Mäwardi’s View on the Concept of Taxation (Kharaj) in al- Ahkam Sulthaniyyah

Imãm al-Mäwardi’s View on the Concept of Taxation (Kharaj) in al- Ahkam Sulthaniyyah

  • Inspire

Pajak dalam Islam: Pemikiran Imām al-Māwardī yang Tak Lekang oleh Zaman

 

Pendahuluan

Sejarah perpajakan dalam Islam dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan penerapan jizyah bagi non-Muslim yang baligh dan mampu. Pada masa Umar bin Khattab, kharaj dan jizyah menjadi sumber pendapatan penting seiring meluasnya wilayah Islam. Dinasti Abbasiyah kemudian melahirkan kajian-kajian mendalam tentang kharaj, termasuk teori muqasamah oleh Abu Yusuf dan pandangan al-Māwardī dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah yang menggabungkan norma syariah dengan kebutuhan administratif negara. Pendahuluan jurnal ini menekankan bahwa pemikiran al-Māwardī perlu dikaji kembali karena menawarkan pendekatan pragmatis dalam mengelola tanah, tarif, dan keberlanjutan pendapatan negara, sehingga relevan untuk memahami tata kelola fiskal Islam secara lebih komprehensif.

 

Literature Review

Kajian-kajian terdahulu menunjukkan bahwa pemikiran al-Māwardī mendapat perhatian luas dari berbagai perspektif. Haddad (1996) menyoroti posisi kaum dhimmah dalam negara Islam menurut al-Māwardī yang memiliki hak perlindungan sekaligus kewajiban membayar pajak, sementara Tumanian (2018) menekankan pentingnya al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah sebagai karya politik Islam komprehensif pertama. Fogel (2014) menggarisbawahi kontribusi al-Māwardī dalam merumuskan otoritas konstitusional pemerintahan, sedangkan Heck (2016) membandingkan pemikirannya dengan St. Agustinus untuk melihat pandangannya mengenai peran negara dalam menciptakan keadilan sosial.

Selain dimensi politik, penelitian Abbas (2018) menafsirkan konsep keadilan al-Māwardī sebagai pemahaman agama yang membawa perdamaian dunia, dan Zatari (2021) menekankan kontribusinya terhadap pembangunan peradaban melalui hubungan antaragama, khususnya dalam Adab al-Dunyā wa al-Dīn. Di sisi lain, Racman (2021) meneliti penerapan prinsip hukum al-Māwardī di Kesultanan Lanao, sementara Sopyan dan Syamsuddin (2021) menunjukkan bahwa kode etik hakim di Indonesia memiliki akar pada prinsip-prinsip yurisprudensi klasik Islam dalam Adab al-Qādī. Keseluruhan studi ini menegaskan relevansi pemikiran al-Māwardī, baik dalam teori politik, etika, maupun praktik hukum, serta membuka ruang bagi penelitian lebih lanjut mengenai konsep kharaj yang ia kembangkan.

Biografi

Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Habib al-Mawardi, yang lebih dikenal sebagai Imam al-Mawardi, lahir pada tahun 974 M (364 H) di Basra, Irak. Beliau adalah seorang sarjana yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk hadis, tafsir, politik (siyasah), dan fikih, menjadikannya ulama terkemuka dari mazhab Syafi’i. Ia dikenal sebagai fuqahāʾ yang menulis secara luas tentang fikih siyasah dan administrasi pemerintahan. Karya utamanya, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, dianggap sebagai manual administrasi pemerintahan, menggabungkan hukum publik, tata pemerintahan, dan praktik kenegaraan. Beliau juga berkarir sebagai hakim di beberapa wilayah dan diangkat sebagai Hakim Agung (aqda al-qudhat) pada tahun 406 H. Selain itu, al-Mawardi juga bertindak sebagai mediator antara khalifah dan menteri. Al-Mawardi wafat pada tahun 1058 H setelah melakukan perjalanan di wilayah Dinasti Abbasiyah. Selama 86 tahun hidupnya, dari 364 H hingga 450 H, beliau memainkan peran penting dalam memajukan ilmu keislaman dan tata kelola negara.

Pengertian Kharaj

Imam al-Mawardi mendefinisikan kharaj sebagai pungutan moneter yang dikenakan pada tanah, termasuk hak dan kewajiban terkait. Dalam bukunya al-Ahkam as-Sultaniyyah, ia secara spesifik menjelaskan bahwa kharaj adalah pajak atas tanah dan hasil pertanian. Dalam pandangannya, kharaj merupakan bagian dari fay’ (harta rampasan damai) dan sama pentingnya dengan ghanīmah (harta rampasan perang). Al-Mawardi menyamakan kharaj dengan ijarah (sewa tanah); namun, beliau menekankan bahwa tarif kharaj ditentukan oleh faktor-faktor seperti kualitas tanah, jenis tanaman, dan jarak dari pasar, alih-alih tetap sepenuhnya. Kharaj berlaku secara hukum untuk siapa saja, termasuk yang masuk Islam, dari kelompok yang telah membuat perjanjian damai dengan Negara Islam. 

Imam al-Mawardi menjelaskan perbedaan antara kharaj dan jizyah, di mana kharaj memiliki penjelasan yang berbeda dalam Al-Qur’an daripada jizyah. Akibatnya, penanganan masalah perpajakan diserahkan pada ijtihad (penalaran hukum) pemimpin (imam). 

Persamaan dan perbedaan kharaj dengan jizyah:

Persamaan Perbedaan
Keduanya diperoleh dari non-Muslim sebagai bentuk upeti. Ketentuan jizyah didasarkan pada teks Al-Qur’an, sedangkan kharaj didasarkan pada ijtihad pemimpin.
Keduanya dikategorikan sebagai harta fay’ dan didistribusikan kepada penerima fay’. Tarif minimum jizyah ditetapkan oleh syariat, sementara tarif maksimumnya ditentukan oleh ijtihad pemimpin. Sementara itu, tarif minimum dan maksimum kharaj sepenuhnya didasarkan pada ijtihad pemimpin.
Keduanya harus mencapai batas waktu satu tahun sebelum dapat ditarik. Jizyah dikenakan kepada non-Muslim

(musyrik) dan dihapuskan ketika mereka menjadi Muslim. Sementara itu, kharaj ditetapkan, terlepas mereka non-Muslim atau Muslim.

Klasifikasi Tanah

Imam Al-Mawardi membagi tanah yang akan dikenakan zakat (‘ushr) atau pajak tanah (kharāj) menjadi beberapa kategori:

  • Tanah yang asalnya dikelola oleh orang Muslim

Tanah jenis ini akan dikenakan zakat (‘ushr) seperti zakat hasil panen dan tidak dikenakan pajak (kharāj)

  • Tanah yang dimiliki oleh Muallaf (orang yang baru masuk Islam)

Jika pemilik tanah non-muslim memutuskan untuk masuk Islam, maka status tanahnya akan bertransformasi dari tanah kharāj menjadi tanah zakat (‘ushr)

  • Tanah yang diperoleh dari Non-Muslim melalui perang

Tanah ini akan dapat dikenai zakat ataupun kharāj sesuai dengan kebijakan pemimpin yang berwenang.

  • Tanah yang diperoleh dari Non-Muslim secara damai (tanpa perang)

Tanah jenis ini terbagi lagi menjadi dua:

    1. Jika pemilik lama meninggalkan tanahnya, tanah itu akan menjadi tanah wakaf (waqf) yang dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam dan dikenai pajak tanah (kharāj).
    2. Jika pemilik lama masih tinggal dan memegang kepemilikan akan tanahnya berdasarkan perjanjian damai, maka ia wajib membayar kharāj.

Jadi, status tanah yang akan dikenakan kewajiban zakat atau pajak ditentukan dari siapa pemiliknya dan bagaimana tanah itu diperoleh.

Kepemilikkan dan Pengeloalaan Tanah Kharaj

Tanah kharaj memiliki aturan-aturan tertentu untuk dijual atau berpindah kepemilikan dalam berbagai skenario:

  • Pemilik tanah Non-Muslim masuk Islam

Ketika pemilik tanah menjadi seorang Muslim, maka kewajiban jizyah dan kharāj atas tanahnya hilang. Pemilik tanah bisa terus memanfaatkan tanahnya (objek ‘ushr), mewakafkan tanahnya untuk maslahah umat, atau bisa menjual tanah tersebut. 

  • Pemilik tanah Non Muslim meninggalkan tanahnya ketika perang

Tanah yang ditinggalkan oleh pemilik Non Muslim saat terjadi perang akan menjadi milik komunitas Muslim. Pemimpin (Imam) akan menunjuk seseorang untuk mengelola tanah tersebut dan menyalurkan hasilnya ke baitul mal. Tanah tersebut juga bisa dijadikan objek sewa antara pengelola tanah dan baitul mal untuk kepentingan umat atau bahkan dijual.

  • Seorang Muslim membeli tanah kharāj milik seorang Non Muslim

Imam Mawardi memberi kelonggaran terkait tanah milik Non Muslim yang dibeli oleh seorang Muslim. Menurut beliau status tanah mengikuti agama pemiliknya. Ketika kepemilikan tanah berpindah kepada seorang Muslim maka status tanah kharāj hilang dan berubah menjadi tanah ‘ushr. Ulama lain seperti Yahyā ibn Adam berpendapat bahwa perbuatan seorang Muslim membeli tanah dari seorang Non Muslim dihukumi Makruh. Dalam skenario ini, terdapat 2 kewajiban sekaligus atas tanah yang di dapat, yaitu kharāj dan ‘ushr.

  • Pemilik tanah Muslim menyewakan tanahnya untuk dikelola seorang Non Muslim,

Kewajiban atas tanah seperti ini akan terbagi dua kepada pemilik tanah dan pengelola tanah. Non Muslim yang mengelola tanah wajib membayar pajak (kharāj) dan Muslim sebagai pemilik tanah wajib membayar ‘ushr atas hasil tanahnya.

  • Pemilik Non Muslim menjual tanah kharāj miliknya kepada Non Muslim

Dalam skenario ini, status tanahnya tidak berubah dan tetap dikenai kharāj.

Metode Penentuan Tarif Kharāj

Pada masa Dinasti Abbasiyah, tarif kharaj mengalami beberapa perubahan karena fluktuasi harga panen dan tingkat kesuburan tanah. Metode penetapan tarif kharāj di masa kepemimpinan Umar bin Khattab dianggap tidak lagi relevan, sehingga Abū Yūsuf memperkenalkan metode muqāsamah (metode pengambilan kharāj dengan sistem bagi hasil antara negara dan pengelola tanah) menggantikan misāhah (metode pengambilan kharāj berdasarkan luas tanah). Tujuan penetapan metode baru ini adalah untuk menciptakan keadilan antara pemilik tanah dan pejabat pajak. Metode muqāsamah kemudian dipraktikkan sejak masa Hārūn ar-Rashīd hingga al-Ma’mūn. 

Imam Mawardi menyusun metode sistematis untuk menentukan tarif kharāj dengan memperhatikan beberapa faktor:

  • Kondisi tanah

Pajak ditentukan berdasarkan kondisi dan karakteristik dari tanah:

    1. Tanah subur yang menghasilkan hasil panen berlimpah
    2. Tanah serbaguna yang bisa ditanami berbagai jenis tanaman (kualitas panen akan berpengaruh terhadap tarif pajak
    3. Tanah yang bermanfaat untuk irigasi atau sumber air minum
    4. Jarak tanah dari kota atau pasar turut diperhitungkan
  • Opsi metode pemungutan pajak

Setelah mengidentifikasi jenis tanah, pejabat pajak akan memilih metode pemungutan pajak:

    1. Menentukan berdasarkan ukuran tanah (misāhah)
    2. Menentukan berdasarkan jumlah hasil panen (muqāsamah).
    3. Menggabungkan keduanya (misāhah dan muqāsamah).
  • Dasar perhitungan waktu
    1. Tahun Hijriyah dijadikan acuan perhitungan apabila pajak ditentukan berdasarkan ukuran tanah (misāhah)
    2. Tahun Masehi dijadikan acuan perhitungan apabila pajak ditentukan berdasarkan jumlah hasil panen (muqāsamah)
    3. Umur tanaman hingga panen dan proses pengolahannya dijadikan acuan apabila pajak ditentukan dengan kombinasi misāhah dan muqāsamah
    4. Tarif pajak bersifat tetap selama hasil dan sistem irigasi tanah tidak berubah

Pembangunan di Tanah Kharaj 

Menurut Imām al-Māwardī, apabila pada tanah kharāj didirikan bangunan seperti rumah atau toko, kewajiban pajak tetap harus dibayarkan, sebab pemilik tanah tetap memperoleh manfaat dari bangunan tersebut. Di sisi lain, ulama seperti Yahya ibn Adam berpendapat bahwa ketika seseorang membangun suatu bangunan di atas tanah tanpa izin pemiliknya, ia wajib membayar pajak yang dikenakan atas tanah tersebut. Namun, ketika seseorang memperoleh izin dari pemiliknya, pajak tersebut berlaku untuk nilai bangunan tersebut. Kewajiban pajak ini berakhir ketika diizinkan untuk jangka waktu tertentu.

Analisa Perbandingan Pandangan Para Ulama terkait Kharaj

Penelitian ini juga membandingkan pemikiran Imam Al-Mawardi dengan beberapa pemikiran ulama lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa pemikiran pajak Imam Al-Mawardi memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dalam menentukan objek pajak yang disesuaikan dengan kondisi objek dan subjeknya, serta relevansi dengan konteks pajak kontemporer. 

Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pemikiran utama antara al-Māwardī dengan ulama lainnya:

  1. Persamaan
  • Imam Al-Mawardi dan ulama lainnya sepakat bahwa kharāj adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak
  • Penilaian kharāj disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah di wilayah terkait
  • Para ulama sepakat atas prinsip-prinsip umum pajak untuk bangunan di atas tanah kharāj
  • Kriteria petugas pajak mencakup adil, amanah, moderat, bebas, dan kompeten dalam hal perpajakan

2. Perbedaan

Yahya ibn Adam Imam Al-Mawardi
Klasifikasi Tanah Membagi tanah menjadi tiga:

1. Tanah yang pemiliknya masuk Islam berubah menjadi tanah ‘ushr.

2. Tanah yang dikuasai melalui perjanjian damai dikenakan pajak sesuai kesepakatan.

3. Tanah yang diperoleh melalui perang statusnya diperdebatkan

Membagi tanah menjadi empat:

1. Tanah milik Muslim berstatus ‘ushr.

2. Tanah milik Muslim yang statusnya ditentukan oleh pemilik (misalnya dijadikan wakaf atau dijual).

3. Tanah milik non-Muslim yang diperoleh melalui damai, perang, ataupun kekerasan wajib dikenakan kharāj.

4. Tanah milik non-Muslim dalam perjanjian damai tetap wajib dikenakan kharāj.

Pembelian tanah kharāj oleh Muslim Hukum membeli: makrūh. Jika tetap dilakukan, pembeli wajib membayar dua kewajiban berupa kharāj dan ‘ushr/nisf ‘ushr. Hukum membeli: boleh. Jika dibeli oleh seorang Muslim, status kharāj gugur dan tanah berubah menjadi tanah ‘ushr.
Faktor penentu harga tanah Tidak dibahas lebih lanjut karena membeli tanah kharāj dianggap makrūh. Dijelaskan secara rinci: kesuburan tanah, jenis dan jumlah tanaman, metode irigasi, serta jarak ke kota/pasar.
Metode penentuan tarif kharāj Mendukung satu metode, yaitu muqāsamah (persentase hasil panen). Memberi fleksibilitas: dapat menggunakan misāhah (luas tanah), muqāsamah (hasil panen), atau muzāra‘ah (bagi hasil) sesuai kemaslahatan.
Pembangunan di tanah kharāj Pajak tetap ditanggung pemilik tanah. Jika pemilik memberi izin membangun, kewajiban kharāj tetap melekat pada pemilik selama jangka waktu tertentu. Pajak dikenakan atas pemanfaatan tanah. Jika tanah disewakan, kharāj tetap menjadi kewajiban pemilik tanah, bukan penyewa.

Pemikiran Imam Al-Mawardi memiliki keunggulan dibandingkan ulama lain seperti Yahya ibn Adam. Pemikiran beliau didasarkan pada rasionalitas (ra’yī) dan semangat pembaruan (ijtihād). Kompleksitas peradaban dan masalah ilmiah pada masanya memperkaya dan memperdalam pemikiran beliau tentang kharāj.

Transformasi Historis Pajak dalam Islam dan Implikasi Kontemporer

Pada awalnya, kharāj merupakan sumber utama pendapatan negara dengan wilayah yang memiliki lahan pertanian yang luas. Namun, seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan negara, sistem ini berkembang menjadi dharībah (pajak umum) sebagai sumber utama keuangan negara. Yūsuf Qardhāwī menyatakan bahwa dharībah telah menggeser peran kharāj di era modern. Pergeseran ini sejalan dengan tugas negara dalam menjaga keadilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Para ulama sepakat bahwa membayar pajak merupakan suatu kewajiban apabila sudah ditetapkan oleh pemimpin (imām) yang adil, terutama saat negara menghadapi kebutuhan mendesak seperti kekosongan kas negara (baitul māl) atau meningkatnya kebutuhan pengeluaran negara. Pada era modern, kebutuhan itu meliputi pendidikan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan sosial, dan pembangunan infrastruktur.

Penerapan pajak tentu harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Prinsip Islam di dalam pemilihan pejabat negara harus berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu amanah (integritas) dan juga kifāyah (kemampuan). Dalam Islam, pejabat dipilih berdasarkan dedikasi mereka untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak masyarakat. Proses pemilihan pejabat keuangan negara mencakup hal-hal berikut:

  1. Dewan seleksi pejabat.
  2. Kebijakan seleksi pejabat.
  3. Aturan dan regulasi seleksi.
  4. Penetapan jabatan dan masa tugas.
  5. Ketentuan gaji.
  6. Pelanggaran yang dapat menyebabkan seorang pejabat diberhentikan dari jabatannya

Tak berhenti di situ, pejabat negara juga memiliki beberapa persyaratan yang mesti terpenuhi:

  1. Syarat umum: beragama (Muslim), berakal sehat, amanah, kompetem, dan independen.
  2. Syarat khusus: faqīh (paham hukum), ‘ālim (berilmu), jujur, dapat bermusyawarah, serta ahlu ra’yī (bernalar tajam).

Kesimpulan

Kharaj merupakan pajak tanah yang dibedakan dari jizyah melalui rujukan Qur’ani tersendiri dan bergantung pada ijtihād pemimpin (imām). Imām al-Māwardī sejalan dengan ulama lain dalam hal definisi, besaran, legalitas penjualan tanah kharāj, serta kriteria pejabatnya. Namun, terdapat perbedaan pandangan mengenai klasifikasi tanah, kebolehan Muslim membeli tanah kharāj, faktor harga, metode pemungutan, dan keabsahan pendirian bangunan di atasnya. Pemikiran Imam Al-Māwardī bersifat futuristik dan masih relevan dengan konteks modern, sehingga peninggalannya penting bagi pemahaman kharāj di era terkini.”