Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Do Consumers Need Halal Label? Evidence from Small and Medium Enterprises Segment in a Major Muslim Environment

Do Consumers Need Halal Label? Evidence from Small and Medium Enterprises Segment in a Major Muslim Environment

  • Inspire

Penulis: Sahat Aditua Fandhitya Silalahi (Research Centre, National Research and Innovation Agency Republic of Indonesia, Jakarta, Indonesia)

Tahun: 2024

Judul Artikel:Do Consumers Need Halal Label? Evidence from Small and Medium Enterprises Segment in a Major Muslim Environment

Jurnal: Journal of Islamic Marketing

Publisher: Emerald Publishing Limited

Scimago: Q1 (Terverifikasi di Scimago Journal & Country Rank – Journal of Islamic Marketing)

DOI: https://doi.org/10.1108/JIMA-12-2021-0401

ISSN: 1759-0833

1. PENDAHULUAN

Gaya hidup halal semakin diminati di seluruh dunia, tetapi kebutuhan label halal berbeda tergantung jumlah populasi Muslim di suatu negara. Di negara mayoritas Muslim penuh seperti Timur Tengah, label halal umumnya hanya diwajibkan untuk produk daging, sementara di negara mayoritas sederhana atau minoritas Muslim seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan negara Barat, label halal menjadi penting untuk berbagai produk. Bagi produsen, sertifikasi halal dianggap sebagai biaya tambahan yang layak jika meningkatkan pendapatan. Di Indonesia yang mayoritas Muslim, banyak konsumen menganggap produk sudah halal meskipun tanpa label resmi, sehingga keputusan membeli dipengaruhi tidak hanya oleh fakta tetapi juga persepsi.

Penelitian ini menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk mengukur pengaruh sikap (ATT), norma subjektif (SN), dan persepsi kontrol perilaku (PBC) terhadap niat beli (BI) produk halal, dengan “persepsi pentingnya label halal” (HPI) sebagai mediator. Fokus penelitian adalah UMKM di Indonesia yang sejak 2019 diwajibkan memiliki sertifikat halal sesuai UU No. 33 Tahun 2014, kebijakan yang memicu biaya tambahan namun dampaknya terhadap kinerja bisnis belum jelas. Mengingat UMKM menyumbang lebih dari 61% PDB dan menyerap lebih dari 116 juta tenaga kerja, hasil penelitian ini diharapkan memberi masukan bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan label halal yang menguntungkan UMKM sekaligus memenuhi kebutuhan konsumen.

2. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 

Kewirausahaan dalam Islam memadukan tujuan ekonomi dengan nilai agama. Wirausaha Muslim idealnya meneladani sifat Nabi Muhammad (jujur, amanah, cerdas, komunikatif) serta menjunjung etika dan spiritualitas dalam mencari peluang bisnis. Keberhasilan diukur tidak hanya dari keuntungan, tetapi juga dari kepatuhan pada ajaran agama.

Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan dipengaruhi oleh:

  1. Sikap (ATT) — pandangan positif atau negatif terhadap tindakan tersebut.
  2. Norma Subjektif (SN) — pengaruh sosial dari keluarga, teman, dan lingkungan.
  3. Persepsi Kontrol Perilaku (PBC) — keyakinan tentang kemudahan atau kesulitan melakukan tindakan tersebut.

Persepsi pentingnya label halal (Halal Label Perceived Importance / HPI) juga menjadi fokus utama. Label halal berfungsi sebagai bukti resmi, alat pemasaran emosional, dan sarana membedakan produk di pasar. Label yang kredibel memuat informasi produsen, bahan, negara asal, dan jaminan kehalalan.

Hipotesis Penelitian (H1–H10):

  • H1: Sikap positif terhadap produk halal (ATT) mendorong niat beli (BI).
  • H2: Dukungan atau tekanan sosial (SN) mendorong BI.
  • H3: Kemudahan memperoleh produk halal (PBC) mendorong BI.
  • H4: ATT yang positif meningkatkan persepsi pentingnya label halal (HPI).
  • H5: SN yang kuat meningkatkan HPI.
  • H6: PBC yang tinggi meningkatkan HPI.
  • H7: HPI yang tinggi meningkatkan BI.
  • H8: HPI memediasi hubungan ATT dan BI.
  • H9: HPI memediasi hubungan SN dan BI.
  • H10: HPI memediasi hubungan PBC dan BI.

Model penelitian menggabungkan variabel TPB (ATT, SN, PBC) dan HPI untuk menjelaskan bagaimana faktor psikologis dan sosial memengaruhi niat beli (BI) konsumen Muslim terhadap produk halal, khususnya di Indonesia.

3. DATA & METODE

a. Data

Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui survei terhadap konsumen Muslim di Kota Bogor, salah satu daerah mayoritas Muslim di Indonesia yang aktif dalam program sertifikasi halal untuk produk UMKM. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada tingginya penetrasi produk halal serta kebijakan lokal yang mendukung program “Halal City”. Data dikumpulkan dari 437 responden Muslim yang melakukan pembelian di pusat perbelanjaan UMKM makanan. Instrumen survei terdiri dari dua bagian: data demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan) dan 20 item skala Likert lima poin yang mengukur lima konstruk utama, yaitu sikap (ATT), norma subjektif (SN), kontrol perilaku persepsian (PBC), persepsi pentingnya label halal (HPI), dan niat beli (BI). Skala diadaptasi dari penelitian sebelumnya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan teknik back-translation.

b. Metode

Studi ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan metode covariance-based structural equation modeling (CB-SEM) menggunakan perangkat lunak AMOS 24. Teknik ini dipilih untuk menguji hubungan teoritis antara variabel dalam kerangka Theory of Planned Behavior (TPB) dan mengkonfirmasi peran mediasi HPI terhadap hubungan ATT, SN, dan PBC terhadap BI.

Analisis dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, dilakukan exploratory factor analysis (EFA) untuk memastikan validitas konstruk dan keandalan instrumen. Kedua, model diestimasi dengan confirmatory factor analysis (CFA) untuk menilai kesesuaian antara indikator dan konstruk. Ketiga, dilakukan pengujian struktural untuk menguji hipotesis langsung dan tidak langsung, termasuk pengaruh ATT, SN, dan PBC terhadap BI, serta peran mediasi HPI. Efek mediasi diuji menggunakan metode bootstrapping dengan 1.000 pengulangan dan interval kepercayaan 95%.

Model pengukuran dinyatakan fit dengan indikator kelayakan model seperti CFI > 0.90, TLI > 0.90, RMSEA < 0.06, dan SRMR < 0.08. Dengan demikian, analisis ini memberikan landasan empiris untuk menjelaskan mekanisme psikologis dan sosial di balik perilaku pembelian produk halal oleh konsumen Muslim, serta implikasinya bagi kebijakan pelabelan halal UMKM di Indonesia.

4. HASIL

Penelitian ini melibatkan 437 responden, yang mayoritas merupakan perempuan (51,95%), berusia antara 18–30 tahun (33,18%), berpendidikan sarjana (44,62%), dan memiliki penghasilan bulanan di bawah Rp5 juta (41,88%). Hal ini menunjukkan bahwa sampel merepresentasikan konsumen Muslim muda kelas menengah yang menjadi target utama dalam pasar produk halal UKM.

Analisis faktor eksploratori (EFA) menunjukkan bahwa seluruh item memenuhi syarat validitas konstruk dengan nilai loading factor di atas 0,5 dan nilai KMO sebesar 0,812. Uji Bartlett juga signifikan (p < 0,001), sehingga data layak untuk analisis lebih lanjut. Harman’s single-factor test menunjukkan bahwa tidak terdapat common method bias karena variansi yang dijelaskan oleh satu faktor utama hanya sebesar 29,66%, di bawah ambang 50%. Uji normalitas menunjukkan Mardia’s coefficient sebesar 1,56 (p = 0,05), berada dalam rentang normal. Selain itu, tidak ditemukan multikolinearitas karena seluruh nilai VIF < 1,5 dan nilai tolerance > 0,6 untuk semua variabel.

Model pengukuran yang diuji melalui confirmatory factor analysis (CFA) menunjukkan bahwa semua indikator memiliki factor loading di atas 0,7. Nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability (CR) seluruh konstruk juga di atas 0,7, dengan AVE lebih besar dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa setiap konstruk memiliki reliabilitas internal dan validitas konvergen yang memadai. Validitas diskriminan juga terkonfirmasi karena akar kuadrat AVE setiap konstruk lebih besar daripada korelasi antar konstruk lainnya.

Dalam model struktural, ditemukan bahwa sikap (ATT) memiliki pengaruh positif signifikan terhadap niat beli (BI) dengan koefisien β = 0,128 (p = 0,024), begitu pula perceived behavioral control (PBC) dengan β = 0,119 (p = 0,033). Sebaliknya, subjective norm (SN) tidak berpengaruh signifikan terhadap BI (β = 0,043; p = 0,543). Sementara itu, halal perception index (HPI) terbukti memediasi hubungan antara ATT dan BI (SE = 0,199; p = 0,003), serta PBC dan BI (SE = 0,220; p = 0,007), namun tidak untuk SN (p = 0,443). HPI sendiri berpengaruh positif signifikan terhadap BI (β = 0,078; p < 0,001), menunjukkan bahwa persepsi konsumen terhadap label halal mendorong intensi pembelian produk halal.

Seluruh model dinyatakan fit secara statistik dengan nilai χ²/df = 1,897, CFI = 0,954, TLI = 0,941, RMSEA = 0,058, dan SRMR = 0,048. Dengan demikian, hasil ini menegaskan bahwa dalam konteks produk halal UKM, sikap positif dan kontrol perilaku memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap intensi pembelian konsumen Muslim, sementara pengaruh norma sosial tidak terbukti signifikan.

5. DISKUSI 

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa niat membeli (BI) produk makanan berlabel halal dipengaruhi secara signifikan oleh sikap (ATT) dan persepsi kontrol perilaku (PBC), sedangkan norma subjektif (SN) tidak memberikan pengaruh yang berarti. Dominasi pengaruh ATT dan PBC ini menunjukkan bahwa keputusan konsumen Muslim di Indonesia lebih banyak digerakkan oleh keyakinan pribadi serta persepsi kemudahan memperoleh produk, bukan oleh tekanan sosial. Keyakinan religius yang memandang pembelian produk halal sebagai kewajiban menjadi dasar terbentuknya sikap positif tersebut, sebagaimana juga ditemukan oleh Bashir et al. (2019) dan Abu-Hussin et al. (2017).

Peran PBC yang kuat menandakan bahwa ketersediaan dan kemudahan akses produk halal, yang didukung oleh perkembangan distribusi dan pelabelan di Indonesia, menjadi faktor utama dalam mendorong niat beli. Hal ini sejalan dengan penjelasan Barbera dan Ajzen (2021) mengenai pentingnya kontrol personal dalam perilaku konsumsi. Sebaliknya, pengaruh SN yang lemah kemungkinan besar disebabkan oleh asumsi luas di masyarakat bahwa sebagian besar produk di pusat perbelanjaan sudah halal, sehingga memeriksa label dianggap tidak mendesak.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Halal Perception Index (HPI) hanya memediasi hubungan ATT dan PBC terhadap BI secara parsial, namun tidak memediasi hubungan SN terhadap BI. Dengan demikian, meskipun persepsi halal tetap berperan, banyak konsumen yang bersedia membeli produk meski tanpa label halal resmi karena rasa percaya terhadap pasar lokal yang didominasi Muslim. Kondisi ini mendukung pandangan Ishak et al. (2016) bahwa keputusan konsumsi halal dapat terbentuk dari persepsi subjektif, bahkan tanpa adanya sertifikasi formal.

6. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap (ATT), persepsi kontrol perilaku (PBC), serta persepsi terhadap label halal (HPI) memiliki kontribusi positif terhadap niat beli (BI) konsumen Muslim terhadap produk halal yang dihasilkan UMKM. Peran HPI terbukti signifikan sebagai variabel mediasi dalam hubungan ATT dan PBC terhadap BI, sedangkan norma subjektif (SN) tidak memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun melalui mekanisme mediasi.

Dari sisi teori, temuan ini memperluas penerapan Theory of Planned Behavior (TPB) dengan memasukkan unsur mediasi persepsi label halal dalam konteks masyarakat mayoritas Muslim. Dari sisi praktis, hasil ini memberikan sinyal bagi pelaku UMKM bahwa sertifikasi halal resmi menjadi faktor kunci dalam mendorong keputusan pembelian konsumen. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kampanye publik dan pemberian insentif bagi UMKM untuk memperoleh sertifikasi halal, sehingga dapat mempercepat perkembangan industri halal sekaligus memperkuat peran UMKM dalam perekonomian nasional.

7. BATASAN PENELITIAN DAN ARAHAN UNTUK STUDI SELANJUTNYA 

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, tidak mencakup faktor lain seperti religiositas, kesadaran, dan bauran pemasaran. Kedua, survei hanya dilakukan di satu pusat perbelanjaan di Bogor, sehingga hasilnya belum merepresentasikan wilayah mayoritas Muslim lain di Indonesia. Ketiga, fokus penelitian terbatas pada niat beli produk pangan, belum mencakup kategori lain atau perilaku pembelian aktual. Temuan juga menunjukkan bahwa konsumen Muslim Indonesia sering menganggap produk pangan UMKM halal meskipun tanpa label halal, sehingga batasan persepsi ini perlu diteliti lebih lanjut.