Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Social Interest: How It Works on Thrifting Phenomenon

Social Interest: How It Works on Thrifting Phenomenon

Oleh: Adibah Seila Nafaza (Ilmu Ekonomi Islam 2022)

 

Pendahuluan

Fenomena thrifting atau berbelanja barang bekas kian populer beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan muda-mudi. Clothes thrift menjadi representasi baru bagi pakaian bekas yang hadir dengan tampilan yang lebih bersih dan layak pakai. Ditambah dengan merek-merek impor yang melekat pada setiap pakaiannya, clothes thrift menjadi daya tarik utama bagi para penikmat merek pakaian dengan budget yang ekonomis. Popularitas thrifting utamanya mengalami lonjakan yang signifikan pada tiga tahun terakhir. Mengacu pada data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik, nilai impor pakaian bekas di Indonesia mencapai 37,42 juta dolar AS pada kuartal III tahun 2021 dan mengalami peningkatan hingga mencapai 264,78 juta dolar AS pada September tahun 2022. Ini berarti telah terjadi peningkatan nilai impor pakaian bekas sebesar lebih dari tujuh kali lipat (Badan Pusat Statistik, 2022).

Gambar 1. Nilai impor pakaian bekas di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan antara kuartal III 2021 dengan kuartal III 2022.

Berangkat dari inisiasi oleh generasi Z yang mulai melek akan isu global yaitu industri mode dan peduli lingkungan, fenomena thrifting mulai menampakkan diri ke permukaan pasar, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang lain. Thrifting pakaian menjadi wajah baru gerakan sustainable style statement. Kehadiran fenomena ini tidak luput dari segenap pro dan kontra dari berbagai pihak. Selain dianggap sebagai cara untuk menghemat uang, thrifting dipandang sebagai langkah untuk mengurangi dampak negatif dari produksi dan konsumsi barang yang berlebihan terhadap lingkungan. Seiring dengan kepopulerannya, muncul sebuah pertanyaan yang menarik tentang bagaimana Islam memandang fenomena ini dan bagaimana hukum yang melekat terhadapnya.

Pembahasan

Sebelum menjawab pertanyaan semacam itu, mari kita tinjau beberapa prinsip dasar konsumsi dalam Islam. Pertama-tama, Islam mendorong umatnya untuk hidup sederhana dan menahan diri dari perilaku konsumtif yang berlebih. Dalam Al-Quran, Allah SWT menyebutkan, 

وَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَالۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيۡرًا‏ ٢٦ اِنَّ الۡمُبَذِّرِيۡنَ كَانُوۡۤا اِخۡوَانَ الشَّيٰطِيۡنِ​ ؕ وَكَانَ الشَّيۡطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوۡرًا‏ ٢٧

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’ [17]: 26-27). 

Kedua, Islam mengajarkan umatnya untuk memperlakukan harta mereka dengan bijaksana. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah menyukai kalian yang mempergunakan harta kalian dengan cara yang baik dan bijaksana” (HR. Tirmidzi). Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ini, maka fenomena thrifting dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam konsumsi. 

Di Indonesia sendiri, kehadiran pakaian thrift rupanya kurang bernasib baik. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa aturan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang telah disebutkan secara tegas dalam Pasal 47 dan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjadi sinyal dilarangnya perdagangan pakaian impor bekas.

Pelarangan ini tentu bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa pertimbangan mudharat yang ditimbulkan oleh fenomena thrifting pakaian, di antaranya :

  • Ancaman mengandung berbagai bakteri yang dapat mengganggu kesehatan manusia.

Menurut analisis yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan pada pengujian terhadap 25 contoh pakaian bekas yang beredar di pasar seperti jaket, vest, dress, rok, hot pants, celana pendek, t-shirt, sweater, kemeja, boxer dan lain sebagainya, mengandung berbagai jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus (S. aureus), Escherichia coli (E. Coli), dan jamur kapang atau khamir. Adanya bakteri yang terdapat di dalam pakaian bekas yang beredar dapat membahayakan kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan penyakit kulit.

  • Berpotensi mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Perlambatan ekonomi nasional mendorong Pemutusan Hubungan kerja (PHK) di industri padat karya, khususnya industri tekstil.  Selain itu, arus deras barang impor ilegal dengan harga yang murah dan terkadang berkualitas rendah menjadi faktor pemicu putusnya hubungan kerja para buruh.

  • Potensi matinya industri garmen dalam negeri.

Hadirnya pakaian thrift di Indonesia yang tidak jarang melalui jalur ilegal seperti penyelundupan berhasil mengganggu aktivitas industri garmen berskala kecil dan merusak pangsa pasar domestik. Padahal, industri garmen merupakan penyumbang devisa negara terbesar ketiga di Indonesia (Kementerian Perindustrian RI, 2020).

  • Pakaian bekas impor yang bermerek merupakan produk ilegal.

Meskipun penjual mencari rezeki dengan jalan yang halal karena tidak menyembunyikan cacat atau aib yang terdapat dalam pakaian thrift impor yang bermerek, cara memperoleh pakaian bekas seperti melalui penyelundupan di pelabuhan atau bandara tidak dapat dibenarkan secara hukum. 

Tidak adil rasanya membahas kemudharatan tanpa mengupas manfaat yang diberikan karena layaknya dua sisi mata uang, terdapat sisi positif dan negatif dari praktik jual beli pakaian thrift. Ditinjau dari perspektif maslahah mursalah, sisi manfaat praktik jual beli pakaian thrift :

  1. Kemaslahatan yang timbul merupakan kemaslahatan yang bersifat hakiki. 

Sesuatu dikatakan mendatangkan maslahah ketika benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Ketika suatu kemaslahatan hanya didasarkan pada menarik manfaatnya saja tanpa membandingkannya dengan yang menarik madharat, maka kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan semu. 

Praktik jual beli pakaian thrift memiliki sejumlah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, di antaranya adalah :

  • Masyarakat menilai pakaian thrift sebagai alternatif pakaian terbaik yang dapat dipilih, utamanya bagi golongan masyarakat menengah ke bawah.Seperti yang kita ketahui, tren fesyen begitu dinamis. Cakupan style yang ditawarkan oleh lapak thrifting juga beragam, seperti gaya berpakaian dari berpuluh-puluh tahun lalu (vintage style) hingga yang modern sekalipun.
  • Pakaian thrift sebagai lahan bisnis dan lahan kesempatan kerja baru serta pendorong pergerakan roda ekonomi bagi masyarakat. 
  • Pakaian thrift sebagai wujud kepedulian kepada lingkungan dinilai mampu menekan angka fashion waste
  • Potensi keuntungan yang menggiurkan mengingat lapak thrifting tidak selalu menjajakan dagangannya dengan harga yang murah tetapi juga harga yang cukup menguras dompet karena mengimpor pakaian bermerek.
  • Pakaian thrift menjadi wadah mengasah dan menggali ilmu baru tentang dunia fesyen.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang analisis maslahah mursalah dalam fenomena thrifting, terlebih dahulu perlu dipahami definisi maslahah mursalah. Secara bahasa, maslahah mursalah terdiri dari dua term kata, yaitu maslahah dan mursalah.  Kata maslahah berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah berarti bebas atau terlepas, yaitu terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan. Kombinasi keduanya menghasilkan padanan kata maslahah mursalah yang artinya prinsip kemaslahatan yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam, merujuk pada suatu perbuatan yang mengandung nilai maslahat atau bermanfaat dan menolak atau mencegah mafsadat         ( جلب المصالح ودرء المفاسد ).

Untuk mencapai maslahah mursalah, kemanfaatan yang timbul harus diselaraskan dengan kemadharatan dari hal yang sama agar suatu kemaslahatan tidak dikatakan sebagai maslahah semu. Di antara madharat yang ditimbulkan adalah ancaman terdeteksinya penyakit yang terkandung di dalam pakaian bekas. Ketika diamati lebih teliti, ada celah untuk melakukan tindakan preventif atas kasus tersebut, yaitu dengan merendam pakaian dengan air panas selama 10 menit, diangkat sebentar, lalu prosesnya diulangi sebanyak tiga kali . Hal ini dapat menurunkan bakteri yang terkandung dalam pakaian hingga tingkat 89,4%. Langkah ini akan lebih efektif apabila air panas tersebut ditambah dengan cairan jeruk nipis dengan kadar 10%. Kombinasi ini menghilangkan bakteri bahkan hingga tingkat 100% (Nainggolan, R. C., dkk., 2015). Selain itu, bagi pengonsumsi pakaian thrift bermerek impor juga bisa menggunakan air panas yang dicampur dengan Sitrun atau Vanish dan dicuci sebanyak tiga  kali untuk menghilangkan bakteri dan menjaga warna agar tidak luntur.

Dengan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat dikatakan bahwasanya praktik jual beli pakaian thrift memiliki tingkat maslahah yang lebih tinggi dibanding mudharat yang ditimbulkan. Hal ini sesuai dengan kaidah: 

 

 

Ketika dalam waktu yang bersamaan kita dihadapkan pada pilihan antara menolak kemadharatan atau meraih kemanfaatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Ini adalah hal yang logis karena menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemanfaatan yang akan datang. Meminimalisasi bakteri yang terkandung di pakaian thrift bermerek impor, maka didapat pula kebersihan atas pakaian tersebut. Alur berpikir seperti ini akan bermuara pada tercapainya maslahah yang hakiki, di mana pakaian thrift bisa dimanfaatkan dan diperjualbelikan oleh masyarakat luas.

        2. Suatu maslahah hendaknya bersifat universal bukan individual.

Sesuatu yang dianggap membawa maslahah harus bersifat universal (didasarkan pada kepentingan umum), bukan individual (berdasarkan kepentingan pribadi) semata. Artinya, kemaslahatan yang terjadi dalam masyarakat memang wajib dirasakan oleh mayoritas masyarakat dan kemaslahatan tidak boleh ditetapkan hanya bagi seseorang atau golongan tertentu saja. Pada praktik jual beli pakaian thrift, keuniversalannya terletak pada berbagai dampak positif yang dapat dirasakan masyarakat umum seperti yang sebelumnya telah dipaparkan.

        3. Tidak ada nash maupun dalil yang menolak kemaslahatan tersebut.

Pembentukan maslahah harus selaras dengan prinsip yang ditetapkan oleh hukum islam (Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas). Praktik jual beli pakaian thrift akan tetap sah sepanjang kegiatannya tidak melanggar dan bertentangan dengan hukum syara’ serta didasari atas keridhaan antara pihak penjual dan pembeli. Objek yang diperdagangkan, yaitu pakaian bekas juga bukan merupakan barang yang dilarang. Hal ini mengacu pada memang pada hukum dasar aktivitas jual beli yaitu mubah (boleh). 

 

 

Sesuai dengan analisis di atas, praktik jual beli pakaian thrift dapat dikatakan telah sesuai dengan ketentuan penetapan hukum berdasarkan maslahah mursalah. Hal ini divalidasi dengan terpenuhinya semua syarat kemaslahatan yang menjadi dasar atas penetapan maslahah mursalah. Tidak hanya penjual dan pembeli saja, dampak positif dari adanya pakaian thrift juga dapat dirasakan oleh pihak-pihak lain yang turut serta dalam proses distribusi pakaian bekas. Meskipun di lain sisi pakaian thrift membawa dampak negatif tersendiri, hal tersebut dapat diatasi dengan keterbukaan informasi pelaku bisnis dengan konsumen. 

 

Penutup dan Kesimpulan

Maraknya fenomena thrifting di Indonesia disertai dengan berbagai sistem jual beli, baik menjual satuan, borongan, bongkar target, paket usaha hingga ball (karung besar). Ketentuan terkait importasi pakaian bekas (thrift) bermerek impor terlarang secara hukum positif tertuang dalam pasal 47 Undang-undang No. 7 Tahun 2014 dan Pasal 2 Permendag Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Setiap importir yang melanggar akan dikenai sanksi pidana 5 tahun penjara dan denda maksimal 5 milyar rupiah sesuai dengan  pasal 111 UU No. 7 Tahun 2014. Pelarangan ini muncul atas dasar kekhawatiran bahwa pakaian bekas (thrift) masuk melalui jalur ilegal dan tanpa melewati pengawasan pihak berwajib serta bebas dari tanggung jawab pajak barang impornya. Ketika penjual mendapatkan barangnya secara legal dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, kegiatan usahanya diperbolehkan. Sedangkan berdasarkan kacamata maslahah mursalah, praktik jual beli pakaian thrift dinilai sah karena telah memenuhi persyaratan penetapan hukum yang ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan menganalisis ketiga syarat yaitu kemaslahatan yang ditimbulkan dari pakaian thrift termasuk kemaslahatan yang sifatnya hakiki, kemadharatan yang ada dapat diminimalisasi, serta tidak adanya dalil atau nash yang menolak kehadirannya sebab syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syari’at Islam telah terpenuhi dalam jual beli serta dikuatkan kembali dengan kaidah-kaidah fiqh yang sesuai dengan konteks. Yang perlu diingat adalah meskipun secara syariat hukum thrifting adalah mubah, ketika negara secara hukum melakukan pelarangan atau pembatasan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, hal tersebut dilakukan dengan melihat fenomena ini dari kacamata manfaat dan mudharat yang dirasakan oleh negara jadi perlu kiranya untuk tetap diperhatikan. 

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

 

Referensi:

Aviecin, A. R. (2021). Tinjauan hukum positif dan maslahah mursalahatas praktik jual beli pakaian bekas (thrift) bermerek impor di Kota Malang [Undergraduate Paper, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim]. http://etheses.uin- malang.ac.id/29847/

Chandradewi, R., Rahadjo, M., dan Yitawati, K. (2018). “Analisa Yuridis tentang Perdagangan Pakaian Bekas Impor Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Ilmiah Hukum, 4(1): 68.

Evelina, L. W., & Wibisono, M. R. S. (2021). Trend Milenial Menggunakan Second Branded Fashion Street Wear Sebagai Identitas Diri. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Bisnis, 6(2), 237–255. https://doi.org/10.36914/jikb.v6i2.519

Febyolanda, D. (2021). Analisis Hukum Islam dan Fatwa Dsn Mui No: 110/DSN- MUI/IX/2017 terhadap praktik jual beli pakaian bekas impor di Toko Yds_Secondstore Yogyakarta [Undergraduate Paper, UIN Sunan Ampel Surabaya]. https://doi.org/10/DSN-MUI/IX/2017

Khallaf, Abdul Wahab. (2002). Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Menteri Perdagangan. (2015). Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tahun 2015             tentang     Larangan     Impor     Pakaian      Bekas     [JDIH     BPK     RI]. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/128974/permendag-no-51m- dagper72015-tahun-2015