Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Shifting Paradigm: Kenapa Kita Ingin Cepat Kaya?

Shifting Paradigm: Kenapa Kita Ingin Cepat Kaya?

  • I-Share

Oleh: Sa’adah Laesaniah (Ilmu Ekonomi Islam 2021)

Terdapat sebuah ungkapan “money can’t buy happines” susunan kata tersebut memiliki makna bahwa tidak semua hal dapat dibeli dengan uang. Uang memang berperan sangat penting dalam kehidupan. Hal tersebut erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak pernah habis. Pemenuhan kebutuhan yang diinginkan oleh seseorang akan melahirkan kepuasan. Jika seseorang mengonsumsi barang kebutuhan yang halal dan tidak berlebihan namun dari hatinya mereka merasa cukup akan kepuasan yang didapatkan bukan dari barang yang dikonsumsi, maka orang tersebut memiliki sifat qana’ah

Qana’ah berarti merasa cukup. Seorang manusia yang memiliki sifat qana’ah hidupnya selalu dipenuhi rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. Ia akan selalu merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki sehingga terhindar dari rasa iri dan dengki. Namun, qana’ah bukan berarti hanya pasrah yang menimbulkan malas pikiran dan melemahkan hati. Sifat tersebut justru menjadi modal yang dapat berimplikasi pada kesungguhan hidup seseorang dalam mencari rezeki. 

Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam konsep kepemilikan harta. Paradigma merupakan perspektif seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Terminologi paradigma berkaitan erat dengan cara pandang seseorang terhadap sesuatu sesuai dengan asumsi dan keyakinan yang dianggapnya benar yang dapat mempengaruhi praktik yang diterapkan. Orang berlomba-lomba ingin cepat kaya dan tidak pernah puas akan apa yang telah dicapai. Perilaku tersebut sangat kontradiktif dengan sifat qana’ah yang seharusnya diterapkan oleh manusia. Sedangkan, pada zaman Rasulullah, orang-orang muslim yang kaya tidak ingin terlihat kaya bahkan ada yang berusaha memiskinkan diri. Terdapat satu kisah menarik dari Abdurrahman bin Auf. Beliau merupakan salah seorang sahabat Rasulullah yang kaya raya dan gemar bersedekah. 

Abdurrahman bin Auf sering menangis karena merasa khawatir akan seluruh kekayaan yang dimilikinya. “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya, sehingga dihisabnya paling lama” mendengar hal tersebut ia berpikir dan berusaha untuk menjadi miskin sehingga tidak memiliki harta sepeserpun agar dapat memasuki surga lebih awal. Ia menyedekahkan hartanya sebanyak 40.000 dinar yang diperoleh dari hasil perdagangan. 

Suatu hari ia juga bertanya kepada seorang Kaum Anshar bernama Sa’ad tentang letak pasar di Madinah. Setelah menemukan pasar tersebut, ternyata harga sewa pasar di Madinah sangat mahal, banyak orang-orang yang ingin berdagang namun tidak ada modal besar untuk menyewa tempat. Dengan peluang dan inisiatifnya, Abdurrahman bin Auf membeli tanah itu dan menjadikannya sebagai kavling-kavling pasar. Kavling-kavling tersebut dia bangun dan digunakan oleh pedagang muslim tanpa membayar sewa. Abdurrahman bin Auf menerapkan sistem bagi hasil yang lebih adil, sehingga tidak memberatkan dan mencekik para pedagang yang masih merintis.

Kisah tersebut memiliki hikmah bahwa Abdurrahman bin Auf berusaha menjadi miskin karena takut kepada Allah Swt. Sementara itu, kita adalah sebaliknya, berusaha untuk menjadi orang yang berlimpah harta padahal Rasulullah pernah berdoa agar dikumpulkan dengan orang-orang miskin “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin.”

Kekhawatiran orang-orang akan rezeki yang akan mereka dapatkan seharusnya tidak terjadi sebab Allah telah mengatur porsi rezeki setiap umatnya. Perasaan khawatir tersebut dialami oleh banyak orang terutama pada orang dewasa dengan rentang usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun (emerging adulthood). Saat seseorang berada pada rentang usia 20 – 30 tahun, mereka cenderung merasakan cemas dan hidupnya merasa tertekan. Keadaan ini dikenal dengan fase quarter life crisis. Individu yang sedang berada dalam fase quarter life crisis akan mengalami berbagai masalah psikologis, seperti persoalan pada urusan karir maupun kehidupan sosial.

Krisis ini disebabkan oleh adanya gap antara tuntutan perkembangan masa dewasa untuk menjadi mandiri secara mental, finansial, maupun karier dengan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengatasinya. Pada 2017, Linkedin melakukan survei kepada ribuan orang berusia 25 – 33 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 75% orang pada rentang usia tersebut mengalami quarter life crisis dengan rata-rata berusia 27 tahun. Pemicunya sangat bervariasi antara lain merasa kesulitan untuk memilih karir yang sesuai, tidak memiliki pendapatan yang cukup, dan tertekan karena belum memiliki rumah.  

Dalam Islam, keadaan quarter life crisis bisa menjadi indikasi suatu penyakit bernama istibtha’. Istibtha’ merupakan obsesi untuk menjadi kaya sebelum waktunya. Penyebab penyakit tersebut, yaitu mereka tergoda akan hal-hal yang bersifat duniawi misalnya membeli rumah dengan KPR atau melakukan suap agar diterima kerja di perusahaan. Mereka ingin cepat sukses sebelum waktunya dengan melakukan pelanggaran syariat-syariat Islam. Bahkan, faktanya orang-orang yang mengalami istibtha’ merupakan kalangan masyarakat menengah cenderung kaya. Mereka terjebak utang riba untuk memenuhi gaya hidup hedonismenya.

Gambar 1. Survei LinkedIn Quarter Life Crisis 2017

(LinkedIn2017)

 

Dalam firman Allah Swt Q.S Al-Kahfi: 46

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلً

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Allah tidak mewajibkan manusia memiliki kekayaan harta. Akan tetapi, setiap manusia diperintahkan mencari rezeki sesuai kemampuannya sedangkan hasil akhirnya diserahkan kepada Allah SWT. Ayat tersebut bermakna sebagai perintah untuk memanfaatkan harta yang dimiliki untuk tujuan beribadah. Kedudukan harta tidak boleh sejajar atau lebih tinggi dari iman dan ibadah kepada Allah SWT. Seorang muslim yang beriman harus memahami bahwa kekayaan merupakan amanah yang harus dijaga untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhiran (falah). Islam membagi hukum mengenai kekayaan menjadi beberapa kategori, yaitu:

  1. Wajib
    Sebuah usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya agar terhindar dari meminta-minta.
  2. Sunnah
    Usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan tambahan nafkahnya dan nafkah keluarganya atau dengan tujuan melapangkan orang-orang fakir, menyambung silaturahim, memberi balasan atau hadiah pada kaum kerabat, dan mencari kekayaan dengan niat seperti ini lebih utama daripada menghabiskan waktu untuk beribadah.
  3. Mubah
    Usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan tambahan dari kebutuhan atau dengan tujuan berhias dan menikmati.
  4. Makruh
    Usaha yang dilakukan oleh manusia yang bertujuan untuk mengumpulkan harta agar bisa berbangga-banggaan, sombong, bermegah-megahan, bersenang-senang hingga melewati batas walaupun dicari dengan cara yang halal. Hal ini sejalan dengan sabda Rasullullah saw, “Barang siapa yang mencari dunia yang halal untuk bermegah-megahan, berbangga-banggaan, dan riya maka ia akan bertemu dengan Allah SWT sedangkan Allah murka kepadanya.”
  5. Haram
    Usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan namun dilakukan dengan cara-cara yang melanggar syariat Islam seperti suap dan riba.

Harta yang dimiliki oleh manusia biasanya digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti konsumsi. Setiap orang memiliki tingkat konsumsi yang berbeda tergantung dari pendapatan yang diperoleh atas hasil kerjanya. Dalam sudut pandang Islam, pengeluaran atau konsumsi dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan keluarganya seperti konsumsi atau menabung. Kedua, pengeluaran yang dikeluarkan semata-mata bermotif mencari kebahagiaan di akhirat. Konsep perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam harus memperhatikan tujuannya, yaitu maslahah yang berasal dari konsumsi barang dan jasa. 

Dari penjelasan tersebut maka dapat dilihat bahwa teori konsumsi Islam adalah sebagai berikut:

M = f(E1,E2)

di mana: 

  • M adalah konsumsi yang berorientasi pada maslahah
  • E1 adalah pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa
  • Utilitas marginal dari E1 adalah menurun ( < 0 )
  • E2 adalah pengeluaran untuk orang lain

dengan 

Pengeluaran seorang muslim cenderung lebih sedikit sebab mereka hanya mengonsumsi hal-hal yang sudah halal. Alokasi antara E1 dan E2 merefleksikan konsumen yang rasional yang bergantung kepada tingkat ketakwaan atau level of Taqwa (T) dari individu itu sendiri. Konsumsi pada umat Islam tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Individu yang merasakan adanya maslahah akan rela untuk terus melakukan kegiatan konsumsi meski manfaat fisik dari kegiatan tersebut sudah tidak dapat dia rasakan. Maslahah memiliki makna yang lebih luas daripada makna kepuasan dalam ekonomi konvensional (utility). Setiap orang dapat menentukan masing-masing apakah sesuatu tersebut merupakan maslahah atau bukan bagi dirinya.

Selain itu, seorang muslim tidak hanya melakukan konsumsi untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain, seperti infak dan sedekah. Ketika seseorang melakukan sedekah maka tingkat konsumsi individu tersebut akan meningkat. Kegiatan pengeluaran yang berhubungan dengan religiusitas juga dapat berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat, misalnya pengumpulan donasi untuk korban bencana alam. Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka akan semakin besar pula konsumsi yang akan dikeluarkan sehingga dapat memberikan dampak terhadap perekonomian untuk tetap berjalan. 

Dari peringkat negara paling dermawan yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF) berdasarkan World Giving Index, hanya Indonesia yang masuk peringkat tersebut dengan mayoritas penduduknya muslim. Padahal Islam sangat mendukung kegiatan-kegiatan filantropi untuk membantu sesama seperti penggalangan dana. Masyarakat dapat mengoptimalkan kegiatan donasi tersebut melalui berbagai platform yang tersedia.

Konsumsi juga berkaitan erat dengan income yang dimiliki oleh orang-orang. Akan tetapi, distribusi pendapatan di Indonesia masih belum mencapai titik ideal. Bahkan bagi umat muslim sendiri jarang yang dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia. Dalam majalah Forbes, dari 10 orang terkaya di Indonesia, hanya 1 orang yang merupakan seorang muslim. Padahal penduduk Indonesia didominasi oleh muslim namun secara ekonomi tertinggal jauh dari yang non-muslim. Hal ini disebabkan karena sejak kecil orang muslim tidak difokuskan untuk berkonsentrasi pada bidang ekonomi, mereka dilatih untuk menjadi pegawai dan bukan usahawan.

Dengan demikian, kondisi kapitalisme saat ini menuntut kita untuk memiliki uang yang dapat memberikan kesejahteraan. Di sisi lain uang juga bukan merupakan segalanya, maka setelah kita memiliki uang, kita harus dapat mengelolanya dengan baik dan tepat. Uang tersebut dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat non-material seperti menambah pengalaman dengan berlibur atau mengikuti suatu kursus yang dapat meningkatkan kebahagiaan dalam jangka panjang dibandingkan untuk membeli barang. Kita juga harus memahami makna cukup bagi diri kita sendiri.

 

Referensi

Furqani, H. (2017). Consumption and Morality: Principles and Behavioral Framework in Islamic Economics. Journal of King Abdulaziz University: Islamic Economics, 30(SI).

Indonesia Life School, S. P. (2022). Kapitalisme & Seni Membeli Kebahagiaan | Psychology of Finance #6. In www.youtube.com. https://youtu.be/X7Fk3DP62C0

Indraini, A. (2021). Kisah Abdurrahman bin Auf, Sahabat Nabi yang Selalu Gagal Jadi Orang Miskin. Detikfinance. https://finance.detik.com/sosok/d-5511804/kisah-abdurrahman-bin-auf-sahabat-nabi-yang-selalu-gagal-jadi-orang-miskin

Indrastomo, B.S. (2022). Kerangka Permintaan Agregat: Konsumsi [PowerPoint slides]

Mursal, M. (2022). KONSEP EKONOMI TASAWUF (TELAAH KITAB AL LUMA’, AL HIKAM, DAN RISALATUL QUSAIRIYAH). Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 14(2). https://doi.org/https://doi.org/10.32694/qst.v14i2.1223

New LinkedIn research shows 75 percent of 25-33 year olds have experienced quarter-life crises. (2017). News.linkedin.com. https://news.linkedin.com/2017/11/new-linkedin-research-shows-75-percent-of-25-33-year-olds-have-e

Sasongko, A. (2019). Orang-Orang Miskin dalam Doa Rasulullah SAW. Republika Online. https://www.republika.co.id/berita/q14f4l313/orangorang-miskin-dalam-doa-rasulullah-saw

Shaikh, S. A., Ismail, M. A., Ismail, A. G., Shahimi, S., & Mohd. Shafiai, M. H. (2017). Towards an integrative framework for understanding Muslim consumption behaviour. Humanomics, 33(2), 133–149. https://doi.org/10.1108/h-01-2017-0005

Wina Sanjaya, & Andi Budimanjaya. (2017). Paradigma baru mengajar. Kencana.