Oleh: Malina Vrahma (Ilmu Ekonomi Islam 2020), Kepala Departemen Penelitian IBEC FEB UI 2022
Latar Belakang
Produk bersertifikat halal mendukung kualitas kehalalan sebuah produk untuk membantu memudahkan konsumen yang tidak dapat memastikan hal tersebut secara individu (Abdul et al., 2009; Arham, 2011). Hal ini tentunya sangat membantu konsumen dalam menentukan dalam memilih produk yang diizinkan oleh Islam (De Run dan Ming, 2011; Mahmood, 2011). Penulis yang sama mengemukakan bahwa sertifikat halal merupakan sebuah dokumen resmi yang memungkinkan produsen untuk menyertakan logo halal tersebut di dalam produknya. Namun, kehalalan sebuah produk belum tentu disertai oleh adanya logo halal pada kemasan karena produsen perlu mengikuti prosedur yang ditentukan oleh lembaga yang berwenang dalam mengadakan sertifikasi halal.
Di Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan Jabatan Agama Islam Melaka (JAIM) adalah dua otoritas yang menangani sertifikasi halal (Mahmood, 2011) dalam empat kategori produk: produk makanan; produk non-pangan; restoran dan tempat makan; serta rumah potong hewan dan logistik (Habib, 2012). Pada tahun 2012 pemerintah memutuskan untuk membatalkan otoritas negara hanya pada logo halal yang diciptakan oleh JAKIM (Habib, 2012). Padahal, warna logo halal di Malaysia seharusnya bisa dimodifikasi agar sesuai dengan kemasan produk, seperti yang diinginkan oleh produsen (Mahmood, 2011). JAKIM melalui laman resminya (www.halal.gov.my) menegaskan bahwa mulai tanggal 1 Februari 2012, semua pemegang sertifikat halal Malaysia untuk kategori makanan hanya boleh mengadopsi logo yang seragam dengan JAKIM (JAKIM, 2012).
Hal ini menyebabkan potensi masalah, yaitu “tumpukan sertifikasi halal diberikan oleh badan yang berwenang membuat konsumen bingung saat memilih barang dan makanan produk karena berbagai jenis logo halal” (Mahmud, 2011). Kebingungan ini, di sisi lain meninggalkan lahan matang bagi banyak pengusaha jalan pintas yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini dengan memperkenalkan logo halal palsu (Mohd. et al., 2008). Hal yang memperparah kebingungan ini adalah kenyataan bahwa ada beberapa organisasi swasta yang mengeluarkan halal sertifikasi di Malaysia, tidak diakui oleh JAKIM (Halal Malaysia, n.d.).
Gambar 1. Logo halal resmi oleh JAKIM (kiri) dan JAIN (kanan), Sumber: Mohd. et al., 2008
Gambar 2. Logo halal palsu yang beredar di Malaysia, Sumber: Mohd. et al., 2008
Tujuan dan Metode Penelitian
Sebuah penelitian kualitatif menggunakan metode indepth interview dilakukan terhadap Muslim Malaysia yang telah lama tinggal di Malaysia dengan harapan memiliki pengetahuan yang relevan dengan permasalahan multiple logos di Malaysia ini. Teknik penelitian dilakukan dengan menunjukkan 10 logo halal (9 asli dan 1 palsu) dalam bentuk Power Point untuk melihat bagaimana responden mendiferensiasi logo halal yang asli dan palsu. Dalam tampilan Power Pointnya hanya ditampilkan satu logo per slide dan diberi label Gambar A sampai J. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa responden berkonsentrasi pada satu logo pada satu waktu dan tidak membuat perbandingan antara logo sebelumnya untuk menjawab pertanyaan apapun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan keyakinan konsumen akhir tentang keberadaan beberapa logo halal pada produk yang berbeda di Malaysia.
Gambar 3. Logo halal yang digunakan dalam penelitian
Pembahasan Temuan
Salah satu temuan yang sangat signifikan, yang disetujui dengan suara bulat oleh responden, yaitu bahwa harus ada satu logo standar. Terlepas dari apakah itu logo hitam putih, atau berwarna. Banyak yang menambahkan bahwa JAKIM harus memenuhi tanggung jawabnya dalam membiarkan masyarakat memahami tentang logo halal dalam praktik Malaysia. Shea (2013) menulis bahwa seseorang mungkin tidak bisa mengenali ribuan logo, tapi justru mengenali adanya perubahan di dalamnya. Hanya ada satu orang responden yang nyaman dengan multiple halal logos, tetapi menambahkan argumentasi bahwa JAKIM harus menyebarkan informasi terkait hal tersebut.
Selain itu, dengan tidak adanya informasi maupun edukasi yang dilakukan oleh JAKIM, maka sebagian besar responden mengandalkan tebakan daripada pengetahuan yang mereka miliki. Setelah melihat semua logo lebih lanjut, penelitian ini mengemukakan bahwa terdapat kurangnya pengetahuan responden mengenai adanya logo halal yang beredar di Malaysia. Banyak dari mereka hanya memiliki sedikit gambaran tentang seperti apa logo halal yang sebenarnya. Hal ini ditemukan setelah pemindaian frasa dan kosakata yang digunakan: Saya kira, saya pikir, mungkin tidak yakin, saya akan mempertimbangkan, saya tidak bisa ingat, saya kira, dan sejenisnya, memperhitungkan ambiguitas. Mahmood (2011) diperbantukan di sini bahwa sejumlah logo halal cenderung membingungkan pelanggan.
Berangkat dari konflik multiple halal logos ini, pada akhirnya konsumen mengakui bahwa logo halal bukanlah atribut produk pertama yang dipertimbangkan saat membeli makanan. Banyak dari mereka berasumsi bahwa makanan halal karena dijual di Malaysia, atau bahwa itu telah dipisahkan menjadi kategori halal dan non-halal. Ini agak bertentangan dengan temuan Abdul dkk. (2009) bahwa orang Melayu lebih peduli berlogo halal dibandingkan etnik manapun di Malaysia.
Hikmah/Kesimpulan
Di Malaysia, Abdul dkk. (2009) menyatakan, persepsi tentang logo halal terbentuk dari: (1) tidak konsisten mengenai definisi halal yang berkaitan dengan penyembelihan hewan; (2) penyalahgunaan logo halal oleh individu perusahaan; (3) nama merek berima dengan nama Arab; (4) tampilan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menunjukkan kepemilikan Muslim dan penyajian makanan halal, dan (5) lemahnya kinerja aparat dalam menertibkan penyalahgunaan logo halal. Menanggapi konflik tersebut, seharusnya hal ini bukanlah permasalahan yang dapat dianggap ringan, baik oleh pemerintah maupun JAKIM. Hasil penelitian dalam studi ini diharapkan mampu membuka kesadaran pihak berwenang terkait ketidakpuasan masyarakat mengenai multiple halal logos yang menimbulkan kebingungan serta memberikan implikasi manajerial terkait kebijakan logo halal tersebut. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan pola hidup masyarakat Muslim di Malaysia yang seharusnya terjamin akan kualitas kehalalan produk yang akan dikonsumsinya.
Referensi
Shafiq, A., M, A. K., & Omar, A. (2015). Multiple halal logos and Malays’ beliefs: a case of mixed signals, 22(4), 1727–1735.