Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Pengungsi Rohingya di Aceh: Menilik Dampak Migran Terhadap Ekonomi Lokal

Pengungsi Rohingya di Aceh: Menilik Dampak Migran Terhadap Ekonomi Lokal

  • I-Share

Oleh: Raditya Akhdan Nirwasita IEI’22

Singgah di Indonesia, apa yang terjadi di Myanmar?

Akar utama dari kasus Rohingya di Myanmar sebetulnya terletak pada pandangan pemerintah yang masih menganggap etnis Rohingya sebagai imigran ilegal. Pandangan ini berasal dari sejarah Myanmar itu sendiri, dimana ketika Inggris menjajah Myanmar, mereka mengambil tenaga kerja migran untuk bekerja pada mereka. Akibatnya, banyak etnis Rohingya yang masuk ke Myanmar dan terus berkembang jumlahnya. Demi memperoleh dukungan lebih, Inggris menjanjikan tanah khusus kepada etnis Rohingya sebagai bentuk imbalan. Setelah perang dunia II berakhir dan Myanmar merdeka, Rohingya mengajukan janji tentang pembentukan daerah otonom kepada pemerintah Myanmar, alhasil pemerintah menolak hal tersebut (Grace, 2019).

Pada tahun 1977, pemerintah Junta Militer, pemerintahan diktator berbasis militer dengan perwira berpangkat tinggi yang memimpin, Myanmar mengadakan sensus penduduk dengan istilah “Naga Min” untuk mengetahui orang-orang yang memasuki Myanmar secara ilegal. Setelah “Naga Min” dilakukan, etnis Rohingya menjadi etnis yang tidak diakui sebagai salah satu etnis yang ada di Myanmar. Pun secara resmi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar “The Burma Citizenship Law” yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya (Human Rights Watch, 2013). Imbas dari penerbitan Undang-Undang tersebut, etnis Rohingya kerap kali mendapatkan perilaku diskriminasi dan kekerasan dari berbagai otoritas Myanmar. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa junta militer Myanmar menerapkan taktik genosida.

Penulis tidak akan menjabarkan terlalu rinci mengenai sejarah. Akan tetapi poin utamanya bermula dari konflik internal yaitu konflik etnis, hingga kini menjadi konflik internasional disebabkan situasi terdesak etnis Rohingya yang terpaksa meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan. Dan inilah yang diinginkan pemerintah Myanmar sebetulnya. Beberapa negara yang menjadi tempat singgah Rohingya antara lain: Bangladesh, Malaysia, India, dan Indonesia. Dimana mayoritas berada di Bangladesh dengan jumlah sekitar 960 ribu jiwa (Katadata.co.id).

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR): Siapa mereka?

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menjadi pihak yang paling disorot publik saat ini. Pasalnya, UNHCR merupakan organisasi internasional khusus yang dibentuk untuk melindungi dan menjamin hak asasi pengungsi dari ketidakadilan. Organisasi ini lahir dari imbas perang dunia yang terjadi di masa lalu, sehingga membuat jutaan orang mengungsi dan melakukan eksodus ke berbagai belahan dunia yang dianggap aman dari ancaman persekusi, konflik bersenjata, atau kekerasan lainnya. Pada awalnya, organisasi PBB yang secara khusus menangani pengungsi ini bernama International Refugees Organization (IRO), kemudian pada tahun 1951 IRO berganti nama menjadi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan bermarkas di Jenewa, Swiss. Dalam perkembangannya, UNHCR tidak hanya menolong mereka yang kehilangan tempat tinggalnya, tetapi juga mereka yang masih tinggal dalam pengungsian atau sedang mengungsi. Secara singkat, UNHCR dapat diartikan sebagai sebuah badan pengungsi dunia yang diberikan mandat oleh PBB untuk melindungi dan membantu pengungsi internasional dalam mencari solusi bagi keadaan buruk yang mereka alami.

Orang-orang yang menjadi urusan UNHCR antara lain: 

  1. Pengungsi menurut Konvensi Jenewa tahun 1951 dan Protokol tahun 1967.
  2. Pengungsi menurut Konvensi Organisasi Persatuan Afrika dan Deklarasi Cartagena.
  3. Orang-orang yang telah kembali ke negara asal para pengungsi.
  4. Orang-orang yang tersingkirkan di dalam negeri.

Indonesia: Mengambil Peran, Walau Tak Menanggung Kewajiban

Indonesia sendiri tidak termasuk dari negara-negara yang menandatangani Konvensi pada tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol tahun 1967, namun Indonesia memiliki sejarah dengan sikap bersedia dan terbuka dalam menerima pengungsi. Akan tetapi, Mahfud MD menyampaikan bahwa sikap Indonesia tidak dibarengi dengan keterbukaan negara-negara yang berkaitan dengan perjanjian sebelumnya yakni Malaysia, Australia, dan Singapura. Kini, Malaysia dan Australia menutup negara dari pengungsi, sementara Singapura tidak menerima mereka. Akibatnya para pengungsi Rohingya memilih Indonesia, “Awalnya untuk tempat transit, tetapi justru sekarang menjadi  tujuan” ucap Mahfud MD.

Bagi warga Aceh, ada satu hukum adat yang dikenal dengan “Hukum Adat Laut”. Salah satu fungsi dari adanya hukum adat ini adalah sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah untuk mengelola sumber daya yang ada di laut, sosok yang memimpin hukum adat ini disebut sebagai Panglima Laot. Keberadaan hukum adat ini berperan penting dalam dalam kehidupan warga Aceh, terlebih dalam bidang kelautan. Melihat dalam pandangan konstruktivisme, adanya nilai, ide, dan norma menjadi suatu struktur yang diyakini dapat membentuk sikap manusia. Maka dari itu, pada fase awal datangnya pengungsi Rohingya ke Indonesia, para nelayan yang menjadi salah satu masyarakat hukum adat merasa iba dan terdorong untuk membantu. Padahal, TNI AL kerap memberikan larangan untuk tidak seenaknya menerima pengungsi asing.  

Semakin tingginya jumlah pengungsi Rohingya justru memicu respons negatif warga Indonesia, khususnya pengguna media sosial. Respons negatif ini diperburuk oleh “oknum” pengungsi Rohingya yang berperilaku arogan dan serampangan. Di samping itu, perilaku dan standar norma warga Rohingya tentu berbeda dengan warga lokal sehingga dapat membuat masyarakat Aceh merasa tidak nyaman. Di samping itu, presiden RI Joko Widodo menduga kuat terdapat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia, hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya tiga tersangka yang menyamar menjadi pengungsi Rohingya dan memanfaatkan penderitaan mereka untuk mencari keuntungan. Pada akhir Desember lalu, beberapa mahasiswa dari berbagai kampus di Aceh melakukan aksi “pengusiran” terhadap pengungsi Rohingya. Meskipun UNHCR mengatakan bahwa penyebab aksi ini disebabkan oleh kampanye kebencian, namun ini justru membuktikan bahwa sentimen negatif kian berkembang di masyarakat kita sebagaimana sentimen “anti-asing” orang-orang Eropa. Tindakan ini meninggalkan efek negatif bagi pengungsi, salah satunya trauma. Ironisnya, beberapa media asing menyorot aksi “pengusiran” tersebut, dimana hal ini dapat mencederai martabat kita sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi kemanusiaan.  

Selain respons kontra, tentu terdapat pula respons pro dari warga Indonesia. Kubu pro selalu mengingatkan akan hak kemanusiaan dan memberikan kesadaran tentang bahayanya masalah klasik media sosial yaitu hoax, mereka yakin bahwa media sosial turut berkontribusi menyebarkan ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya. Mereka juga yakin bahwa akibat tahun politik, banyak pihak yang lebih memilih diam untuk menjaga citra di masyarakat. 

Peran Pihak Berwenang

Masyarakat kerap kali bertanya mengenai apa tanggung jawab UNHCR dalam menangani masalah pengungsi Rohingya di Aceh. Idealnya, jika mengacu pada buku UNHCR yang berjudul “Handbook for Emergencies”, ada lima bentuk bantuan bagi para pengungsi internasional:

  1. Pemberian bantuan darurat yang melibatkan pergerakan pengungsi dalam jumlah besar.
  2. Program-program regular dalam bidang-bidang yang sifatnya berupa penyediaan kebutuhan primer.
  3. Mendorong kemandirian para pengungsi dan mengusahakan integrasi lokal di negara-negara penerima.
  4. Repatriasi ke negara asal para pengungsi secara sukarela.
  5. Resettlement di negara ketiga untuk para pengungsi yang tidak dapat kembali ke negara asalnya dan bagi pengungsi yang menghadapi masalah perlindungan di negara tempat mereka pertama kali meminta perlindungan.

Para pengungsi diharuskan melewati beberapa tahapan:  pertama, registrasi pemohon pengungsi; kedua, wawancara tahap awal; ketiga, penentuan status pengungsi. Tahapan ini dilakukan UNHCR untuk menggali lebih dalam mengenai kasus dari pengungsi sebelum diberikan rekomendasi untuk diterima atau ditolak kasusnya, bagi mereka yang kasusnya diterima maka akan diberikan refugee certificate dan dinyatakan layak sebagai pengungsi internasional.  Penampungan sementara pengungsi yang telah memperoleh status sebagai pengungsi internasional dari UNHCR akan dipenuhi kebutuhan dasarnya dengan dana sumbangan atau donor dari negara-negara anggota, segala informasi terbaru mengenai laporan data yang terkait pendanaan pengungsi internasional dapat diakses publik melalui situs resmi UNHCR. 

UNHCR turut melibatkan organisasi atau kelompok relawan lain dalam prakteknya, salah satunya International Organization for Migration (IOM) dan Women and Health Alliance International (WAHA). Jika berpacu pada kasus pengungsi di Yunani, UNHCR bekerjasama dengan WAHA untuk memberikan bantuan darurat kepada para pengungsi yang baru tiba melalui jalur laut di sepanjang pantai-pantai negara Yunani. Mereka mengidentifikasi secara cepat, memberi bantuan medis dan psikososial bagi pengungsi yang selamat, serta upaya reunifikasi dengan keluarga. Kendati demikian, lingkaran dilema yang dihadapi UNHCR tak kunjung usai. Konflik yang terjadi di negara asal pengungsi membuat UNHCR kesulitan mengembalikan para pengungsi yang berada di Yunani ke negara asal, di satu sisi UNHCR juga tidak mungkin melakukan integrasi pengungsi di wilayah Yunani sebab Yunani saat itu sedang dilanda krisis ekonomi. 

Pengungsi bagi ekonomi warga Aceh: Anugerah atau Musibah?

Mengutip blog yang ditulis Paolo Verme, seorang ekonom dari Bank Dunia (World Bank), bahwa dalam sudut pandang ekonomi, kedatangan pengungsi akan meningkatkan PDB di negara tuan rumah. Dalam jangka pendek, wilayah yang sebelumnya tidak dihuni menjadi dihuni (seperti kamp pengungsi), dari yang sebelumnya tidak menghasilkan pendapatan menjadi menghasilkan pendapatan. Paolo mengklaim bahwa hal ini hanyalah hasil statistik yang dihasilkan dari fakta bahwa lebih banyak orang (pengungsi dan pekerja bantuan) dan lebih banyak uang (bantuan internasional dan pengeluaran pemerintah) di wilayah geografis tertentu akan meningkatkan konsumsi dan pendapatan. Dalam jangka menengah, bertambahnya jumlah penduduk, bantuan, serta belanja pemerintah, konsumsi lokal akan meningkat, sehingga akan meningkatkan produksi dan penjualan barang dan jasa lokal. Masuknya pengungsi ke pasar tenaga kerja berpotensi mengurangi labor costs produsen, terutama jika mereka bekerja di sektor informal. Akibatnya, para pengusaha, produsen, dan pemasok barang dan jasa lokal kemungkinan besar akan mengalami peningkatan pendapatan sehingga mereka dapat memperluas usaha mereka dan pertumbuhan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan. Dalam istilah ekonomi, hal ini disebut sebagai “expansionary effects” perekonomian. 

Tentu kita tidak bisa mengabaikan eksternalitas negatif yang timbul dari dampak positif poin di atas, terdapat beberapa faktor yang justru dapat mengakibatkan pengangguran, lonjakan inflasi, dan peningkatan kesenjangan sosial-ekonomi. Dalam jangka pendek, daerah yang tiba-tiba menjadi rumah bagi pengungsi mungkin akan mengalami kekurangan sumber daya dan degradasi lingkungan, hal ini dapat menggagalkan pembangunan daerah tersebut. Masuknya pengungsi ke daerah perkotaan dapat menyebabkan kekurangan air dan listrik sehingga biaya menjadi lebih tinggi bagi pengungsi dan masyarakat lokal, kelebihan permintaan layanan seperti kesehatan dan pendidikan, peningkatan lalu lintas dan polusi, dan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Dalam jangka menengah, sebagian warga lokal mungkin akan memperoleh keuntungan ekonomi, sementara sebagian lainnya justru terpaksa berpindah karena kehilangan pekerjaan dan tingginya persaingan. Dampak negatif ini kemungkinan besar akan menimpa masyarakat yang paling rentan seperti perempuan, pemuda, pekerja berketerampilan rendah dan informal, serta mereka yang tinggal di daerah terdegradasi dan marginal. 

Untuk mendukung teori ini, Paolo menyertakan beberapa literatur ekonomi yang relevan. Sebuah tinjauan komprehensif dan meta-analisis yang ia lakukan bersama Kirsten Schuettler mengenai dampak pengungsi terhadap komunitas tuan rumah (warga lokal) mengungkapkan bahwa: Secara keseluruhan, dampak yang timbul terhadap kesejahteraan komunitas tuan rumah sebagian besar positif, sementara hanya sedikit penelitian yang menunjukkan dampaknya negatif. Bahkan, tinjauan tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar peneliti melaporkan tidak ada dampak signifikan terhadap pekerjaan atau upah warga lokal. Namun, studi yang mengidentifikasi dampak signifikan dan negatif menunjukkan bahwa lapangan kerja dan upah lebih cenderung menurun pada kelompok tertentu, khususnya perempuan, pemuda, pekerja tidak terampil, pekerja informal, dan individu berpendidikan rendah. Dapat disimpulkan, teori ekonomi dan bukti empiris membuktikan bahwa pengungsi dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi tuan rumah. Kelompok pengusaha, produsen, dan pemasok barang dan jasa dapat memperluas usahanya, sementara kelompok rentan seperti perempuan, pemuda, pekerja tidak terampil, pekerja informal, dan individu berpendidikan rendah berpotensi tergantikan.

Studi Kasus Dampak Pengungsi dalam Perspektif Warga Lokal: Efek Pengungsi Suriah Terhadap Perekonomian Yordania

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Hamzah Khawaldah dan Nidal Alzboun mengenai pengungsi di Yordania, artikel tersebut berisi penelitian hasil kuesioner dari 1080 sampel acak (responden) yang diharapkan dapat mewakili warga Yordania. Hasilnya menunjukkan bahwa tekanan pada pasar tenaga kerja, jasa, dan infrastruktur serta peningkatan harga sewa rumah merupakan dampak ekonomi utama yang dialami pengungsi Suriah. Dampak sosial yang ditimbulkan adalah meningkatnya angka kriminalitas dan narkoba. Pengungsi juga mempunyai dampak dan tekanan terhadap air bersih, energi, dan lingkungan. Namun, para responden melaporkan beberapa dampak positif dari pengungsi termasuk menyediakan tenaga kerja berketerampilan tinggi dan berupah rendah di pasar yang membuat pasar Yordania lebih kompetitif. 

Jika menggunakan teori Paolo, maka produsen, pemilik lahan, serta pemasok barang dan jasa akan diuntungkan sementara kelompok rentan akan dirugikan. Berikut dampak yang dialami Yordania dalam lingkup ekonomi:

  • Dampak Negatif Pengungsi Suriah
  1. Persaingan penduduk lokal dalam mendapatkan kesempatan kerja dan meningkatnya angka pengangguran; peningkatan harga sewa rumah, harga tanah dan real estate serta harga barang; dan tekanan terhadap perumahan, keterbatasan sumber daya alam, energi dan layanan lainnya. 
  2. Meningkatnya permintaan pangan yang menyebabkan peningkatan harga pangan dan laju inflasi, serta memberikan tekanan yang lebih besar pada layanan publik, yang berkontribusi pada peningkatan pengeluaran pemerintah sebagai sumber daya manusia
  • Dampak Positif Pengungsi Suriah
  1. Menyediakan tenaga kerja yang terlatih, terampil, dan berupah rendah bagi pasar Yordania serta menciptakan lebih banyak peluang kerja untuk melayani sejumlah besar penduduk sebagai permintaan baru atas barang dan produk.
  2. Meningkatkan daya saing produk Yordania karena penurunan biaya dan harga sebagai akibat rendahnya upah.
  3. Lebih banyak investasi ekonomi diciptakan dan bantuan keuangan internasional diberikan kepada Yordania untuk menampung pengungsi Suriah.

Namun tidak lengkap rasanya jika tidak menyertakan dampak non-ekonomi bagi warga Yordania, berikut dampak yang dialami Yordania dalam lingkup non-ekonomi:

  • Dampak Sosial dan Lingkungan Pengungsi Suriah
  1. Meningkatnya angka kejahatan dan penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda; tekanan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan; mempengaruhi tradisi Yordania, hubungan sosial dan gaya hidup mereka; dan meningkatnya angka perawan tua di kalangan perempuan Yordania.
  2. Tercipta ketegangan antara komunitas tuan rumah dan pengungsi Suriah di Yordania karena perbedaan kebiasaan dan adat istiadat kedua kelompok serta kondisi kehidupan mereka yang buruk.
  3. Tekanan terhadap air bersih dan infrastruktur; pencemaran air tanah; polusi udara; meningkatkan jumlah limbah padat dan tingkat kebisingan

Dampak positif yang dirasakan warga Yordania lebih banyak pada sisi pemberi kerja, sementara dampak negatifnya lebih banyak pada sisi pekerja Yordania. Maka bukti empiris ini dapat menguatkan klaim yang dicetuskan oleh Paolo Verme, dimana pemilik modal lebih diuntungkan sementara kelompok rentan sebaliknya. 

Kesimpulan

Pengungsi Rohingya merupakan sekelompok minoritas yang mendapatkan perilaku diskriminasi dan kekerasan di negara asal mereka sehingga memaksa mereka untuk pergi dan mengungsi di negara lain. UNHCR sebagai organisasi di bawah PBB memiliki tanggung jawab terhadap para pengungsi internasional, aktivitas UNHCR harus memacu pada peraturan dan prosedur internasional yang sudah disepakati. Pengungsi yang memiliki legalitas dari UNHCR akan dipenuhi kebutuhan dasarnya dan dijamin hak-haknya, maka dari itu UNHCR kerap bekerjasama dengan lembaga atau organisasi relawan untuk membantu pemenuhan kebutuhan pengungsi. Pendanaan bagi para pengungsi berasal dari sumbangan atau donor dari negara-negara anggota UNHCR, seluruh informasi terkait pendanaan dapat diakses oleh publik pada situs resmi UNHCR. 

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi kemanusiaan sudah sepatutnya mendahulukan kemanusiaan, bukan diskriminasi. Warga Aceh melalui hukum adat laut yang dipimpin oleh panglima laot telah menerapkan asas tersebut, jika dilihat dari sudut pandang konstruktivisme, nilai dan norma yang terkandung dalam hukum adat laut mendorong masyarakat untuk saling tolong-menolong, terutama kepada pengungsi Rohingya.  Akan tetapi, semakin banyaknya jumlah pengungsi yang kian berdatangan justru melahirkan sentimen negatif warga Indonesia. Sentimen ini memuncak ketika beberapa mahasiswa dari berbagai kampus di Aceh melakukan tindakan “pengusiran” terhadap para pengungsi, tindakan tersebut meninggalkan bekas luka bagi para pengungsi. UNHCR menyayangkan tindakan mahasiswa tersebut dan menjelaskan bahwa faktor utama pendorong tindakan “pengusiran” berasal dari kampanye kebencian di media sosial.  

Melalui teori yang diklaim oleh Paolo Verme, pemberi kerja atau pemilik modal lebih diuntungkan dari adanya pengungsi sementara pekerja justru sebaliknya. Akan tetapi perlu dicatat bahwa dampak dari pengungsi terbagi menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka menengah-panjang. Dalam jangka pendek, warga lokal secara keseluruhan cenderung diuntungkan karena bantuan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi sehingga banyak uang masuk ke Indonesia. Yang menjadi perhatian kita sebetulnya adalah jangka pendek, karena pengungsi Rohingya di Indonesia termasuk kategori migran (sementara), bukan imigran (tetap).

Kendati begitu, UNHCR kerap kali kesulitan memindahkan para pengungsi ke negara asal atau negara tujuan karena konflik yang belum kunjung usai atau kebijakan politik. Menarik menunggu langkah apa yang akan UNHCR ambil untuk pengungsi Rohingya di tengah sentimen negatif warga Indonesia, tentu kita tidak mengharapkan lagi adanya tindakan tidak manusiawi masyarakat akibat kampanye kebencian yang beredar. Maka tidak salah PBB menyebut Rohingya sebagai kelompok minoritas paling menderita persekusi di muka bumi, di negara asal mereka didiskriminasi, di tempat mengungsi mereka tidak diterima.  

 

Lampiran

Persebaran Pengungsi Rohingya di 4 negara 

Dampak Pengungsi Terhadap Kesejahteraan Tuan Rumah

Laporan Pendanaan Pengungsi Rohingya oleh UNHCR

 

Referensi

Erlina, F. S. (2023, Desember 05). Sebaran Pengungsi Tanpa Kewarganegaraan dari Myanmar/Pengungsi Rohingya dan Pencari Suaka (September 2023). Katadata.co.id. Retrieved January 10, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/05/bangladesh-hingga-indonesia-jadi-suaka-bagi-pengungsi-rohingya#:~:text=Rombongan%20Rohingya%20paling%20banyak%20mengungsi,sebesar%2022.110%20orang%20atau%202%25.

Intan, R. D. (2023, Desember 10). Pengungsi Rohingya Datang Lagi, 400 Orang Tiba di Aceh. CNBC Indonesia. Retrieved January 05, 2024, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20231210165356-4-495980/pengungsi-rohingya-datang-lagi-400-orang-tiba-di-aceh

Tim CNN Indonesia. (2023, Desember 07). Fakta-fakta Terbaru soal Pengungsi Rohingya di Aceh. CNN Indonesia. Retrieved January 05, 2024, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231207064235-20-1033936/fakta-fakta-terbaru-soal-pengungsi-rohingya-di-aceh

Rahma, Atillah dan Serafica, Gischa. (2023, November 19). Mengenal Hukum Adat Laut dalam Menjaga Ekosistem Laut. Kompas.com. Retrieved January 08, 2024, from https://www.kompas.com/skola/read/2023/11/19/090000569/mengenal-hukum-adat-laut-dalam-menjaga-ekosistem-laut-?page=all

Setiyono, J. (2017). KONTRIBUSI UNHCR DALAM PENANGANAN PENGUNGSI INTERNASIONAL DI INDONESIA. Masalah – Masalah Hukum, 275-281. 

Grace, T. I. (2019). PERANAN UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA PENGUNGSI DI NEGARA TRANSIT DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA 1951 DAN PROTOKOL TAMBAHAN KONVENSI JENEWA  1967 (STUDI KASUS PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA). Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Fakultas Hukum. 

Verme, P. (2023, March 28). Theory and evidence on the impact of refugees on host communities. Retrieved from WORLD BANK BLOGS: https://blogs.worldbank.org/dev4peace/theory-and-evidence-impact-refugees-host-communities

Alzboun, H. K. (2022). Socio-economic and environmental impacts of Syrian Refugees in Jordan: A Jordanians’ perspective. Heliyon, v.8 (8).

Deardo, D. (2016). Peranan UNHCR dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Pengungsi yang Berada di Yunani. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Fakultas Hukum.