Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Pembangunan Negara Berbasis Islam: Realistis atau Utopis?

Pembangunan Negara Berbasis Islam: Realistis atau Utopis?

  • I-Share

Oleh: Adinda Primalis Hidayati (Bisnis Islam 2021), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2022

Indonesia telah berhasil menempati peringkat ke-16 negara dengan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Hal ini membuat Indonesia dapat memasuki perkumpulan 20 negara dengan PDB yang besar. Perkumpulan ini disebut dengan G20 atau Group of Twenty. Bahkan, saat ini Indonesia tengah menjadi tuan rumah untuk Presidensial G20 setelah Italia, dimulai sejak 1 Desember 2021 lalu hingga bulan November 2022 mendatang.

Negara yang masuk ke dalam perkumpulan G20 ini di antaranya adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa. Indonesia menjadi satu-satunya negara dari Asia Tenggara yang masuk ke dalam perkumpulan ini. 

Jika kita perhatikan lagi, negara dalam G20 yang merupakan anggota OKI hanya terdapat tiga negara saja, yakni Arab Saudi, Turki, dan Indonesia. Apa itu OKI? OKI (Organisasi Kerja sama Islam) atau dalam bahasa inggrisnya yaitu Organisation of Islamic Cooperation (OIC) merupakan organisasi skala internasional yang berisikan negara yang menegaskan keyakinan atas agama islam, penghormatan pada Piagam PBB, dan Hak Asasi Manusia (HAM). OKI juga merupakan satu-satunya negara antarpemerintah yang mewakili umat islam di dunia. Mengapa hanya tiga dari 57 negara yang masuk dalam organisasi OKI yang terdapat pada G20? apakah itu berarti negara kaum muslimin tertinggal dan tidak maju? Apakah hal ini berarti kaum muslimin tidak sejahtera? Apakah sistem ekonomi dengan menerapkan nilai-nilai islam belum tentu berdampak baik pada kesejahteraan suatu negara? Mari kita ulas bersama-sama melalui pembahasan di bawah ini.

Pertama, mari kita ulas mengenai GDP itu sendiri. GDP (Gross Domestic Product) atau dalam bahasa indonesianya adalah PDB (Produk Domestik Bruto) adalah nilai moneter barang dan jasa akhir yang dibeli oleh pengguna akhir yang diproduksi di suatu negara dalam periode waktu tertentu. Tetapi, PDB dinilai tidak dapat mengukur keseluruhan standar hidup atau kesejahteraan suatu negara. Mengapa demikian? Hal ini karena:

  1. Tidak ada perhitungan untuk efek positif atau negatif yang diciptakan dari proses produksi. Misalnya, PDB menghitung positif mobil yang kita produksi tetapi tidak memperhitungkan emisi yang dihasilkan dan biaya penanggulangannya. Ekonomi modern membutuhkan ukuran kesejahteraan yang lebih baik yang mempertimbangkan eksternalitas ini untuk mendapatkan refleksi pembangunan yang lebih benar. Memperluas cakupan penilaian untuk memasukkan eksternalitas akan membantu dalam menciptakan fokus kebijakan untuk mengatasinya.
  2. PDB tidak dapat menangkap distribusi pendapatan di seluruh masyarakat. Meskipun ada PDB per kapita, tetapi itu hanya berfokus pada output produksi, bukan pendapatan dari masyarakat di daerah tersebut.. Negara dengan PDB tinggi seperti di Amerika Serikat pun, kesenjangannya sangat besar. Pada tahun 2017, Institute Hudson menyebutkan bahwa 5% orang kaya di AS menguasai 62,5% aset di seluruh negara itu ketika tahun 2013. 
  3. PDB tidak dapat menilai kesejahteraan rakyat wilayah tersebut. Misalnya negara Jepang yang bahkan masuk G7, serta merupakan negara yang sangat kaya dan maju, masyarakatnya banyak yang mengalami tingkat frustasi yang tinggi hingga akhirnya banyak yang melakukan bunuh diri. Sehingga nilai PDB yang tinggi juga tidak berarti bahwa masyarakatnya bahagia dan sejahtera.
  4. Fokusnya tidak proporsional; hanya pada apa yang diproduksi. Masyarakat modern kini semakin didorong oleh pertumbuhan ekonomi layanan dari belanja bahan makanan di e-commerce hingga taksi yang dipesan di Gojek. Karena kualitas pengalaman menggantikan produksi tanpa henti, gagasan PDB dengan cepat jatuh dari tempatnya. Kita hidup di dunia di mana media sosial memberikan informasi dan hiburan tanpa harga sama sekali, nilainya tidak dapat diringkas oleh angka-angka sederhana. Ukuran pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kita juga perlu beradaptasi dengan perubahan ini untuk memberikan gambaran yang lebih akurat tentang ekonomi modern.

Dari beberapa kekurangan PDB di atas, dapat dikatakan bahwa sedikitnya jumlah negara OKI yang termasuk G20 belum tentu berarti bahwa negara-negara OKI tertinggal, terbelakang, ataupun tidak lebih sejahtera dibandingkan dengan negara-negara lain. Untuk melihat perbandingan kesejahteraan masyarakat di suatu negara, berbeda dengan PDB, ada indikator lain yang dapat digunakan, yaitu koefisien gini dan HDI.

Koefisien Gini

Koefisien gini adalah ukuran statistik yang menunjukkan distribusi pendapatan per kapita penduduk suatu daerah. Pada koefisien gini, semakin mendekati angka satu, akan semakin besar ketimpangan pengeluaran per kapitanya. 

Gambar 1. Koefisien Gini Negara OKI 2002 – 2012

(Fathoni dan Abdullah, 2019)

Dari data grafik rasio indeks gini pada negara OKI di atas, terhitung dari tahun 2002 hingga 2012, cukup banyak dari negara OKI masih memiliki indeks gini yang tinggi atau mendekati angka 1. Di mana artinya terjadi ketimpangan yang cukup tinggi. Tetapi ada juga ada negara yang koefisien gininya terbilang rendah, 0,30 dan yang tertinggi hingga 0,70. Dilihat dari segi ketimpangan pendapatan, ternyata negara OKI memiliki ketimpangan yang tinggi.

Indeks Pembangunan Manusia 

HDI (Human Development Index) atau biasa disebut juga dengan IPM adalah ringkasan ukuran gabungan dari pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga aspek dasar pembangunan manusia, yaitu kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup. Jika membandingkan dengan menggunakan data HDI setiap negara, negara OKI yang memiliki nilai HDI tertinggi (paling mendekati angka 1) yaitu Saudi Arabia dengan nilai 0,875 dan memiliki ranking 35 di dunia. Nilai ini memiliki selisih 0,087 dengan peringkat pertama di dunia, yaitu switzerland. Negara OKI yang ada di posisi 100 besar juga hanya terdapat empat negara saja, yaitu Arab Saudi, Turki, Brunei Darussalam, dan Iran. Ini juga berarti bahwa aspek pembangunan manusia di negara-negara OKI masih rendah.

Dari analisis PDB, koefisien gini, dan HDI diatas dapat diambil ditarik suatu kesimpulan. Bahwa masalah yang dihadapi oleh negara – negara Islam bukan hanya masalah PDB yang rendah, tetapi juga dilihat dari indikator – indikator lain yang hasilnya juga kurang memuaskan. Sehingga untuk meningkatkan PDB dan kesejahteraan masyarakat secara agregat, sangat diperlukan juga adanya peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dan peningkatan usaha pemerataan pendapatan agar tidak terjadi kesenjangan yang tinggi; dalam islam misalnya dengan kewajiban zakat dan sedekah.

Lalu sebenarnya, apabila suatu negara itu menerapkan prinsip keagamaan terutama, agama Islam, akankah berdampak baik atau justru buruk bagi negara? Apakah ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan negara yang “konservatif” dalam penerapan nilai keagamaan?

Dalam QS. Al-A’raf ayat 96:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al – A’raf/7: 96)

Pada Qur’an surat Al-A’raf ayat 96 di atas, disebutkan jika ‘penduduk’ negeri-negeri beriman dan bertaqwa. Bukan hanya pemerintahannya, tetapi juga penduduknya. Maka, ‘seharusnya’ jika berdasarkan teori dan Al-Qur’an, jika penduduk suatu negara beriman dan bertakwa maka mereka akan mendapat keberkahan. 

Seperti apa keberkahan yang dimaksud dalam islam? Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa pada pagi dalam kondisi aman jiwanya, sehat badannya, dan punya bahan makanan cukup pada hari itu, seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits ini menjelaskan bahwa sebenarnya orang yang aman jiwanya, sehat badannya, dan memiliki cukup makanan di hari itu sudah terbilang tercukupkan hidupnya, bahkan seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.

Secara bahasa, istilah berkah berasal dari tiga huruf dalam bahasa arab “Ba Ra Ka” yang berarti pertumbuhan, penghargaan, kebahagiaan dan kelebihan. Makna dari berkah juga dapat berarti ziyadah al-khayr, yaitu bertambahnya nilai kebaikan pada diri seseorang, profesi, pekerjaan yang sedang ditekuni atau apapun yang berkaitan dengan kehidupannya. Mengapa keberkahan itu diperlukan? Karna konsep keberkahan itu sebenarnya bertumbuh dalam hal kebaikan (ziyadatul khair) dan jika dilihat dari persamaan mikroekonomi di bawah ini, “Berkah” ini merupakan efek pengganda dari suatu kegiatan yang bermanfaat sehingga dengan usaha tertentu mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dari biasanya. 

Gambar 2. Fungsi Keberkahan Dalam Mikroekonomi

(Nurzaman, 2022)

M = mm^b = m^(1+b)

M : Maslahah

m : Manfaat

m1: Manfaat yang mengandung berkah

b : Berkah sebagai pengganda

0<b<~

Pada masa modern seperti sekarang ini juga ada beberapa teori mengenai kesejahteraan. Ananta (2011) menyebutkan tiga tujuan utama pembangunan, yaitu: pembangunan yang berpusat pada masyarakat, pembangunan yang ramah lingkungan, dan tata pemerintahan yang baik. Lima jenis kebebasan yang berbeda dilihat dalam perspektif “instrumental” yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi, peluang sosial, jaminan transparansi dan keamanan protektif, dimana hal ini membantu memajukan kemampuan umum seseorang. Teori modern ini memiliki kemiripan dengan yang maksud dari berkah ataupun kesejahteraan yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan di dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam juga relevan dengan zaman modern ini sehingga teori dan nilai-nilai Islam juga bisa dipakai di zaman modern ini.

Dari penjelasan di atas, tidak dapat disimpulkan bahwa jika suatu negara itu menerapkan prinsip keagamaan, terutama prinsip ajaran Islam, akan berdampak buruk pada negara tersebut. Juga sebenarnya tidak akan ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan negara yang “konservatif” dalam penerapan nilai keagamaan. Hal ini karena tidak ada teori yang dapat membuktikan bahwa ada trade-off antara dua hal tersebut. Kebalikannya, teori yang ada justru menjelaskan bahwa penggunaan nilai-nilai islam dan berimannya penduduk di suatu negara akan berdampak baik bagi negara.

Mungkin, yang dimaksud ‘cukup’ dalam islam terlihat tidak cukup atau kurang cukup bagi non islam, bahkan seorang muslim sekalipun. Masing-masing negara yang menggunakan sistem ekonomi islam maupun sistem ekonomi konvensional pernah berada di fase kejayaannya masing-masing. Mungkin sekarang memang yang tidak menggunakan sistem ekonomi islam sedang berjaya. Tetapi dahulu, daulah abbasiyah yang menggunakan sistem ekonomi islam pernah sangat berjaya dalam enam abad, jauh melebihi bangsa barat. Pergiliran kejayaan ini juga disebut dalam QS. Ali Imran ayat 140:

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗوَتِلْك الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: …. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir). (Ali Imran/ 3: 140)

Dalam menanggapi apakah penerapan sistem ekonomi islam akan berdampak buruk pada negara atau tidak, tentunya tidak. Hal ini karena pemerintahan daulah abbasiyah pun yang menerapkan ekonomi islam pada negaranya dahulu sangat maju dan bisa berjaya selama enam abad. Pada masa Daulah Abbasiyah dahulu, ilmuwan-ilmuwan semakin banyak dan memunculkan karya-karya terkait ekonomi islam, juga dilakukan banyak kajian dengan ilmu-ilmu lainnya sehingga kebijakan ekonomi pun juga relevan dengan hukum dalam islam itu sendiri. Kala itu, nilai-nilai islam sangat dikedepankan di atas segalanya. Penggunaan sistem perekonomian islam ini juga hingga pengelolaan keuangan negaranya disesuaikan dengan aturan islam. Pada masa itu, pendapatan negara meningkat sangat signifikan dan rakyat hidup dengan harta melimpah. Khalifah memiliki kepedulian tentang besarnya pendapatan pajak dan berusaha menjadi khalifah yang adil. 

Ayat di atas menjelaskan bahwa sekiranya penduduk dalam suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti akan Allah berikan berkah dari langit dan bumi. Seharusnya umat muslimin tidak perlu takut kekurangan jika mengikuti perintah Allah karena rezeki itu datangnya dari Allah. Jadi, mengapa pula kita justru menjauhi pemberi rezeki dan berpaling dari ajaran Allah SWT? 

Berbeda dengan pemerintahan Islam dahulu, kini negara-negara Islam juga memasuki era modern, dimana beberapa kebijakan yang diterapkan rasanya kurang selaras dengan nilai-nilai islam. Entah ada alasan apa hingga ajaran islam rasanya mulai ditinggalkan. Kini, negara Saudi Arabia juga mulai membangun hotel mewah dengan menghancurkan situs bersejarah, seperti dihancurkannya rumah dan makam hamzah untuk mmbangun hotel,  pemakaman Al-Baqi yang terdapat banyak makam keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW, juga masjid Ghamamah yang pernah digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Selain penghancuran situs bersejarah, pemerintahan Arab Saudi yang bersifat monarki absolut juga terkesan anti kritik dan bertindak sewenang-wenangnya, seperti membunuh orang yang mengkritik pemerintahan Arab Saudi. Contohnya, terbunuhnya Jamal Khashoggi setelah mengkritik tajam Mohammed bin Salman, Putra Raja Salman, setelah diangkat menjadi putra mahkota. Khashoggi mengkritik pangeran mahkota karena memenjarakan sejumlah intelektual dan jurnalis Arab Saudi sehingga menyulitkan dan menakuti rakyat untuk berbicara dan mengkritik reformasi yang dibuat olehnya. Rencana reformasi yang direncanakan oleh Mohammed bin Salman yang justru membuat Arab Saudi menjadi lebih moderat ini dituntut oleh Jamal Khashoggi agar Islam moderat-lah yang justru hidup kembali di Arab Saudi. 

Penyelidik menyimpulkan bahwa Khashoggi ditahan secara paksa setelah berjuang dan disuntik dengan sejumlah besar obat, mengakibatkan overdosis yang menyebabkan kematiannya, kata Shalaan. Tubuhnya kemudian dipotong-potong dan diserahkan kepada “kolaborator” lokal di luar konsulat untuk dibuang, tambahnya. Namun, putra mahkota menegaskan bahwa ia tidak mengetahui apa-apa mengenai pembunuhan ini.

Contoh lain yaitu Dubai, kota megah  dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang sangat hebat serta berhasil menjadi pusat bisnis dunia. Tetapi, banyak pekerja kasar bangunan dan para imigran yang kesejahteraannya kurang diperhatikan. Misalnya seperti Hassan, pekerja konstruksi dari negara Pakistan yang kehilangan gaji dan pekerjaan saat pandemi COVID-19 melanda. Ia tidak dapat membiayai kehidupannya sendiri di kota Dubai yang megah dengan biaya hidupnya yang tinggi. Tempat tinggalnya yang kumuh banyak dihuni oleh pekerja kerah biru lainnya sehingga sesak dan kurang nyaman. Jangankan tempat tinggal, bahkan untuk beli makan pun ia dan para pekerja kerah biru lainnya sangat kesulitan. Pemberian gaji yang kecil bagi pekerja kasar ataupun pekerja kerah biru akan semakin meningkatkan keuntungan bagi sejumlah kalangan atas saja. Hal ini menyebabkan inequality atau ketidaksetaraan. Hal ini juga membuat pekerja kasar menderita. Dengan ini, pemberi upah telah berbuat dzolim, dimana hal ini juga dilarang di islam. 

Sejatinya, pembangunan negara berbasis Islam itu bukan hanya sekadar utopia. Jika kita melihat ke belakang, terdapat masa kejayaan Islam di masa lalu yang berarti membantah negara berbasis Islam itu hanyalah utopia. Misalnya seperti pada masa Dinasti Umayyah yang kala itu jauh lebih jaya dibanding bangsa barat dan menjadi masa keemasan Islam, serta masa kerajaan-kerajaan islam lainnya yang pernah berjaya. Sebenarnya, konsep pembangunan Islam tidaklah asing dan bukan merupakan suatu hal yang tabu di zaman modern. Hal ini juga dibuktikan kemiripan teori-teori modern dengan hadits nabi dan juga Al-Qur’an. Lalu, bagaimana cara menggapai kesejahteraan meskipun pembangunan negaranya berbasis Islam?

People often talks about utopia, but they didn’t talk about how we get it

Teori development dari Ibnu Khaldun yang dirangkum dalam Eight Wise Principles menjelaskan bahwa suatu sosok negara atau pemimpin sangatlah krusial dalam membuat syariah tegak di suatu negara. Tetapi, kehadiran rakyat yang taat akan membuat penerapan syariah ini akan lebih kuat lagi. Hal ini juga sesuai dengan QS. Al-A’raf ayat 96 di atas bahwasanya penduduk suatu negeri yang beriman akan dilimpahkan berkah oleh Allah SWT. 

Sebenarnya, masing-masing orang ataupun kaum di dunia ini jangan sampai merasa superior atau merasa lebih unggul dibanding yang lainnya. Nilai-nilai islam juga bisa berdampingan secara damai dengan yang lainnya. Misalnya seperti SDGs target yang sebenarnya hal tersebut terdapat dalam maqashid sharia. Tetapi mungkin tujuannya yang berbeda, di mana muslimin melakukannya sebagai bentuk taqwa kepada Allah SWT dan tabarru’ (tolong menolong), sedangkan non muslim melakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama.

 

Referensi

Ananta, A. (2011). A Search for World Development Paradigm: with Specific Recommendation for Indonesia. In The Indonesian Economy: Entering a New Era. Institute of Southeast Asian Studies.

3 Situs Bersejarah yang Dihancurkan Pemerintah Arab Saudi. (n.d.). SINDOnews.com. Retrieved November 16, 2022, from https://international.sindonews.com/read/751549/43/3-situs-bersejarah-yang-dihancurkan-pemerintah-arab-saudi-1650650687?showpage=all

BBC. (2018, December 11). Jamal Khashoggi: All you need to know about Saudi journalist’s death. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-europe-45812399

Chapra, M. U. (2008). Ibn Khaldun’s theory of development: Does it help explain the low performance of the present-day Muslim world? The Journal of Socio-Economics, 37(2), 836–863. https://doi.org/10.1016/j.socec.2006.12.051

Fakta tentang kekayaan masyarakat kelas atas AS “dapat picu kericuhan.” (n.d.). BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-43237755

Hasugian, M. R. (2018, October 20). 4 Kritikan Tajam Jamal Khashoggi ke Putra Mahkota Arab Saudi. Tempo. https://dunia.tempo.co/read/1138289/4-kritikan-tajam-jamal-khashoggi-ke-putra-mahkota-arab-saudi

Koefisien Gini – SEPAKAT wiki. (n.d.). Sepakat.bappenas.go.id. Retrieved November 16, 2022, from https://sepakat.bappenas.go.id/wiki/Koefisien_Gini

McQue, K. (2020, September 3). “I am starving”: the migrant workers abandoned by Dubai employers. The Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/2020/sep/03/i-am-starving-the-migrant-workers-abandoned-by-dubai-employers

Media, K. C. (2019, May 13). Amerika Serikat Jadi Negara dengan Jumah Miliarder Terbanyak di Dunia Halaman all. KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2019/05/13/111200326/amerika-serikat-jadi-negara-dengan-jumah-miliarder-terbanyak-di-dunia?page=all

Nurzaman, M. S. (2022). Maksimisasi Kesejahteraan dan Keseimbangan. Lecture. 

Sen, A. (2000). Development as freedom. Anchor Books.

Surat Al-A’raf Ayat 96 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb. (n.d.). Tafsirweb.com. Retrieved November 16, 2022, from https://tafsirweb.com/2550-surat-al-araf-ayat-96.html

World Health Organization. (2022). Human development index. World Health Organization. https://www.who.int/data/nutrition/nlis/info/human-development-index