Oleh: Syifa Nurul Awaliah (Bisnis Islam 2021), Staf Departemen Penelitian IBEC FEB UI 2022
Latar Belakang
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak, permintaan terhadap produk halal di Indonesia relatif besar (Fatmawati, 2011) sehingga potensi Indonesia dalam mengembangkan industri halalnya juga besar, salah satu sektor industri halal yang sedang berkembang pesat adalah pariwisata. Pariwisata halal tidak hanya populer di negara dengan mayoritas penduduk muslim, tetapi juga di negara nonmuslim, seperti Jepang, Thailand, dan Korea Selatan. Banyak pihak berusaha untuk meningkatkan Halal Value Chain, salah satunya dengan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT). Menurut Perry Warijyo, EBT dapat menjadi katalis dalam mengembangkan sektor industri halal. Meningkatnya kesadaran terhadap emisi karbon yang kian melonjak dan ketersediaan energi tak terbarukan yang kian menipis telah mendorong lahirnya kebijakan hijau dan peningkatan investasi pada sektor energi terbarukan di berbagai negara. Indonesia pun turut ikut serta dalam mengembangkan kebijakan hijau, salah satunya pada saat penandatanganan Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk menerapkan perekonomian rendah karbon dengan mengembangkan EBT. Rencana ini diperkuat dengan pemerintah yang menerbitkan Perpres №22 Tahun 2017, mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang mengelaborasi PP №79 tahun 2014, mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN). Target dari penerbitan Perpres ini adalah tercapainya penggunaan EBT dalam sektor perekonomian sebanyak 25% pada tahun 2025 dan sebanyak 31% pada tahun 2050.
Sinergi yang terjalin antara EBT dengan industri halal diantaranya:
- Sektor keuangan islam bisa menjadi solusi atas kurangnya ketersediaan modal dalam mengembangkan EBT;
- Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah membuat sehingga penggunaan EBT dapat mendorong perkembangan industri halal, terutama dalam sektor pariwisata halal.
Namun, masih terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi kedua regulasi tersebut sebagai dasar pengembangan EBT, seperti regulasi yang terus berubah serta minimnya kesadaran masyarakat bahwa EBT merupakan sebuah industri yang membutuhkan eksternalitas tinggi.
Tujuan dan Metode Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini untuk menjelaskan kendala, kekurangan, serta solusi yang dapat diterapkan pada pengembangan EBT untuk mengembangkan perekonomian halal. Metode penelitian yang digunakan berupa komparatif deskriptif dengan hasil berupa analisis deskriptif. Penelitian ini melakukan komparasi antara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Jerman. Jerman dipilih sebagai tolak ukur perbandingan karena dinilai sebagai negara dengan kualitas manufaktur terbaik. Sumber data yang digunakan diantaranya data hukum, jurnal hukum, dan buku hukum mengenai regulasi yang sedang berlaku di Indonesia dan Jerman.
Pembahasan Temuan
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia mengalami kenaikan penggunaan energi tiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan sebesar 7 persen, sedangkan 94 persen dari penggunaan energi masih menggunakan fosil sebagai bahan baku. Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang, maka pengembangan EBT yang ramah lingkungan perlu dilakukan. Dengan menggunakan teknik yang tepat dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan EBT-nya. EBT kemudian dapat digunakan untuk menjadi katalis dan penguat dalam membangun pusat industri halal dunia di Indonesia.
Namun, pada praktiknya, Indonesia masih mengalami beberapa kendala dalam mengembangkan EBT sehingga perkembangan industri halal juga menjadi terhambat. Kendala-kendala yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan EBT-nya adalah:
1. Belum ada regulasi yang menjelaskan secara detail dan jelas mengenai pengalokasian biaya untuk sektor EBT.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia membutuhkan 1600 triliun rupiah dalam mengembangkan EBT (Perencanaan&Nasional, 2017). Selain itu, pemerintah juga perlu menerbitkan kebijakan fiskal khusus mengenai EBT agar menjadi insentif bagi masyarakat untuk melakukan investasi di sektor EBT.
2. Kurangnya insentif dari pemerintah yang menarik masyarakat untuk berinvestasi dalam EBT.
Melihat dana yang begitu besar dalam mengembangkan EBT, maka diperlukan insentif agar dapat menarik minat masyarakat untuk berinvestasi di sektor EBT. Dengan menerbitkan berbagai regulasi juga kebijakan fiskal, maka EBT dapat dikomersilkan lebih luas sehingga masyarakat menjadi lebih yakin untuk melakukan investasi di sektor EBT karena terdapat peraturan yang sudah jelas.
3. Kurangnya peran masyarakat dalam menjadi produsen dan distributor di industri halal.
Walaupun memiliki populasi muslim terbanyak di dunia, Indonesia belum berkontribusi secara aktif sebagai produsen dan distributor di industri halal. Masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menjadi konsumen sehingga menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai konsumen terbanyak di industri halal. Hal ini dikarenakan pemahaman masyarakat yang masih rendah mengenai potensi yang dimiliki industri halal dan EBT.
Dalam mematangkan industri halal Indonesia melalui EBT, maka akan lebih baik apabila Indonesia dapat berkaca dari negara yang sudah sukses melakukannya, salah satunya Jerman. Walaupun Jerman adalah negara yang minor dengan populasi muslim, ia berhasil menduduki peringkat kedua setelah United Arab Emirates dalam kategori destinasi liburan paling diminati muslim dunia. Hal ini dikarenakan Jerman memiliki kebijakan khusus mengenai penggunaan EBT sebagai pembangkit tenaga listrik yang bernama “Energiewende”. Jerman juga dapat menggunakan EBT-nya secara optimal, yaitu dengan melakukan sinergi antara Energiewende dan juga pariwisata halalnya. Adapun hal-hal yang membuat Jerman sukses dalam mengembangkan EBT-nya:
- Terdapat insentif berupa subsidi dari pemerintah untuk membangun pembangkit tenaga listrik menggunakan EBT.
- Penggunaan nuklir telah dioptimalkan sebagai pembangkit tenaga listrik.
Hikmah atau Kesimpulan
Sebagai negara dengan kekayaan alam berlimpah dan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia, hal ini membuat Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan penggunaan energi baru dan terbarukan untuk menunjang perkembangan industri halal Indonesia. Namun, pada kenyataannya, terdapat kendala berupa pembuatan regulasi dan kesadaran masyarakat yang masih minim mengenai potensi yang berada dalam pengembangan EBT dan industri halal. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menguatkan industri halal di Indonesia:
- Pemakaian RUEN dan KEN sebagai tujuan agar tercipta perkembangan yang berkelanjutan;
- Pemerintah membuat kebijakan fiskal sebagai insentif pembangunan EBT untuk mewujudkan Halal Value Chain;
- Sukuk digunakan sebagai modal pembiayaan pengembangan EBT untuk mewujudkan Halal Value Chain;
- Menggencarkan penelitian dan publikasi mengenai EBT dan potensi sektor industri halal.
Referensi
Sakti, M., Pujiyono, & Moch Najib Imanullah. (2021). New Renewable Energy Regulations in Supporting Indonesia’s Halal Industry : Comparison with Germany. Nat. Volatiles & Essent. Oils, 2021; 8(4): 13269–13279.