Oleh: Nabila Fakhrin Nisa (EIEI 2021) dan Rifkanissa Azzahra (EIEI 2022)
The Dark Age : Sebuah Nestapa bagi Eropa dan Usaha Menafikan Cahaya Keilmuan Islam
Revolusi industri telah membawa transisi bergulirnya renaissance Eropa kolonialisme klasik menuju kolonialisme modern. Melalui pemicu tersebut, ketika kita tengah membahas pemikiran ekonomi dan keuangan syariah masa kontemporer, maka sebetulnya kita tengah mempelajari bagaimana pemikiran intelektual muslim dalam merespons kolonialisme yang mampu menimbulkan kapitalisme dan sosialisme dalam sektor ekonomi.
Islam pernah memiliki catatan sejarah yang begitu dahsyat. Pasalnya, Islam pernah mengalami kemajuan yang begitu pesat di saat Bangsa Eropa hanya mengalami kejumudan yang stagnan, dalam bidang pemikiran ilmu pengetahuan (terlebih ekonomi Islam) yang nanti akan dibahas dalam penyusunan I-Book The Series ini. Sayangnya, lambat laun ditutupnya pintu ijtihad menimbulkan keterpurukan dan mendorong runtuhnya kejayaan tersebut seolah pudar dan lenyap begitu saja. Implikasinya, timbulnya beratnya tantangan muslim untuk mengembalikan kejayaan Islam seperti masa lampau. Sebetulnya, telah banyak para pakar kursus dalam bidang ekonomi yang sudah memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengangkat negara Islam atau mayoritas muslim dari permasalahan ekonomi dengan mengakomodasi berbagai solusi yang mampu mendorong muslim untuk melepaskan diri dari buasnya cengkraman ekonomi kapitalis.
Berangkat dari permasalahan tersebut, tentunya untuk bangkit dari sebuah keterpurukan khususnya dalam bidang ekonomi, umat Islam perlu melakukan purifikasi atau mengembalikan lagi kepada dua sumber ajaran pokok Islam untuk memperbaiki peradaban, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Melalui pengkajian ulang dalam bidang pemikiran-pemikiran ekonomi dan umat terdahulu, lalu mengkonstruksi dan memberikan interpretasi-interpretasi hasil pemikiran tersebut, diharapkan dapat memberikan angin segar dalam warna atau corak pemikiran ekonomi Islam kontemporer. Di lingkup Ibu pertiwi ini, perekonomian berlandaskan prinsip syariah atau kerap dikenal dengan istilah ekonomi Islam tidak lepas dari kiprah seorang Adiwarman Azwar Karim. Dimana, Karim menawarkan konsep perekonomian Islam dibangun atas nilai-nilai universal Islam seperti tauhid (keesaan), ‘adl (keadilan), khilafah (pemerintahan), nubuwwah (kenabian), dan ma’ad (return). Dalam perkembangannya, terdapat berbagai pemikiran atau metode mengenai bagaimana ekonomi dan keuangan Islam dikonsepkan menjadi suatu hukum.
Dari sekian banyak pemikiran (mazhab) yang telah terakomodasi tadi, merujuk kepada pemikiran Karim sebagai tokoh ekonomi Islam termasyhur di Indonesia, pembahasan pemikiran ekonomi dan keuangan Islam akan dikelompokkan menjadi tiga mazhab, yakni (1) Mazhab Iqtishaduna (subjektif transcendental); (2) Mazhab Mainstream (positivisme); (3) Mazhab Alternatif (kritis). Pada I-Book seri pertama ini, akan dibahas lebih detail mengenai pemikiran dan perkembangan Mazhab Iqtishaduna yang memicu lahirnya pemikiran mazhab berikutnya.
Start with Baqr’s Why!
Mohammad Baqr Al-Sadr memberikan pemikirannya lewat karya besarnya yang termaktub dan bertajuk Iqtisaduna atau “ekonomi kita” (our economy). Melalui inilah, ia dikenal sebagai pelopor mazhab Iqtishaduna. Secara sederhananya, dasar dari metode dalam mazhab ini bersumber dari perbedaan antara doktrin dan ilmu pengetahuan dengan mazhab. Aspirasi Baqr Al-Sadr sendiri adalah terciptanya sistem ekonomi yang spiritualis dan berkarakter yang mana tidak hanya menyandarkan pada kepentingan modal dan akumulasi keuntungan. Selanjutnya, beliau juga memberikan empat tesis berikut:
- Perekonomian Islam adalah sebuah mazhab, sebuah doktrin, bukan suatu ilmu pengetahuan (‘ilm), memperlihatkan cara untuk mengikutinya di bidang ekonomi, dan tidak menerangkan bagaimana peristiwa-peristiwa ekonomi terjadi;
- Perekonomian Islam didasarkan pada gagasan keadilan, serta menekankan pada konsep halal dan haram guna menggapai keadilan;
- Hukum Islam adalah cara yang dianjurkan bagi perekonomian Islam; dan
- Perekonomian Islam didasarkan pada penemuan, bukan pembentukan, artinya bangunan konseptual dalam berekonomi hakikatnya sudah ada dalam ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan sunah.
Dengan mendasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah, realitas ekonomi tadi akan dijelaskan dalam beragam sudut pandang sehingga adanya subjektivitas ini harus didukung pula dengan transcendental (re: al-Qur’an dan as-Sunnah) dengan tujuan agar terhindar dari jebakan pada pembenaran realitas, sebagaimana seperti yang telah disebut dalam bagian prolog mengapa mazhab ini bermakna subjektif transendental.
Get to Know More about Mazhab Iqtishaduna
- Let’s Take a Deep Down
Salah satu hal utama yang perlu di highlights dalam mazhab Baqr As-Sadr ini, ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan atau bahkan disatukan dengan Islam sebab keduanya memiliki nilai filosofi yang begitu kontradiktif. Berangkat dari hal tersebut, istilah ekonomi Islam perlu dihentikan dan diganti dengan term yang lebih baik yakni iqtishad, berarti keadaan sama seimbang (qashd – equilibrium). Akibat yang ditimbulkan dari hal ini berarti semua teori konvensional akan ditolak dan akan disusun kembali teori-teori baru yang digali langsung dari sumber utama yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.
Permasalahan dasar yang diangkat dalam mazhab ini sebenarnya sumber daya yang telah disediakan Allah jumlahnya tidak terbatas (QS Al-Qamar ayat 49), sedangkan keinginan manusia inilah yang terbatas. Keterbatasan keinginan manusia ini dapat dilihat dari adanya teori law diminishing of marginal utility, dimana seseorang hanya dapat mencapai kepuasan pada titik tertentu dan selanjutnya rasa itu akan menurun.
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran/kadar.” (QS. Al-Qamar: 49)
Selain itu, Baqr Al-Sadr juga mengangkat terkait permasalahan distribusi. Hal ini disandarkan pada sebuah hadits yang memaparkan bahwasannya terdapat hak untuk orang lain pada sebagian harta yang kita miliki. Masalah dalam proses distribusi yang disebutkan oleh Mazhab ini bukan karena sistem distribusinya melainkan karena sifat manusia yang zalim dan kufur akan nikmat Allah Swt. Suatu distribusi dapat tercapai dengan adil tergantung bagaimana manusia yang mengelolanya.
Hingga saat ini, terdapat negara yang masih melanggengkan mazhab ini terutama negara Irak dan Iran. Banyak cendekiawan asal Irak dan Iran, seperti Ali Syariati, Kadim As-Sadr, dan Abbas Mirakhor yang mengembangkan mazhab iqtishaduna ini karena digagas oleh Baqir As Sadr sendiri yang berasal dari Irak.
- An exception
Baqr Al-Sadr merupakan sosok ulama sekaligus pencetus mazhab Iqtishaduna yang memiliki paham atau sudut syiah. MUI juga telah menyampaikan bahwa terjadi berbagai penyimpangan dengan paham syiah ini. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, dalam hal bermuamalah (termasuk kegiatan ekonomi di dalamnya), kita masih dapat menggunakan mazhab ini sebagai bahan tinjauan dan mengambil pula manfaat darinya. Hal yang perlu dihighlights di sini adalah tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan memerlukan analisis mendalam dalam mempelajari mazhab ini (dalam hal ekonomi).
Two Sides of Coins : Menilik Kelebihan dan Ruang Perbaikan
Baik dua sisi koin, sebagaimana Tuhan menciptakan sesuatu dengan berpasangan, maka mazhab ini pun memiliki kelebihan dan ruang perbaikan yang bisa kita pelajari. Salah satunya, mazhab ini sangat menekankan pada terciptanya keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam perekonomian (swasta maupun pemerintahan) melalui bahasan proses distribusi yang menjadi salah satu masalah di setiap perekonomian. Selain itu, mazhab Iqtishaduna juga mengakui keagungan Allah SWT dalam menyediakan sumber daya bagi makhluknya dengan porsi yang sempurna seperti yang disebutkan dalam QS Al-Qamar : 49. Kerangka pemikiran mazhab iqtishaduna disandarkan seluruhnya kepada sumber hukum islam, yaitu Al-Quran dan Hadis. Kekakuan dari sifat mazhab ini perlu dibarengi dengan pemahaman yang baik secara kontekstual untuk menghindari kekeliruan penafsiran alquran dan hadis yang mana terjadi di masa lampau yang situasinya sudah berbeda dengan masa sekarang.
Iqtishaduna’s Unique Value
- Pada dasarnya, Baqir As-Sadr menegaskan bahwa ekonomi islam bukan merupakan sebuah ilmu melainkan sebuah doktrin yang untuk menerapkan ekonomi sesuai dengan syariat Islam. Ekonomi islam sangat berbeda dengan ekonomi konvensional yang dapat dilihat dari perbedaan tujuannya, konvensional hanya mencari kekayaan dan tidak mempertimbangkan nilai ibadah sementara ekonomi islam bertujuan untuk mencari ridho Allah. Mazhab ini enggan untuk melakukan islamisasi ekonomi, beliau ingin ekonomi islam merupakan interpretasi atau penemuan sendiri dari sumber hukum islam seperti al quran dan hadis.
- Beliau tidak setuju dengan pernyataan bahwa kelangkaan merupakan masalah utama ekonomi. Masalah ekonomi justru adalah distribusi yang tidak adil dan sifat manusia itu sendiri yang rakus dan seringkali tidak bersyukur (kufur nikmat). Hal itu dikarenakan Allah SWT telah memberi nikmat yang berlimpah baik di darat maupun di laut untuk seluruh umat manusia sesuai dengan porsinya seperti yang disebutkan oleh Firman Allah QS Al-Qomar : 49. Mazhab ini membagi distribusi ke dalam 2 bagian, yaitu distribusi pra produksi yang meliputi tanah, air, sumber daya alam, dll dan distribusi pascaproduksi. Selain itu mazhab ini juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas karena faktanya manusia yang sudah merasa kenyang setelah makan itu berarti kebutuhannya sudah terpenuhi dan akan merasa puas.
- Konsep multitype ownership, Konsep ini berbeda dengan konsep kepemilikan sistem kapitalis maupun sosialis. Perbedaannya adalah sistem kapitalis memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengakui kepemilikan secara pribadi sedangkan sistem sosialis mengedepankan kepemilikan bersama atau kolektif. Sementara itu, ekonomi islam menganut kepemilikan yang berlapis yang terdiri dari kepemilikan pribadi, publik, dan pemerintah. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi masalah yang kemungkinan terjadi apabila menghapus kepemilikan pribadi tetapi dalam penggunaannya tetap mempertimbangkan kebaikan bersama dan tidak merugikan orang lain.
Addressing Economy’s Real Problem Based on Iqtishaduna’s Perspective: Studi Kasus Real Pola Distribusi Beras di Indonesia
Beras menjadi salah satu kebutuhan primer (dharuriyat) sehingga keberadaannya menjadi begitu krusial. Pola distribusi beras di Indonesia berbeda-beda di setiap daerah sesuai dengan kondisi tanah dan iklimnya. Menurut BPS 2018, secara umum pola distribusi beras di Indonesia dimulai dari produsen-distributor-eceran-konsumen. Namun demikian, terdapat beberapa produsen yang langsung menjual kepada konsumen akhir tanpa melewati distributor. Selain itu, perdagangan beras juga dapat dilakukan melalui proses impor yang didistribusikan melalui pedagang grosir atau agen kemudian pedagang eceran yang akhirnya sampai di tangan konsumen.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, Baqr melakukan address permasalahan ekonomi pada bagian distribusi yang tidak adil dan tidak merata. Beliau membagi distribusi ke dalam dua bagian, yaitu distribusi pra-produksi dan pascaproduksi. Beliau berpendapat bahwa tingkatan pertama dalam ekonomi itu distribusi bukan produksi karena proses distribusi sumber produksi mendahului proses produksi itu sendiri. Selain dua bagian distribusi, Baqir juga menekankan perlunya peran negara untuk mewujudkan keadilan dalam proses distribusi.
Menilik bahasan terkait apakah terdapat relevansi antara pola distribusi beras di Indonesia dengan pemikiran dari Baqir As-Sadr, maka sebetulnya penerapan konsep distribusi yang digagas oleh Baqir As-Sadr tidak sepenuhnya relevan dengan proses distribusi beras di Indonesia (Ka’abi). Konsep distribusi pra produksi dan pascaproduksi lebih mengarah kepada distribusi kekayaan agar tidak berputar di orang kaya saja. Distribusi beras di Indonesia sendiri lebih mengarah kepada pemerataan distribusi beras karena ada perbedaan struktur tanah dan iklim sehingga hasil produksi setiap daerah juga berbeda. Hal tersebut mengakibatkan adanya perbedaan tingkat harga karena wilayah yang mempunyai produktivitas rendah harus melalui mata rantai yang cukup panjang dibandingkan wilayah dengan produktivitas tinggi.
Referensi
Adriansyah, M., & Kurniawan, R. R. (2022, Mei). Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Baqir As-Sadr & Implementasi di Zaman Sekarang. Artikel Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Vol.1.
Ainiyah, D. N., Fachri, A. Z., & Abidin, M. Z. (2019, Juni). Pemikiran Ekonomi Syariah Menurut Muhammad Abdul Mannan dan Muhammad Baqir As-Sadr. Jurnal Hukum Bisnis Islam, Vol. 9.
Amarodin, M. (2018, Juni). Kontruksi Sistem Ekonomi Islam Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam Kontemporer. Jurnal Eksyar, Vol. 5, 41-55.
Ka’abi, M. S. (2020, September). Relevansi Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqir As-Sadr dalam Keadilan Distribusi Beras di Indonesia.
Mubarok, J., Umam, K., Nugraheni, D. B., Antoni, V., Syafei, K., & Primandasetio, S. (2021). Ekonomi Syariah bagi Perguruan Tinggi Hukum Strata 1 (Pertama ed.). Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah – Bank Indonesia.
Wahab, F. (2016, Maret). Konsep dan Kontribusi Pemikiran Adiwarman Azwar Karim Terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 1, 59-78.
Yunadi, A. (2022, Juni). Kajian Ekonomi Syariah Perspektif Filsafat Islam. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. XII, 77-89. https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JESI/index