Skip to content

IBEC FEB UI

Home » Artikel » Erdoganomics: Maslahah untuk Siapa?

Erdoganomics: Maslahah untuk Siapa?

  • I-Share

Oleh: Rahmat Tri Swasono (Ilmu Ekonomi Islam 2021), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2022

Stagflasi menjadi momok menakutkan bagi negara-negara di dunia setelah badai krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Stagflasi ini dipicu oleh perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19 disambung eskalasi geopolitik Rusia dan Ukraina. Inflasi melonjak yang diakibatkan krisis pangan dan energi di beberapa belahan dunia. Stagflasi adalah kondisi menyusutnya pertumbuhan ekonomi dibarengi inflasi yang tinggi. Amerika Serikat turut mengalami lonjakan inflasi sehingga memaksa bank sentralnya, The Fed untuk melakukan kebijakan moneter kontraktif secara agresif melalui peningkatan tingkat suku bunga. Hal ini berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara di dunia karena pengaruh perekonomian Amerika Serikat yang besar. Salah satunya adalah penurunan nilai tukar mata uang domestik terhadap US Dollar. Lonjakan inflasi yang terjadi di negara-negara lain menyebabkan bank-bank sentral di negara tersebut harus merespon dengan kebijakan moneter kontraktif. Di sisi lain, kebijakan ini memiliki konsekuensi yaitu ancaman pelemahan ekonomi negara tersebut. Oleh karena itu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya tumbuh 2,9% tahun ini. menurun signifikan dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi global 2021 yang mampu mencapai 5,7%.

Di saat bank sentral di negara-negara lain berusaha untuk menaikkan tingkat suku bunganya. Turki melakukan kebijakan moneter yang unik atau berbeda dari negara-negara lain. Yaitu enggan menaikkan tingkat suku bunga di tengah gempuran inflasi yang melonjak tinggi. Suku bunga acuan ditahan di 14 persen sejak Desember 2021 dan merupakan terendah sejak Oktober 2020. Pro kontra muncul karena kebijakan tersebut mengakibatkan inflasi di Turki semakin naik hingga menyentuh 79,8 persen yang sekaligus merupakan rekor tertinggi sejak September 1998. Inflasi yang tinggi menjadi disinsentif untuk melakukan kegiatan investasi pada aset-aset berbasis Lira. Inflasi yang tinggi namun tidak terdapat kenaikan suku bunga membuat investor merasa tidak mendapat keuntungan jika berinvestasi di aset-aset berbasis Lira. Naiknya net capital outflow atau arus modal keluar dan seretnya modal masuk menyebabkan mata uang Lira Turki terus melemah terhadap seluruh mata uang di dunia termasuk Rupiah. Dalam 15 tahun terakhir, nilai mata uang Lira melemah 90 persen terhadap rupiah. Yaitu pada tahun 2008, nilai Lira sekitar Rp8.000/Lira. Kini, hingga tulisan ini dibuat nilai Lira adalah Rp820/Lira. Seperti yang dilansir dari berbagai sumber, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan melakukan kebijakan tersebut atas dasar keyakinan bahwa bunga atau riba adalah biangnya setan.

Ternyata, bukan hanya bank sentral Turki yang melakukan kebijakan tersebut. Bank sentral China atau People’s Bank of China (PBOC) melakukan kebijakan yang serupa, yaitu menurunkan suku bunga acuannya di tengah perlambatan ekonomi akibat inflasi. PBOC menurunkan suku bunga pinjaman satu tahun sebesar 10 basis poin menjadi 2,75 persen dan memotong bunga reverse dari 2,1 persen menjadi 2 persen. Bank sentral di kedua negara tersebut meyakini kebijakan moneter ekspansif tersebut dapat kembali memacu konsumsi masyarakat. Sedangkan bank sentral Turki melakukan kebijakan pelonggaran moneter setelah Eropa dilanda krisi energi yang diakibatkan embargo perusahaan energi raksasa Gazprom Rusia pada Uni Eropa. Harga pangan di Turki melonjak pasca harga energi yang terkerek naik. Pelonggaran moneter dimaksudkan pemerintah Turki untuk memberikan kredit murah sehingga dapat memacu kegiatan ekspor. Kebijakan yang diambil oleh Turki dan China juga diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran kaum muda.

Menurut sejarah, Turki pernah mengalami krisis ekonomi yang serupa pada tahun 1990 hingga 1994. Inflasi pada saat itu menyentuh angka 120 persen. Sesuai dengan teori ekonomi, bank sentral Turki pada tahun 1995 melakukan kebijakan moneter kontraktif dengan menaikkan suku bunga sampai 250 persen untuk meredam inflasi. Hingga akhirnya kebijakan tersebut mampu menurunkan angka inflasi hingga beberapa tahun berikutnya. Inflasi tinggi dan pelemahan mata uang juga terjadi pada tahun 2018 lalu. Kebijakan moneter yang sama dilakukan yaitu menaikkan suku bunga. Walaupun inflasi berhasil diredam dan nilai tukar mampu distabilkan, kebijakan tersebut memberikan efek samping lain yaitu kerugian usaha-usaha kecil yang meminjam uang ke bank dalam bentuk Lira. Alhasil, terhitung terdapat 480 ribu perusahaan kecil terpaksa tutup sejak 2018. Dan angka pengangguran sempat naik hingga 14,7 persen, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Kebijakan ini dipahami sebagai langkah menolong perusahaan yang terlilit utang luar negeri dan bergantung pada impor namun mengorbankan masyarakat dalam negeri. Sejak saat itu, kebijakan ekonomi di Turki menjadi radikal. Di mana bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga nya namun menurunkan suku bunga. yang diharapkan dapat memacu perekonomian domestik.

Berdasarkan pernyataan Presiden Erdogan, muncul pernyataan bagaimana riba menjadi biang dari setan. Riba memiliki beberapa definisi menurut para ahli fiqih. Menurut Al-Mali, riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbagan menurut syara’, ketika berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya. Selanjutnya pengertian dari Abdul Rahman Al-Jaziri bahwa riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya. Menurut pendapat Syeikh Muhammad Abduh, riba adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam harta kepada orang yang meminjam hartanya, karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan.

Terdapat tiga pendapat berbeda mengenai persoalan apakah bunga bank adalah sama dengan riba. pendapat pertama yaitu bunga bank adalah riba dan karenanya dianggap haram; kedua, membolehkan bunga bank karena dianggap tidak sama dengan riba yang diharamkan oleh syariat agama Islam; lalu ketiga, bunga bank haram namun karena belum ada jalan keluar untuk menghindarinya, maka diperbolehkan. Perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang riba dan apakah bunga termasuk ke riba atau tidak menjadi latar belakang perbedaan pendapat tersebut. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ulama dan cendikiawan muslim memiliki keputusan yang menyatakan bahwa bunga bank adalah sama dengan riba, sehingga hukum bunga bank adalah haram.

Prinsip ajaran Islam adalah sangat peduli dengan kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan Islam melarang praktik eksploitasi oleh orang-orang kaya (pemilik dana) yang dapat dilakukan melalui sistem riba. Karena pada hakikatnya riba dalam sistem bunga adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat. Ekonomi Islam mengemban tujuan humanisme, sehingga menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman. Pihak yang kebutuhan dana seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dengan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Di balik itu, esensi dari pelarangan riba adalah penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman dan ketidakadilan.

Riba membawa implikasi bagi perekonomian; Pertama, menyebabkan krisis keuangan yang terjadi karena tingginya volatilitas dari suku bunga. Hal ini berakibat pada tingginya tingkat ketidakpastian dalam pasar keuangan sehingga menjadi disinsentif bagi investor untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Seperti yang dinyatakan oleh beberapa pakar ekonomi seperti Muslehuddin, Siddiqi, dan Chapra, bahwa perekonomian yang bertumpu pada suku bunga berkemungkinan untuk terjadi misalokasi sumber daya sehingga dapat mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini telah terbukti terjadi di Amerika Serikat, yakni terjadi mis-alokasi capital stock dikarenakan suku bunga dipakai sebagai alat untuk melakukan indirect screening mechanism-nya. Misalokasi dana yang disebabkan oleh suku bunga berimplikasi terhadap capaian tujuan ekonomi, pemenuhan kebutuhan pokok, optimasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan stabilitas perekonomian di negara tersebut. Kedua, decoupling antara sektor riil dan sektor moneter. Seorang pemilik dana akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu berinvestasi di bank dengan bunga tertentu atau berinvestasi di sektor riil. Seperti yang diketahui, bahwa sektor riil memiliki probabilitas kegagalan dan unsur ketidakpastian yang lebih tinggi. Sehingga dalam hal ini bunga menjadi sebab jarak antara sektor keuangan dan sektor. akibatnya kondisi moneter tidak mencerminkan sektor riil, vice versa. Ketiga, dapat menyebabkan terjadinya konglomerasi kekayaan serta kesenjangan ekonomi. Suku bunga cenderung menjadi harga “yang menyesatkan” dan mencerminkan diskriminasi antara yang kaya dan miskin (Umer Chapra). Pemilik dana berlebih memiliki peluang lebih untuk mendapatkan kredit karena bukan tidak semua orang dapat membayar tingkat bunga pinjaman. Pihak yang mampu membayar beserta bunganya saja yang punya akses ke bank dan disinilah terjadi diskriminasi penyaluran dan diskriminasi akses.

Berkaca pada pernyataan Presiden Erdogan yang menyebut bahwa bunga adalah biangnya setan. Implikasi ekonomi yang diakibatkan dari kebijakan tersebut terhadap rakyatnya sendiri tidak dapat diabaikan. Kenaikan inflasi yang begitu tinggi tentunya menjadi sebab utama turunnya daya beli konsumen. Mehmet Muzaffer Okay, Kepala Kamar Pertanian Antakya dikutip dari Financial Times menyatakan bahwa 25 ribu anggota asosiasinya sedang menghadapi masalah kenaikan biaya dan utang. kenaikan biaya produksi telah mendorong kenaikan tajam harga pangan Turki. Harga pupuk dan pestisida naik hingga empat kali lipat. Meski harga pangan meningkat tajam, para petani masih terhimpit oleh supermarket yang berada di bawah tekanan pemerintah untuk menurunkan harga dan tengkulak yang terkadang melakukan eksploitasi terhadap mereka. Hal ini patut untuk diperhatikan karena sektor pertanian merupakan andalan ekonomi Turki dengan kontribusi sebesar hampir 7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Para petani Turki mengharapkan lebih banyak bantuan untuk menghadapi lonjakan harga. Di tengah subsidi pertanian di Turki yang telah lama dikritik oleh lembaga seperti Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) yang menilai bahwa subsidi tersebut dapat mendistorsi pasar. Dari sisi konsumen, daya beli dengan mata uang Lira tentunya semakin menurun setiap harinya. Harga makanan dan minuman naik 89,1 persen dan peralatan rumah tangga naik hingga 77,64 persen.

Di sisi lain, Pemerintah Turki telah mengambil langkah alternatif untuk meredam inflasi yaitu melalui skema penjaminan nilai tabungan masyarakat Turki. Kebijakan tersebut mengharuskan bank sentral Turki mentransfer uang ekstra untuk mengkompensasi tabungan sesuai dengan nilai yang hilang akibat tergerus inflasi. Hal ini dilakukan agar nilai riil dan daya beli uang yang disimpan tidak berkurang. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat tanpa menaikkan suku bunga. Namun, kompensasi yang diberikan oleh bank sentral Turki justru menyebabkan pencetakan uang yang lebih banyak ke peredaran. Sehingga nilai Lira semakin melemah dan inflasi melonjak. Kelompok rentan harus menjadi fokus pemerintah Turki. Negara harus dapat hadir untuk menjaga daya beli masyarakat yang dapat dilakukan dengan kebijakan cash transfer terhadap kelompok rentan serta menjamin subsidi bagi produsen. Sehingga biaya produksi dapat turun dan harga pangan dapat kembali stabil.

 

Referensi

Bagaimana Erdoganomics Berbeda & Anti-Ekonomi Konvensional. (2020, June 16). Republika. Retrieved September 11, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/qbzyn5440/bagaimana-erdoganomics-berbeda-antiekonomi-konvensional

Bank Sentral Turki Pangkas Suku Bunga di Tengah Inflasi yang Capai 80% – Makro Katadata.co.id. (2022, August 19). Katadata. Retrieved September 11, 2022, from https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/62ff1588458e8/bank-sentral-turki-pangkas-suku-bunga-di-tengah-inflasi-yang-capai-80

Erdogan Paksa Bank Sentral Turki Turunkan Suku Bunga Meski Inflasi Tinggi. (2022, August 19). Finansial Bisnis. Retrieved September 11, 2022, from https://finansial.bisnis.com/read/20220819/90/1568349/erdogan-paksa-bank-sentral-turki-turunkan-suku-bunga-meski-inflasi-tinggi

Inflasi April Turki Melejit 70%, Dampak Tekanan Perang Rusia-Ukraina – Internasional Katadata.co.id. (2022, May 6). Katadata. Retrieved September 11, 2022, from https://katadata.co.id/yuliawati/berita/6274ae17c4a76/inflasi-april-turki-melejit-70-dampak-tekanan-perang-rusia-ukraina

Lira Turki Anjlok, Erdogan Tak Mau Naikkan Suku Bunga karena Alasan Ini. (2021, December 20). detikNews. Retrieved September 11, 2022, from https://news.detik.com/bbc-world/d-5863315/lira-turki-anjlok-erdogan-tak-mau-naikkan-suku-bunga-karena-alasan-ini

Kalsum, U. (2014). Riba dan Bunga Bank Dalam Islam (Analisis Hukum dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Umat). Al-‘Adl, 7(2), 97-83.

Ghofur, A. (2016). Konsep Riba dalam Al-qur’an. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 7(1), 1-26.

Firdaus, R. (2019). Perbedaan Pandangan Fuqaha Ihwal Bunga Bank dan Riba. EKONOMIKA SYARIAH: Journal of Economic Studies, 3(2), 47-60.

Ahyani, H. (2020). Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan Bagi Hasil Di Era Revolusi Industri 4.0. EKSISBANK (Ekonomi Syariah dan Bisnis Perbankan), 4(2), 232-254.

Romdhoni, A. H., Tho’in, M., & Wahyudi, A. (2012). Sistem Ekonomi Perbankan Berlandaskan Bunga (Analisis Perdebatan Bunga Bank Termasuk Riba Atau Tidak). Jurnal Akuntansi Dan Pajak, 13(01).